MTQ
untuk Kerukunan
Ahmad Tholabi Kharlie ; Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Qari/Qariah
dan Hafiz/Hafizah (IPQAH) Indonesia
SUMBER : REPUBLIKA,
5 Juni 2012
Musabaqah
tilawatil Quran (MTQ) telah melahirkan paradigma baru bagi keberagamaan umat Islam
Indonesia. Sejak kali pertama dicanangkan secara nasional pada 1968, MTQ
memberikan nuansa khas budaya keberagamaan ala Indonesia. Maka, hampir
dipastikan, fenomena MTQ menjadi trade
mark tradisi religius umat Islam Indonesia.
Penyelenggaraan
MTQ yang marak dengan ekspos seni budaya Islam lokal, di samping tentu saja
lantunan indah ayat-ayat Tuhan, sungguh menimbulkan kekaguman yang luar biasa.
Memang, MTQ tidak sekadar mempertontonkan eksklusivitas spiritual, tetapi juga
MTQ mengandung nilai-nilai keberagamaan atau pluralitas yang tecermin dari
nuansa tradisi yang mengemuka dalam hiruk-pikuk hajatan tahunan tersebut.
MTQ
sebagai momentum keagamaan--yang identik dengan nuansa spiritualitas--sejatinya
berkolaborasi dengan roh kebudayaan lokal Indonesia. Oleh karena itu, ia
berbeda dengan penyelenggaraan kegiatan serupa di beberapa negeri Muslim
lainnya di dunia. Perbedaan mencolok tampak jelas dari sisi ornamentasi
kegiatan yang sarat dengan riuhnya tampilan kesenian dan kekhasan budaya lokal
lainnya. Jadi, kalaulah boleh diilustrasikan, MTQ layaknya “pesta“ budaya
rakyat yang bernuansa religius (Islam).
Penyebutan
“pesta“ tidak sertamerta menimbulkan kesan negatif. Karena kemeriahan,
keceriaan, ketulusan, dan kepasrahan kepada Tuhan menyatu, membaur, dan
mengkristal dalam semangat jihad menyiarkan Islam (Alquran) melalui upaya
peningkatan minat membaca, memahami, menghayati, dan mengamalkan kandungan
Alquran di kalangan umat Islam.
Dengan
demikian, gema MTQ yang mengharu-biru di Tanah Air, termasuk MTQ XXIV tingkat
Nasional tahun 2012 yang berlangsung di Kota Ambon, Maluku, diharapkan akan
memperkukuh ikatan vertikal dan jalinan horizontal. Kesadaran vertikal akan
lahir sebagai refleksi nuansa religiusitas yang ditimbulkan, seiring dengan
munculnya kesadaran ukhuwah islamiah sebagai buah nuansa tradisi yang disajikan
dalam setiap penyelenggaraan MTQ.
Etos Kerukunan
Sebagai
pesta budaya bernuansa spiritual yang penuh kedamaian dan menjunjung tinggi
persaudaraan maka MTQ sejatinya mampu menjadi perekat bagi terciptanya suatu
pola keberagamaan yang kondusif dan inklusif. Indonesia dengan khazanah budaya,
agama, ras yang beragam, serta kebinekaan lainnya adalah modal dasar
pembangunan yang jika ditata secara benar dan tepat akan menghasilkan kekuatan
psikologis yang sangat besar.
Oleh
sebab itu, diperlukan kesadaran kolektif dari seluruh komponen bangsa untuk
meninggalkan egoisme kesukuan, agama, dan sebagainya. Saatnya kita mulai
menyadari dan mengoreksi kekeliruan-kekeliruan pada masa lalu seraya menata
kembali kehidupan berbangsa dan bernegara dalam semangat persatuan dan
kesatuan.
Lantas,
bagaimana menempatkan MTQ dalam konteks kerukunan dalam konteks pluralitas?
Bukankah MTQ menjadi trade mark umat Islam, dan ini berarti potensial
melahirkan eksklusivisme? Jawabannya terletak pada platform penyelenggaraan MTQ
yang digariskan oleh pemerintah.
Menempatkan
MTQ secara eksklusif dengan menafikan visi dan misi yang lebih hakiki adalah
suatu kesalahan besar. Dalam penyelenggaraan MTQ-yang dari tahun ke tahun kian
membaik itu--agaknya menjadi hal yang tidak dapat ditawar-tawar bagi
pemerintah, dalam hal ini Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ), untuk
segera mendesain suatu pola kegiatan yang berorientasi pada terciptanya
keharmonisan. Dalam konteks tersebut, paradigma yang digunakan adalah paradigma
vertikal an sich. Akibatnya, sikap
eksklusif akan semakin mengkristal di kalangan internal umat Islam.
Sebaliknya,
gagasan-gagasan mengenai pluralitas dalam MTQ akan melahirkan sikap toleran dan
saling menghargai di antara umat beragama. Sebagai suatu perhelatan budaya
bernuansa religius maka pembauran antara pelbagai unsur yang berbeda menjadi
mutlak diwujudkan. MTQ harus diposisikan sebagai proyek bersama antarumat
beragama sehingga timbul rasa tanggung jawab lintas agama yang tentu saja
bermuara kepada kebersamaan dalam pluralitas. Agaknya, di sinilah letak benang
merah kerukunan umat beragama dalam kegiatan MTQ Nasional di Kota Ambon tahun
ini.
Kata
kuncinya dengan demikian adalah bagaimana menempatkan momentum MTQ sebagai
pesta kebudayaan rakyat Indonesia dalam skala makro yang tidak hanya menjadi
konsumsi pure umat Islam, tetapi perlu dipikirkan suatu pola kerja sama lintas
agama. Ketika MTQ telah menjadi agenda nasional-sebagai bagian dari upaya
pemerintah dalam menghidupkan tradisi keberagamaan masyarakat--maka
keterlibatan seluruh kompenen bangsa dalam upaya menyukseskan pembangunan
mental spiritual menjadi hal yang sangat niscaya.
Agaknya,
kerja sama lintas agama dalam konteks penyelenggaraan MTQ akan menghilangkan
kesan eksklusif yang justru kontraproduktif di tengah kondisi bangsa yang
rentan perpecahan ini. Kita semua tentu berharap, MTQ Nasional XXIV yang
diselenggarakan di wilayah dengan Muslim minoritas ini dapat menjadi jembatan
bagi terbinanya kerukunan antarumat beragama yang hakiki dan sejati, khususnya
di Provinsi Maluku, dan wilayah nusantara pada umumnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar