Menunggu
Keajaiban di Rio
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat,
Penulis Buku ‘Ironi Negeri Beras’
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat,
Penulis Buku ‘Ironi Negeri Beras’
Sumber : SINDO, 20
Juni 2012
Pada
20–22 Juni tak kurang 130 kepala negara dan ribuan pemangku kepentingan akan
berkumpul di Rio de Janeiro, Brasil, untuk meneguhkan kembali niat merawat
bumi.
Dengan
mengusung tema ”The Future We Want”,
mereka memperingati 20 tahun pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (Rio+20),
sekaligus mendiskusikan kembali masa depan yang diinginkan manusia di planet
bumi dan bagaimana pengaturan institusi agar keinginan itu tercapai. Akankah
konferensi lingkungan ini jadi ajang penyelamatan bumi dari kerusakan? Akankah
sejarah baru diukir di Rio?
Ataukah konferensi hanya (kembali) menjadi ajang unjuk gigi kepongahan negara-negara kaya dengan memperjualbelikan nasib manusia lewat valuasi jasa lingkungan, seperti transaksi dagang karbon? KTT Bumi di Rio de Janeiro pada 1992 melahirkan Agenda- 21 berisi tentang sejumlah prinsip, arah,kebijakan,dan kelembagaan untuk membangun dunia yang lebih baik dan berkelanjutan.
Sepuluh tahun kemudian, KTT Pembangunan Berkelanjutan ketiga di Johannesburg menghasilkan Plan of Implementation of Agenda-21. Sayang, sejumlah kesepakatan yang diteken sejumlah negara yang tergabung dalam PBB untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan global itu tak lebih retorika politik belaka. Kini, 20 tahun setelah pertemuan di Rio de Janeiro, kerusakan lingkungan makin parah.
Lingkungan yang makin memburuk ditandai meluasnya penggundulan hutan ratarata 5,6 juta hektare per tahun dan penggurunan seluas 4,8 juta hektare tahun (FAO,2010). Lenyapnya keanekaragaman hayati,baik di darat maupun di laut, berlipat 10 kali di atas ambang yang disepakati. Dua protokol perlindungan alam PBB yang vital, Konvensi Keragaman Hayati dan Konvensi Kerangka Perubahan Iklim, dalam dua dekade terakhir jadi subordinat agenda kebuasan aliran kapital global.
Usaha mengubah pola konsumsi yang boros dan tidak berkelanjutan, jauh panggang dari api.Ironisnya,kini negaranegara berkembang dan miskin mengikuti pola konsumsi yang dipraktikkan oleh negara maju itu. Jejak ekologis kemakmuran negara-negara Utara adalah potret paling jelas dari model pembangunan global yang merusak, serta mempertahankan pasokan bahan mentah dan buruh murah dari negara berkembang.
Hasil model pembangunan tersebut berwujud rusaknya wilayah sosioekologis negara-negara Selatan untuk melayani gaya hidup boros dan konsumsi tidak terkendali dari negara-negara Utara. Valuasi jasa lingkungan seperti perdagangan karbon lewat mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanisme/ CDM) atau reduction emission from deforestation and forest degradation (REDD) sebagai tempat bertemu kepentingan negara kaya dan negara miskin, sama sekali tidak menjawab persoalan. CDM atau REDD justru memberi tiket negara maju terus menyemburkan karbon, mencemari atmosfer dan lingkungan sepanjang bisa membeli hak emisi dan hutan pihak lain.Jika semula tanah, kini justru atmosfer dan hutan diprivatisasi.
Dampak Buruk TNCs
Perdagangan karbon yang mendominasi perundingan dalam beberapa Konferensi Para Pihak (COP) sebelumnya adalah hasil lobi korporasi transnasional (TNCs), yang di belakangnya adalah industriindustri ekstraksi, termasuk Bank Dunia. Kalkulasi untung-rugi dalam bisnis telah mensubordinasi isu lingkungan. Isu lingkungan tidak pernah jadi arus utama dalam peradaban manusia. Kuatnya lobi pelaku bisnis (TNCs) dan pejabat pemerintah negara maju di semua proses perundingan untuk mengamankan kepentingan bisnis jangka pendek mereka, serta-merta mementahkan kesepakatan penyelamatan dunia.
Kesalahan terbesar berbagai kesepakatan tentang penyelamatan lingkungan atas pembangunan ekonomi dan sosial adalah kealpaan memasukkan pengaturan dunia usaha, institusi keuangan, dan TNCs. Padahal, institusi-institusi itu paling bertanggung jawab atas timbulnya polusi, pemanasan global dan pengurasan sumber daya di seluruh dunia, serta memiliki andil yang besar pada munculnya polapola konsumsi sesaat dan budaya konsumtif.
TNCs adalah pelaku utama kerusakan lingkungan. Pertama,aktivitas TNCs menyumbang lebih dari separuh gas rumah kaca yang disemburkan sektor-sektor industri. Kedua, TNCs secara riil memiliki kontrol khusus atas produksi dan penggunaan CFCs (chloro fluoro karbon) dan senyawa-senyawa kimia terkait yang merusak ozon. Ketiga, di sektor pertambangan, TNCs masih mendominasi industri-industri kunci dan terus mengintensifkan aktivitas mereka.
Di tambang aluminium 6 TNCs mengontrol 63% seluruh kapasitas pertambangan, di bidang pertanian TNCs mengontrol 80% tanah di seluruh dunia yang diolah untuk tanaman ekspor. Keempat, TNCs adalah penyebar utama sistem produksi tidak ramah lingkungan, produk-produk dan bahan-bahan yang berbahaya bagi dunia ketiga. Kelima, TNCs mendominasi perdagangan (dalam banyak kasus pengurasan) sumber daya alam dan komoditas, yang berandil pada degradasi hutan, air dan sumber daya kelautan, limbah beracun dan produk berbahaya (Khor,2003).
Setelah KTT Bumi Rio de Janeiro, Brasil, pada 1992, paradigma pembangunan berkelanjutan meredup, bahkan kalah oleh paradigma globalisasi. Pengaturan TNCs dan bisnis kian memburuk. Upaya menyelesaikan kode etik bagi TNCs (Code of Conduct on TNCs) secara formal terhenti pada 1993, sedangkan badan yang bertanggung jawab tentang hal itu, yakni The UN Centre on TNCs, dibubarkan.
Arus balik justru kian kuat, yakni kecenderungan menghilangkan peraturan demi peraturan yang dibuat pemerintah guna mengatur perusahaan. Pada saat yang sama, kekuatan, lobi, dan kedekatannya dengan organisasi multilateral, TNCs diberi hak dan kekuasaan yang kian besar. Kewenangan negara untuk mengontrol praktik dan perilaku perusahaan dikurangi, bahkan dihilangkan.
Menyelamatkan Bumi
Untuk menyelamatkan bumi, para pihak yang berkumpul di Rio de Janeiro setidaknya harus bisa menjawab lima pertanyaan berikut. Pertama, bagaimana mengubah secara struktural modal produksi dan konsumsi atau gaya hidup negara-negara maju? Kedua, bagaimana menata ulang korporasi agar mereka menghentikan aktivitas- aktivitas yang membahayakan lingkungan, kesehatan dan pembangunan?
Ketiga, bagaimana mengembangkan model-model pembangunan yang berkeadilan sosial maupun yang berwawasan lingkungan di negara-negara berkembang? Keempat, bagaimana melakukan penyesuaian struktural institusi-institusi ekonomi dunia, sehingga dapat mengarah pada pembentukan nilai perdagangan yang adil, dan mengubah pola aliran sumber daya keuangan antara negaranegara maju-berkembang?
Kelima, bagaimana mengupayakan distribusi pembagian beban yang adil atas beban penyesuaian yang diperlukan sesuai tuntutan lingkungan, baik antarnegara maupun dalam negara? Tanpa menjawab lima pertanyaan itu, penyelamatan bumi yang digagas di Rio tak ubahnya menunggu keajaiban. ●
Ataukah konferensi hanya (kembali) menjadi ajang unjuk gigi kepongahan negara-negara kaya dengan memperjualbelikan nasib manusia lewat valuasi jasa lingkungan, seperti transaksi dagang karbon? KTT Bumi di Rio de Janeiro pada 1992 melahirkan Agenda- 21 berisi tentang sejumlah prinsip, arah,kebijakan,dan kelembagaan untuk membangun dunia yang lebih baik dan berkelanjutan.
Sepuluh tahun kemudian, KTT Pembangunan Berkelanjutan ketiga di Johannesburg menghasilkan Plan of Implementation of Agenda-21. Sayang, sejumlah kesepakatan yang diteken sejumlah negara yang tergabung dalam PBB untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan global itu tak lebih retorika politik belaka. Kini, 20 tahun setelah pertemuan di Rio de Janeiro, kerusakan lingkungan makin parah.
Lingkungan yang makin memburuk ditandai meluasnya penggundulan hutan ratarata 5,6 juta hektare per tahun dan penggurunan seluas 4,8 juta hektare tahun (FAO,2010). Lenyapnya keanekaragaman hayati,baik di darat maupun di laut, berlipat 10 kali di atas ambang yang disepakati. Dua protokol perlindungan alam PBB yang vital, Konvensi Keragaman Hayati dan Konvensi Kerangka Perubahan Iklim, dalam dua dekade terakhir jadi subordinat agenda kebuasan aliran kapital global.
Usaha mengubah pola konsumsi yang boros dan tidak berkelanjutan, jauh panggang dari api.Ironisnya,kini negaranegara berkembang dan miskin mengikuti pola konsumsi yang dipraktikkan oleh negara maju itu. Jejak ekologis kemakmuran negara-negara Utara adalah potret paling jelas dari model pembangunan global yang merusak, serta mempertahankan pasokan bahan mentah dan buruh murah dari negara berkembang.
Hasil model pembangunan tersebut berwujud rusaknya wilayah sosioekologis negara-negara Selatan untuk melayani gaya hidup boros dan konsumsi tidak terkendali dari negara-negara Utara. Valuasi jasa lingkungan seperti perdagangan karbon lewat mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanisme/ CDM) atau reduction emission from deforestation and forest degradation (REDD) sebagai tempat bertemu kepentingan negara kaya dan negara miskin, sama sekali tidak menjawab persoalan. CDM atau REDD justru memberi tiket negara maju terus menyemburkan karbon, mencemari atmosfer dan lingkungan sepanjang bisa membeli hak emisi dan hutan pihak lain.Jika semula tanah, kini justru atmosfer dan hutan diprivatisasi.
Dampak Buruk TNCs
Perdagangan karbon yang mendominasi perundingan dalam beberapa Konferensi Para Pihak (COP) sebelumnya adalah hasil lobi korporasi transnasional (TNCs), yang di belakangnya adalah industriindustri ekstraksi, termasuk Bank Dunia. Kalkulasi untung-rugi dalam bisnis telah mensubordinasi isu lingkungan. Isu lingkungan tidak pernah jadi arus utama dalam peradaban manusia. Kuatnya lobi pelaku bisnis (TNCs) dan pejabat pemerintah negara maju di semua proses perundingan untuk mengamankan kepentingan bisnis jangka pendek mereka, serta-merta mementahkan kesepakatan penyelamatan dunia.
Kesalahan terbesar berbagai kesepakatan tentang penyelamatan lingkungan atas pembangunan ekonomi dan sosial adalah kealpaan memasukkan pengaturan dunia usaha, institusi keuangan, dan TNCs. Padahal, institusi-institusi itu paling bertanggung jawab atas timbulnya polusi, pemanasan global dan pengurasan sumber daya di seluruh dunia, serta memiliki andil yang besar pada munculnya polapola konsumsi sesaat dan budaya konsumtif.
TNCs adalah pelaku utama kerusakan lingkungan. Pertama,aktivitas TNCs menyumbang lebih dari separuh gas rumah kaca yang disemburkan sektor-sektor industri. Kedua, TNCs secara riil memiliki kontrol khusus atas produksi dan penggunaan CFCs (chloro fluoro karbon) dan senyawa-senyawa kimia terkait yang merusak ozon. Ketiga, di sektor pertambangan, TNCs masih mendominasi industri-industri kunci dan terus mengintensifkan aktivitas mereka.
Di tambang aluminium 6 TNCs mengontrol 63% seluruh kapasitas pertambangan, di bidang pertanian TNCs mengontrol 80% tanah di seluruh dunia yang diolah untuk tanaman ekspor. Keempat, TNCs adalah penyebar utama sistem produksi tidak ramah lingkungan, produk-produk dan bahan-bahan yang berbahaya bagi dunia ketiga. Kelima, TNCs mendominasi perdagangan (dalam banyak kasus pengurasan) sumber daya alam dan komoditas, yang berandil pada degradasi hutan, air dan sumber daya kelautan, limbah beracun dan produk berbahaya (Khor,2003).
Setelah KTT Bumi Rio de Janeiro, Brasil, pada 1992, paradigma pembangunan berkelanjutan meredup, bahkan kalah oleh paradigma globalisasi. Pengaturan TNCs dan bisnis kian memburuk. Upaya menyelesaikan kode etik bagi TNCs (Code of Conduct on TNCs) secara formal terhenti pada 1993, sedangkan badan yang bertanggung jawab tentang hal itu, yakni The UN Centre on TNCs, dibubarkan.
Arus balik justru kian kuat, yakni kecenderungan menghilangkan peraturan demi peraturan yang dibuat pemerintah guna mengatur perusahaan. Pada saat yang sama, kekuatan, lobi, dan kedekatannya dengan organisasi multilateral, TNCs diberi hak dan kekuasaan yang kian besar. Kewenangan negara untuk mengontrol praktik dan perilaku perusahaan dikurangi, bahkan dihilangkan.
Menyelamatkan Bumi
Untuk menyelamatkan bumi, para pihak yang berkumpul di Rio de Janeiro setidaknya harus bisa menjawab lima pertanyaan berikut. Pertama, bagaimana mengubah secara struktural modal produksi dan konsumsi atau gaya hidup negara-negara maju? Kedua, bagaimana menata ulang korporasi agar mereka menghentikan aktivitas- aktivitas yang membahayakan lingkungan, kesehatan dan pembangunan?
Ketiga, bagaimana mengembangkan model-model pembangunan yang berkeadilan sosial maupun yang berwawasan lingkungan di negara-negara berkembang? Keempat, bagaimana melakukan penyesuaian struktural institusi-institusi ekonomi dunia, sehingga dapat mengarah pada pembentukan nilai perdagangan yang adil, dan mengubah pola aliran sumber daya keuangan antara negaranegara maju-berkembang?
Kelima, bagaimana mengupayakan distribusi pembagian beban yang adil atas beban penyesuaian yang diperlukan sesuai tuntutan lingkungan, baik antarnegara maupun dalam negara? Tanpa menjawab lima pertanyaan itu, penyelamatan bumi yang digagas di Rio tak ubahnya menunggu keajaiban. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar