Menggugat
Kompensasi Pencemaran
Effnu Subiyanto ; Kandidat doktor ilmu ekonomi FEB Unair
Sumber : MEDIA
INDONESIA, 19 Juni 2012
ECOTON
Surabaya akhirnya melayangkan gugatan Rp3,852 miliar kepada PT Perkebunan
Nusantara (PTPN) X yang diduga menjadi dalang pencemaran Kali Surabaya
baru-baru ini. Pencemaran oleh pabrik gula Gempol
Kerepanak usaha PTPN X--meracuni ribuan ikan dan habitat air lainnya.
Kebersihan Kali Surabaya begitu penting karena 64%-nya merupakan sumber bahan
baku utama PDAM untuk keperluan pasokan air bersih bagi warga kota.
Pelajaran
yang menarik dari gugatan Ecoton ini
ialah sudah ditampilkannya angka kuantifikasi kerugian akibat pencemaran
lingkungan yang dilakukan korporasi. Itu barangkali delik gugatan pertama di
Indonesia yang sudah memasukkan kalkulasi ekonomi lingkungan.
Sebetulnya
peraturan pemerintah (PP) terbaru soal kewajiban program tanggung jawab sosial
dan lingkungan (CSR) Nomor 47/2012, yang merupakan mandat dari UU Perseroan
Terbatas Nomor 40/2007 Pasal 74, tidak jelas menyebutkan berapa angka yang
ditentukan dari sebuah program CSR.
Angka
tersebut sebenarnya sangat ditunggu-tunggu kalangan pelaku usaha untuk
mengakhiri polemik berapa nilai atau ukuran CSR kepada masyarakat sekitar yang
pantas dan legal. Sayangnya, nilai kewajiban korporasi yang berbisnis dalam
bidang pengolahan sumber daya alam (SDA) itu tidak disebutkan dengan jelas dan
tegas. Kewajibannya pun masih sebatas dalam jumlah kepatutan dan kewajaran.
Persoalan
sosial dan lingkungan dewasa ini sebetulnya sudah sangat serius dan kritis. Berbagai
persoalan yang sebelumnya tidak ada kini menjadi ada setelah entitas bisnis
dinyatakan boleh beroperasi di sebuah daerah. Dampak itu antara lain gejala pemanasan
global karena penebangan hutan, banjir, kemarau berkepanjangan, penduduk
sekitar rentan sakit, mata pencaharian yang hilang akibat ladang yang tandus,
perairan tercemar, dan juga bahaya polusi udara sampai gangguan kenyamanan,
seperti kebisingan suara mesinmesin pabrik. Pencemaran Kali Surabaya merupakan
contoh faktual terbaru di Jawa Timur.
Meski
demikian, pemerintah tampaknya sulit membuat acuan berapa nilai yang patut
sebagai bentuk kompensasi sebuah korporasi kepada sosial dan lingkungan. Persoalan
ini memang dilematis karena jika pemerintah menerapkan standar jumlah yang
tegas, sisi lain terancam, misalnya pendapatan pajak, pengangguran, dan sistem
ekonomi yang sudah terbangun.
Namun,
di sisi lain cek kosong itu juga tidak kalah potensial konfliknya, karena
korporasi yang mengaku mendapatkan keuntungan minim atau rugi juga berhak tidak
melaksanakan kewajiban CSR-nya.
Berapa Besar?
Jika
dibandingkan dengan k kasus British Petroleum (BP) terkait dengan pencemaran
Teluk Meksiko karena tumpahan minyak dari anjungan Deepwater Horizon April 2010, besaran gugatan yang dilayangkan
pemerintah AS ialah US$20 miliar (Rp172 triliun). BP luar biasa rugi; minyak
yang hilang mencapai 4,9 juta barel dan total kerugian mencapai US$40,9 miliar
(Rp384 triliun).
Di
Indonesia, kasus kejahatan lingkungan termasuk pelik dan solusinya sulit.
Persoalan korban Lapindo hingga tahun keenam ini juga belum selesai.
Berharap penyelesaian kerusakan alamnya sama artinya dengan menggantang asap. Kocek APBN sampai enam tahun terkuras sedikitnya Rp11,5 triliun dan akan bertambah lagi karena masalahnya belum selesai.
Berharap penyelesaian kerusakan alamnya sama artinya dengan menggantang asap. Kocek APBN sampai enam tahun terkuras sedikitnya Rp11,5 triliun dan akan bertambah lagi karena masalahnya belum selesai.
Menurut
Cooper (1997), untuk mengukur angka kepatutan kompensasi kepada lingkungan,
harus ditentukan besaran dampak kepada sosial dan lingkungan tersebut dalam
kurun waktu setelah korporasi tersebut beroperasi. Timbulnya banjir, padahal
sebelumnya tidak terjadi, merupakan contoh sederhana. Adapun kerusakan sarana
fisik seperti infrastruktur dan terganggunya kesehatan penduduk dapat secara
langsung diketahui dan dapat segera dikalkulasi.
Patut
diperhitungkan pula ekses lain dampak banjir, misalnya rusaknya areal perta
nian, sehingga gagal panen juga harus dihitung. Laporan sosial lainnya yang
secara logis memiliki relevansi dengan bencana banjir ialah biaya kepatutan CSR
pada satu peristiwa saja.
Dalam
hal ini sepertinya kewajiban sosial dan lingkungan korporasi tampak besar,
padahal belum. Sebab, nilai gangguan psikologis seperti ketakutan, fobia, depresi
masyarakat, serangan jantung, sampai dengan anak-anak yang tidak bisa sekolah,
tidak dapat dikuantifikasi. Rusaknya nilainilai budaya atau hilangnya
artefak-artefak seja rah yang bernilai tinggi ialah hal lain yang juga tidak
bisa dihitung.
Term
kepatutan dan kewajaran juga sangat sektoral karena persoalan sosial dan
lingkungan bagi korporasi yang beroperasi di Jawa pasti tidak akan sama dengan
yang berada di luar Jawa.
Lingkungan Berbeda
Pada
kasus pembukaan hutan tropis menjadi lahan perkebunan kelapa sawit di
Kalimantan, misalnya, juga akan terjadi masalah sosial dan lingkungan yang
berbeda. Di wilayah itu, jika pemusnahan satwa tertentu dapat dikuantifikasi
dalam nilai tertentu, misalnya pembunuhan orang utan yang dihitung secara
tangible dan intangible, hal itu dapat dibebankan sebagai ongkos CSR yang patut
dikembalikan oleh korporasi tersebut. Demikian pula men jadi beban sosial dan
lingkungan apabila korporasi tersebut menghilangkan populasi vegetasi dan
habitat tertentu.
Namun,
terminologi kepatutan dan kewajaran tidak akan dengan mudah diterima begitu
saja oleh kalangan pelaku usaha. Inilah yang akan menjadi sumber konflik baru
antara masyarakat dan korporasi. Naga-naganya, jika di daerah tersebut terda
pat sekelompok pelaku usaha bersama-sama, mereka akan saling mempertahankan
diri sebagai korporasi, bukan pelaku bisnis yang memberikan dampak sosial dan
lingkungan secara negatif. Para majikan korporasi tersebut akan ramairamai
mengelak dan menghin dar dari tanggung jawab.
Daerah-daerah
yang potensial konflik karena wilayah yang interseksi itu antara lain
daerah-daerah berikat atau daerah dengan banyak jenis industri yang berdekatan.
Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat setempat dalam hal ini harus duduk
bersama untuk mengambil jalan tengah. Inilah satu-satunya solusi yang terbaik
dan risiko yang dapat ditempuh karena PP 47/2012 itu nyata-nyata memberikan cek
kosong yang tidak tegas.
Tidak
ada yang tahu persis berapa seharusnya dana CSR di Indonesia apabila
dikumpulkan per tahun. Menko Perekonomian Hatta Rajasa pernah memperkirakan
nilainya sekitar Rp10 triliun per tahun. Namun, jika melihat realisasi GDP 2011
sebesar US$822,631 miliar, angka Rp10 triliun sangat tidak masuk akal.
Terlihat Jelas
Kerusakan
sosial dan lingkungan Papua saja sudah amat terlihat dengan Google-Earth. Wilayah tambang emas Grasberg sebagai basis operasi Freeport
tampak habis, gundul, dan tandus. Alat berat Freeport tampak kesetanan menggali
dan menambang tanah karena mengejar harga emas yang kini terus merambat naik,
US$1.653,10 per troy ounce. Padahal
dalam setahun Freeport mampu memproduksi emas sampai dengan 2,8 juta troy ounce atau kira-kira 100 ton (GFMS survey, 2011). Itu belum termasuk
bahan tambang ikutan lain, misalnya tembaga dan konon juga bahan uranium.
Kalkulasi
nilai CSR juga tampaknya perlu dikenakan kembali kepada korporasi Newmont Nusa
Tenggara. Kendati masih di bawah Freeport, kemampuan menambang dan membuat emas
sampai dengan 2 juta troy ounce per
tahun akan memiliki daya rusak sosial dan lingkungan yang sama seriusnya dengan
di Papua.
Di
Papua saja kini daya rusak sosialnya mulai menyerang bu daya setempat dengan
ditemukannya kasus HIV tertinggi di Indonesia. Adapun Newmont di Nusa Tenggara,
daya rusak sosialnya mungkin tidak kalah jika melihat populasi penduduk Nusa
Tenggara yang lebih besar ketimbang populasi penduduk Papua.
Nilai
CSR juga perlu kembali dihitung para penambang batu bara di Kalimantan,
Sumatra, dan pulau lain. Dengan angka produksi batu bara rata-rata per tahun
sampai dengan 332 juta ton--dinikmati asing 75%-tidak terbayang angka kerusakan
hutan Indonesia.
Bersama-sama
dengan industri CPO yang juga merusak sosial dan lingkungan, lengkap sudah
penderitaan rakyat Indonesia dalam menanggung ongkos sosial dan lingkungan yang
tidak akan dapat digantikan.
Kerusakan
hutan Indonesia akibat kolaborasi penambangan batu bara dengan perluasan
perkebunan sawit sekarang sudah terakumulasi 65 juta hektare (2011). Padahal
total luas hutan tidak bertambah dan tetap sekitar 101,73 juta hektare sejak
2003. Untuk memulihkan hutan saja paling tidak diperlukan Rp285 triliun.
Rekalkulasi
CSR juga harus dikenakan pula kepada pelaku bisnis di bidang pengeboran minyak
dan gas dan juga pabrik semen. Konon berdasarkan perhitungan sebuah lembaga
peduli lingkungan, Indonesia memerlukan total Rp4.500 triliun (Greenpeace, 2008) untuk memulihkan
seluruh lingkungannya yang kini rusak parah.
Itu
belum termasuk biaya untuk rehabilitasi manusianya dan biaya psikologis yang
tidak bisa dikuantitatifkan. Kini pemerintah harus menghitung ulang, jika value
dari eksploitasi seluruh sumber daya alam Indonesia mencapai dua kali lipat
dari biaya rehabilitasi lingkungan, bisa jadi industri itu masih memungkinkan.
Kalau
melihat hal ini, tuntutan Ecoton sebesar
Rp3,852 miliar masih sangat terlalu kecil dan tidak sepadan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar