Rabu, 13 Juni 2012

Ritualisme Piala Eropa


Ritualisme Piala Eropa
Thomas Koten ; Sarjana Filsafat dan Teologi
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 12 Juni 2012


SENI dan keindahan sepak bola modern, seperti yang sedang dihelat pada Piala Eropa 2012 di Polandia dan Ukraina sekarang ini, tampak semakin memesona. Atmosfer magnetnya pun begitu tinggi sehingga membuat permainan sepak bola itu sendiri tidak sekadar menghibur, tetapi juga menjadi sumber analisis dan bahan studi yang menarik.
Sebab, menganalisis sepak bola, menyitir Leter L Berger dan Hansfried Kellner (1985), `bukan hanya sebagai mana tampaknya'. Yang tampak nyata (manifesto) bukanlah merupakan seluruh cerita; ada yang tersembunyi (laten) yang harus dipelihara dan kemudian dapat dieksplorasi terhadap berbagai dimensi yang melingkupnya.

Dari dimensi fungsionalisme struktural, sepak bola modern dapat dikerling sejauh ia memiliki fungsi-fungsi positif yang memberikan sumbangan langsung atau sekadar inspirasi (football is an inspiration) bagi kemajuan di bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya. Ia juga merupakan bagian dari sistem sosial yang mampu menambah nilai-nilai ekonomi, sosial, politik, dan budaya bagi masyarakat. Sepak bola juga memberikan semacam alternatif, yang lebih dari sekadar sebuah refleksi masyarakat simpel (football is more then simply reflection on society). Dengan sepak bola masyarakat bisa eksis dan menunjukkan eksistensi serta harga dirinya.

Di samping itu, sepak bola menyajikan semacam teori klasik yang merupakan sisi negatif dari olahraga ini. Selain sepak bola dianggap sebagai candu (football is opiate) bagi masyarakat modern, yang dapat menghilangkan atau menenggelamkan sejenak manusia dari segala macam keruwetan rutinitas hidupnya, ia juga memproduksi sejumlah perilaku fanatisme penonton yang akhirnya dapat membuncahkan berbagai perilaku anarkistis suporter, yang tidak hanya merugikan masyarakat secara materi, tetapi juga nyawa melayang sia-sia.

Di Belgia (Heysel) atau di Inggris (Shefield), bahkan tahun 1967 sepak bola berujung perang antara El Salvador dan Honduras. Ingat juga kerusuhan pada pertandingan di Port Said, Mesir, pada 2012 yang menewaskan 74 orang dan 1.000 luka-luka. Juga di Gana (2001) yang menewaskan 126 orang di Stadion Accra; Afrika Selatan (2001) 43 orang tewas; di Guatemala (1996) 82 orang tewas; di Nepal (1988) menewaskan 90 orang; di Bradford, Inggris, (1985) 56 orang tewas; Moskow, Rusia, (1982) 340 orang tewas; Skotlandia (1971) 66 orang tewas; Peru (1961) 300 orang tewas; dan masih banyak lagi.

Ritualisme Perhelatan

Lebih jauh, daya pikat sepak bola modern, dus acara-acara pergelaran yang semakin memesona, membuat sosok sepak bola semakin menarik untuk dielaborasi, khususnya dari sisi ritualisme yang disuguhkan, seperti pada upacara akbar Piala Eropa atau Piala Dunia. Michael Novack dalam bukunya, The Joy of Sports (1976), mengatakan perhelatan seperti Piala Dunia tidak lebih semacam `liturgi' atau upacara-upacara religius.

Mengapa? Karena di sana ada tata cara yang nyaris sakral; ada askese, yaitu disiplin yang menahan dan mengatur dorongan dari dalam diri demi aturan dan nilai permainan, ada pula simbol-simbol kebesaran seperti bendera, lagu kebangsaan, kostum dan lain-lain, serta ada tempat sakral yang dikhususkan bagi pemain, penonton, dan pelatih.

Secara spesifik, tulis I Bambang Sugiharto (2000), permainan sepak bola untuk saat ini merupakan ritual liturgis dunia birokrasi. Ia memberi simbol dan mendramatisasi bentuk masyarakat dengan pembagian kelas-kelas profesional dan elite teknokratnya. Kelas-kelas profesional disimbolkan pembagian kerja di lapangan, seperti penjaga gawang, gelandang, penyerang, dan lain-lain. Elite teknokrat disimbolkan tim pelatih, manajer, dan sebagainya. Sepak bola mencerminkan pula disiplin, strategi, semangat kelompok, dan kerja sama, ambisi, dan kekerasan dunia teknokratis.

Ciri ritual sepak bola kolosal juga diakui sosiolog R Real dalam bukunya, Exploring Media Culture: A Guide (1996). Dikatakannya, perhelatan sepak bola akbar seperti upacara ritual lainnya menuntut khalayak di stadion-stadion dan mereka yang menontonnya lewat tayangan TV untuk berpartisipasi sebagai pengamat sekaligus sebagai peserta yang mengidentifikasikan diri dengan tim favorit mereka. Para pemain tidak lebih sebagai sang idola yang dianggap sebagai dewa, sang penyelamat, yang menyelamatkan mereka keluar dari kejenuhan rutinitas hidup.

Memang, sejak zaman Yunani, sepak bola, khususnya, dan olahraga, umumnya, sudah dijadikan semacam religi. Pierre de Counbertain, pendiri Olimpiade modern, pada awalnya mendasarkan Olimpiade itu pada tujuan religius, yaitu guna mendamaikan berbagai jalur agama besar di dunia yang sering bertentangan. Untuk itu, dibuatlah Olimpiade semacam ritual religius. Jadi, misalnya, tempat Olimpiade dianggap semacam liturgi--tempat `ziarah'. Cara masuk para atlet ke lapangan juga harus semacam `prosesi'. Dan para panitianya seperti `imam-imam'. Janji atlet semacam ritus penyucian dan para artis melengkapi aksen `perayaan'.

Tujuan Eksternal Ritualisme

Perhelatan akbar Piala Eropa atau Piala Dunia kini pun benar-benar dibuatkan semacam Olimpiade, dengan mengedepankan sisi ritual religius. Hanya, kini semua itu lebih tepat diselenggarakan untuk menciptakan perdamaian, kebersamaan, dan solidaritas kemanusiaan, dus sebagai manifestasi kerinduan umat manusia akan satu dunia yang lebih damai dan harmonis.

Tujuan penyelenggaraan Piala Eropa, sama halnya Piala Dunia, yang semakin akbar dan kolosal ini, juga tidak lebih sebagai tujuan religius juga; menggapai kehidupan dan kemanusiaan yang utuh lahir batin adalah juga cita-cita agama. Dengan demikian, perhelatan akbar sepak bola itu, jika dikerling lebih ke dalam, juga untuk mendamaikan jalur-jalur agama-agama di dunia yang kerap bertentangan yang disulut rasa curiga.

Meskipun harus dicatat bahwa religiositas dalam olahraga, seperti Piala Eropa itu, hanya sebatas kemasan ritual lahiriah belaka. Energi dan emosi-emosi yang bernuansa religius bukan untuk memperdalam spiritualitas diri sebagai umat beragama, melainkan lebih dimanfaatkan untuk mengabdi kepentingan-kepentingan ekonomi, ideologi politik, sosial, dan budaya-sebagai tujuan eksternalnya-yang berujung pada degradasi berganda: religi menjadi tanpa Allah dan olahraga sepak bola menjadi pendewaan manusia-manusia perkasa (superstar sepak bola).

Namun, semua itulah yang membuat perhelatan akbar Piala Eropa menjadi menarik, bukan hanya menikmati seni dan keindahannya yang menghibur, melainkan juga sebagai media yang terbuka bagi analisis dan sumber pembelajaran.

Sekurang-kurangnya diharapkan, perhelatan akbar Piala Eropa empat tahunan seperti Piala Dunia itu semakin menjadi bahasa religius yang lebih subtil jika dibandingkan dengan bahasa ekonomi dan politik yang kering dan verbal semata, dus semakin menjadi magnet hubungan antarmanusia yang memberi inspirasi perdamaian umat manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar