Rabu, 20 Juni 2012

Dialog Tanpa Makna


Dialog Tanpa Makna
Dinna Wisnu ; Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina    
Sumber :  SINDO, 20 Juni 2012


Sejak pertengahan minggu lalu,d i Rio de Janeiro, Brasil berkumpul ribuan delegasi dari seluruh dunia, termasuk 7.000 perwakilan perusahaan, puluhan ribu aktivis dan ratusan pimpinan negara, untuk memperingati 20 tahun United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau yang lebih dikenal dengan nama KTT Bumi (The Earth Summit), yang dulu pernah diselenggarakan di kota yang sama tahun 1992.

KTT Rio+20 bermaksud menggugah para pemimpin dunia akan lambannya respons (bahkan kemunduran) untuk menata ulang cara-cara efektif menjaga keanekaragaman hayati, keseimbangan ekosistem, dan memperlambat perubahan iklim di bumi. 

Sayangnya, forum raksasa seperti Rio+20 sulit mencapai titik konsensus.
Ketika sejumlah kementerian dan organisasi berkumpul di kampus pascasarjana Universitas Paramadina untuk mengantisipasi kondisi dalam forum tersebut dan menyusun strategi, sudah terbayang di benak yang hadir bahwa forum ini akan sarat warna-warni masalah.

Sangat kompleks, di mana delegasi dari masing-masing negara cenderung tidak satu suara dalam menyampai kan pendapatnya. Perwakilan korporasi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) adalah tokoh terpisah yang lebih sering berseberangan pendapat dengan pemerintahnya. Per 19 Juni, kabarnya tak lebih dari 38% topik dalam rancangan pernyataan bersama yang terbahas, padahal pembahasan sudah berlangsung berhari-hari.

Ada satu titik yang memperoleh pembahasan terus menerus yakni konsep Ekonomi Hijau (Green Economy). Belum ada kesepakatan tentang kebijakan yang perlu didorong di seluruh negara, apalagi yang terkait dengan target-target pembangunan milenium yang menyasar perbaikan standar hidup manusiawi. Ujung-ujungnya kembali kepada perdagangan karbon dan standarstandar label hijau untuk produk-produk yang dihasilkan negara-negara berkembang. Masing- masing negara bersembunyi di balik klausul “common but differentiated responsibilities”, yakni kesamaan tujuan dengan tanggung jawab yang berbeda (antara negara maju dan berkembang).

Dari tahun ke tahun, diplomasi di bidang lingkungan hidup selalu tersandera pada halhal yang sama. Pertama, berseberangannya ide pembangunan dengan korporasi-korporasi besar yang transnasional. Kedua, kerentanan perekonomian global dan nasional yang harus ditanggung oleh negara. Ketiga, pelaku perlindungan ekosistem, keanekaragaman hayati, pertanian, serta perkebunan di negara-negara berkembang (lembaga, individu maupun komunitas) yang sifatnya mikro, swadaya, dan serba paspasan atau bahkan berkekurangan dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Titik kerentanan dalam perekonomian global seakan menjadi titik temu bagi ketiga sudut pandang tersebut. Padahal, akar kerentanannya jelas jauh berbeda. Bagi korporasi global, penyelamat mereka dari kerentanan adalah dana-dana segar dari pemerintah, pasar baru bagi produk-produk mereka, dan dukungan dari pemerintah dalam segi regulasi atau jaminan. Bagi negara, penyelamat mereka adalah investasi asing dari korporasi-korporasi besar, kenaikan volume ekspor, kekuatan nilai mata uang karena kepercayaan pasar internasional, dan masyarakat yang tidak banyak menghabiskan dana sosial (alias bisa serba swadaya, atau punya inisiatif kewirausahaan).

Apa ujungnya bagi lembaga, individu atau komunitas mikro yang serba swadaya dan paspasan di negara berkembang? Dapat dibayangkan bahwa mereka lagi-lagi harus sendirian dalam memperjuangkan kepentingannya di hadapan negara dan korporasi besar. Dari hari ke hari, karena agrobisnis dan eksploitasi sumber daya alam adalah bisnis yang sangat menguntungkan, persaingan di sana semakin ketat. Buat negara, skala besar yang ditawarkan perusahaan besar sangat menggiurkan karena menjanjikan buah-buah instan.

Dari ilustrasi di atas dapat dibayangkan kesulitan komunikasi terkait diplomasi lingkungan hidup. Ujung-ujungnya cuma lahir kesepakatan normatif dan dapat dibayangkan bahwa selebihnya diserahkan kepada mekanisme pasar (lagi). Negara seperti Indonesia sesungguhnya dapat berperan besar dalam mengubah cara pandang dunia terhadap pembangunan berbasis ekonomi hijau yang berkelanjutan.

Seorang rekan yang lama bergulat di bidang perlindungan lingkungan hidup dan pernah menjadi satu-satunya atase bidang lingkungan hidup bagi Indonesia mengatakan bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman hayati nomor satu di dunia, bila ditotal seluruh keanekaragaman di darat dan di laut. Artinya, Indonesia sesungguhnya punya potensi daya tawar yang tinggi dalam negosiasi internasional.

Namun, pemerintah Indonesia belum punya cukup kepercayaan diri untuk menarik benang merah kepentingan nasional Indonesia dalam segala bentuk forum diplomasi lingkungan hidup internasional yang ada. Dari waktu ke waktu, pihak-pihak yang berangkat ke luar negeri, bahkan dari instansi pemerintah pun, selalu tak bisa menjawab tentang apa kepentingan Indonesia yang akan diperjuangkan. Paling sering terucap adalah kata-kata “yang penting, Indonesia tampil, ikut, bicara….”.

Pejabat negara yang berangkat malah protes pada aktivis LSM karena tidak kompak, sementara perwakilan korporasi lokal merasa tak pernah diajak bicara oleh pemerintah. Apa gunanya ikut dialog internasional bila tak ada kesepakatan ide perubahan, yang akan ditularkan pada negara lain dengan kompak oleh ragam orang Indonesia yang berangkat ke forum-forum internasional? Sama saja dengan dialog tanpa makna!

Pekerjaan rumah terbesar bagi Indonesia adalah menggariskan turunan dari visi perlindungan keanekaragaman hayati, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Kalau pemerintah Indonesia menyerahkan segala sesuatunya pada mekanisme pasar dan bergantung pada korporasi besar untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi (termasuk juga penciptaan lapangan pekerjaan), maka hasilnya dapat dipastikan pincang.

Ekonomi pasar hanya dapat hidup bila masyarakatnya berkembang pula menjadi masyarakat ekonomi pasar (market society). Tidak hanya mereka punya daya beli yang cukup, standar hidup yang cukup untuk menghidupi pasar, tetapi juga punya jaminan untuk tidak sendirian ketika menghadapi fluktuasi pasar. Ketika gagal menyediakan hal-hal ini, beban yang harus ditanggung pemerintah dalam jangka panjang akan membesar.

Masyarakat yang terpinggirkan dalam ekonomi pasar tak akan mampu menopang perekonomian negara, sehingga negara harus berutang ke luar negeri dan hidup dari rasa kasihan negara-negara lain saja. Setidaknya ada dua hal yang wajib segera dikerjakan pemerintah. Pertama, menyusun visi diplomasi bidang green economy ini, lengkap dengan dimensi pertumbuhan ekonomi dan pemerataannya bagi rakyat Indonesia. Visi ini wajib disusun bersama beragam lapisan dan kelompok masyarakat, termasuk korporasi lokal besar dan kecil dan aktivis LSM.

Bangunlah kerangka pandang yang sama sehingga di mana pun orang Indonesia berada dan apa pun profesinya, mereka mengedepankan cara-cara yang sama untuk merawat bumi Indonesia. Kedua, mengedepankan kegiatan seperti penguatan sinergi kerja sama antara korporasi lokal dan masyarakat lokal, penguatan kapasitas dan insentif bagi komunitas, serta reputasi lembaga dan korporasi lokal perlu diangkat.

Kerja sama dengan korporasi asing raksasa yang sifatnya sudah transnasional perlu dirumuskan dalam wujud transfer teknologi, penguatan riset, dan pengembangan teknologi yang bisa diakses masyarakat luas, serta pengembangan supply-chain lintas negara yang lebih efisien. Jadi, sebenarnya ada cara-cara memperkuat ekonomi dengan tetap menggunakan mekanisme pasar, tetapi dengan mengikutsertakan lebih banyak orang. Pasar tak mungkin hidup tanpa komunitas yang hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar