Selasa, 05 Juni 2012

Menimbang Garuda ke Suriah


Menimbang Garuda ke Suriah
Fahmi Alfansi P Pane ; Tenaga Ahli DPR RI
SUMBER :  REPUBLIKA, 5 Juni 2012


Hati siapa yang tidak luluh dan iba menyaksikan rekaman puluhan jenazah anak-anak yang dibaringkan di sebuah masjid di Houla, Suriah. Anak-anak itu tidak hanya diberondong senjata, tapi tampaknya sengaja dibunuh secara brutal dengan pisau atau alat lainnya sehingga seakan-akan baru dimakan binatang buas.

Jumlah korban di Houla adalah 108 orang, sebagian di antaranya adalah anak-anak yang menimbulkan kemarahan publik internasional. Namun, beberapa hari kemudian ditemukan pula 13 jenazah di Provinsi Deir Al-Zour yang ditembak dalam keadaan terikat di wilayah timur Suriah. Total korban sudah bertambah dari data Reuters, yang dikutip Republika edisi 29 Mei, bahwa dari Maret 2011 hingga 26 Mei 2012 tercatat 15.344 orang.

Fakta kekejaman rezim Assad seharusnya terlalu memadai untuk segera ditindak guna mencegah pembantaian rakyat sipil, termasuk anak-anak. Apalagi, terdapat sekitar 12 ribu WNI di Suriah menurut catatan Kemenlu RI. Namun, hingga kini, pemerintah baru mengirimkan 16 perwira TNI dan Polri yang bergabung dalam tim pemantau PBB.

Sebelum memilih tindakan paling optimal, sebaiknya kita tinjau dulu beberapa opsi yang berkembang. Pertama, mempertahankan kesepakatan gencatan senjata yang disepakati utusan PBB-Liga Arab, Kofi Annan dengan Presiden Assad. Opsi ini didukung kuat Rusia dan Cina, yang mengecam pembantaian Houla, tapi menolak opsi militer ke Suriah.

Namun, alternatif ini makin diabaikan AS serta sekutu Barat dan Arabnya. Para diplomat Suriah diusir dan itu tampaknya baru aksi permulaan. Opsi gencatan senjata juga terbukti tidak efektif dan malah seperti memberikan waktu konsolidasi bagi Assad untuk menghadapi gerilyawan. Assad dan milisinya tetap menyerang rakyat sipil tak bersenjata.

Kedua, menimbang intervensi militer dengan beberapa strategi. Strategi pertama bisa dengan keterlibatan langsung, seperti di Bosnia, Irak, dan Afghanistan. Strategi ini bisa dipertimbangkan karena ketidakseimbangan kekuatan tentara Suriah dan milisi Assad dengan para gerilyawan. Namun, strategi ini berbiaya mahal dan bisa berlarut-larut.

Strategi kedua adalah berkoalisi dengan gerilyawan. Ini mirip dengan yang dilakukan oleh Prancis, AS, dan Inggris terhadap rezim Qadafi. Ketiga negara tersebut memimpin invasi udara NATO, sedangkan para gerilyawan yang berbasis di Bin Ghazi menggelar rangkaian perang artileri dan gerilya kota. Strategi ini efektif, tetapi memakan waktu sangat panjang dan terlalu berdarah-darah. Sebab, kekuatan tentara Qadafi dan gerilyawan setara.

Namun, baik pelibatan langsung maupun hanya dukungan udara, NATO pasti berhati-hati. Saat ini, keadaan ekonomi AS, Prancis, Inggris, dan negara-negara Eropa kurang baik. Apalagi, Prancis yang memimpin koalisi NATO menumbangkan Qadafi, kini dipimpin Francois Hollande yang berkampanye menarik seluruh tentara Prancis dari Afghanistan. Sangat aneh bila Prancis seperti memindahkannya ke Suriah saja.

Strategi ketiga mungkin lebih menarik bagi AS, yakni pengerahan pasukan khusus untuk menopang para gerilyawan. Strategi militer ini mereduksi risiko dan bisa sangat efektif bila terfokus pada jantung kekuasaan Suriah.

Bagi AS, operasi-operasi khusus akan menjadi salah satu strategi induk agar dapat membatasi pertumbuhan anggaran militer. Apalagi, AS mulai mengutamakan urusan di kawasan Asia Pasifik. Obama juga pasti berhati-hati menjelang pilpres pada November 2012.

Masalahnya, sejak jatuhnya Qadafi dan meningkatnya tekanan pada Assad, Rusia, Cina, dan Iran semakin agresif membantu Assad. Ekspor senjata Rusia diperkirakan meningkat pesat. Pengapalan senjata terakhir tercatat pada Jumat, 25 Mei, seperti dilaporkan Reuters dan TV Al Arabiya. Itu adalah hari yang sama dengan tragedi Houla.

Namun, boleh jadi masalah terbesarnya adalah sumber daya migas dan aset strategis lain Suriah tidak sebesar Libya. Produksi minyak Suriah, misalnya, turun terus mulai dari 400 ribu barel/hari pada 2005, dan akan menjadi importir bersih pada tahun ini. Pertanyaannya, apakah aset strategis Suriah mampu menutupi biaya perang dan rekonstruksi pascaperang. Dan, seberapa banyak tambang migas yang dapat dibagi kepada pemenang perang?

Jalan Tengah

Tampaknya, opsi ketiga sebagai jalan tengah yang menggabungkan pendekatan diplomasi politik dan kekuatan militer dapat dilirik. Melalui PBB, Indonesia dapat mengusulkan pengiriman tentara di bawah payung PBB untuk menciptakan stabilitas keamanan (peace making forces) sekaligus mencegah pertempuran dan pembantaian sipil. Konsekuensinya, Assad harus bersedia lengser sehingga dengan pengawasan negara-negara Muslim dan anggota PBB lainnya, dapat digelar pemilu yang luber dan jurdil.

Pemerintahan transisi dan penyelenggara pemilu dapat dipilih dari kalangan ulama dan kekuatan politik signifikan. Bila Barat konsisten dengan demokrasinya, kaum mayoritas akan memerintah dan itu lebih menjamin stabilitas politik. Jika Assad menolak, itu berarti dia melawan nasihat ibunya yang tidak ingin nasib anaknya seperti diktator Arab lainnya.
Jika opsi ketiga nantinya diterima, peran Kontingen Garuda perlu dikedepankan. 
Soalnya, mayoritas masyarakat Indonesia dan Suriah sama-sama Sunni, tetapi tidak akan mendapat resistensi dari kaum Syiah di sana karena saudara-saudara Syiah di Indonesia pun dibiarkan memeluk ajarannya. Prospek itu sejalan dengan penilaian Komandan Sekolah Pascasarjana Manajemen Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia, Marsma Usra Harahap (2012) bahwa misi Garuda lebih berhasil daripada militer negara Eropa, dan diterima masyarakat setempat, seperti di Bosnia, Serbia, dan Lebanon.

Kini, setiap detik semakin berharga. Selayaknya pemerintah menimbang diplomasi dengan cara lain untuk menyelamatkan umat manusia dan ribuan WNI di Suriah sesegera mungkin pada kesempatan pertama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar