Kamis, 14 Juni 2012

Menghayati MTQ Nasional


Menghayati MTQ Nasional
Urwatul Wustqo ; Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
SUMBER :  REPUBLIKA, 13 Juni 2012


Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Nasional ke-XXIV yang diselenggarakan dari 9-20 Juni 2012 digelar di Kota Ambon, Maluku, hendaknya dipahami secara holistis. Sebab, jika tanpa penghayatan yang mendalam terhadap makna yang dipesankan secara substansial dalam teks-teks suci Alquran maka akan terasa sangat sia-sia. Dan, bagi kita umat Islam, sebaik-baiknya memperlakukan Alquran adalah dengan cara menghayati serta mengamalkannya dalam kehidupan, bukan hanya pelantunan ayat-ayat sucinya yang merdu.

Penghayatan dan pengamalan itulah yang sesungguhnya menjadi inti diturunkannya Alquran. Karena itu, dalam momen MTQ tahun ini, kiranya kaum Muslim harus kembali memikirkan (rethinking) Alquran, dalam arti sudah sejauh mana Alquran memengaruhi dalam kehidupan kita.

Selama ini, ada kesan, ketika membaca Alquran, kaum Muslim sudah merasa cukup hanya sampai pada dataran teksnya atau bahkan Alquran hanya menjadi ornamen dan pajangan di rumah, serta menjadikannya sebagai simbol “keislaman” maupun “ketakwaan”.

Pendeknya Alquran kurang menjadi prinsip kehidupan yang “menyejarah”, padahal kaum Muslim harusnya meng hidupkan Alquran karena ia adalah sesuatu “yang hidup” (living Alquran) di tengah zaman yang terus berubah.

Ada perbedaan signifikan ketika Alquran turun dalam masyarakat Arab zaman Nabi dan Alquran yang sudah built up pada zaman kita sekarang. Jika dulu, setiap kali turun ayat Alquran tidak dipahami sebagai kalimat yang sendiri-sendiri, tetapi berdasarkan kenyataan sehari-hari sehingga proses memahaminya tidak membawa kesulitan serius.

Tapi, kini Alquran menghampiri pembacanya lewat teks-teks yang sudah melampaui zaman pertama kali ketika turun. Sehingga, di situ perlu ada upaya untuk memahami Alquran secara serius, di antaranya, terus menafsirkannya secara aktual.

Dari sisi itu, hadis Nabi SAW yang dikutip Mohammed Arkoun dalam karyanya Lectures du Coran (1997) bahwa seseorang tak dapat dikatakan paham sepaham-pahamnya sampai ia melihat pelbagai kemungkinan pengertian Alquran menjadi kritikan buat kaum Muslim yang selama ini telah merasa damai dengan “pemahamannya“ terhadap Alquran. Semestinya, jika menyadari eksistensi bunyi hadis itu, kita haruslah mengaktualisasi Alquran untuk merespons pelbagai perkembangan zaman.

Adapun pendekatan yang selama ini digunakan, terutama oleh para ulama terdahulu dalam kitab-kitab tafsirnya, hanya mengadaptasikan Alquran pada saat mereka hidup pada zamannya sehingga kini menjadi tidak kontekstual lagi. Salahnya, warisan ulama terdahulu itu masih terus dipakai secara normatif dan otoritatif, seakan-akan tak ada kemungkinan pendekatan baru atasnya.

Lazimnya pendekatan Alquran yang sudah didekati baru sampai pada masalah-masalah klasik, seperti jurisprudensi (ilmu fikih), teologi dogmatik (ilmu kalam), penafsiran esoteris (tasawuf), tata bahasa (nahwu), dan ilmu-ilmu Qurani itu sendiri (ulum al-Qur'an).

Sedangkan, jika mengikuti perkembangan baru di dunia modern ini, ilmu pengetahuan terus berkembang, seperti psikologi, ekonomi, sosiologi dan politik kontemporer, antropologi, linguistik, semiotika, hermeneutika, dan lainnya.
 
Tugas kaum Muslim kini semestinya tidaklah secara apologetis mengatakan bahwa apa yang ada dalam perkembangan ilmu itu sudah ada dalam Alquran.
Melainkan, tantangan untuk terus berupaya mendekati Alquran secara aktual dan kontemporer harusnya terus dilakukan. Ia mestinya terus dibaca serta digali pemahaman di dalamnya dengan pendekatan ilmu-ilmu modern.

Bukan sebatas Teks

Sir Muhammad Iqbal dalam karya klasiknya, Reconstruction of Islamic Thought (1985), pernah berujar bahwa Islam justru tidak ada di dunia Islam sendiri. Ia justru ada di dunia Barat. Peradaban Barat memaknai “Alquran” bukan sebagai teks, melainkan realitas.

Alquran di situ adalah prinsip nilai-nilai moral positif yang kandungannya kemudian diterjemahkan dalam realitas. Sehingga, model seperti itulah yang dapat mencipta peradaban dan masyarakat sipil (masyarakat Madinah) di situ dinaungi oleh aturan hukum yang adil dan semangatnya sangat praksis bagi kehidupan.

Sebaliknya, telah terjadi mitos-mitos, legenda-legenda, dan praktik-praktik takhayul dalam masyarakat Muslim yang diakibatkan oleh penafsiran yang keliru terhadap teks Alquran. Akhirakhir ini, sangat marak film-film atau ceramah-ceramah keagamaan yang me muat dan menerangkan keutamaan (fadilah-fadilah) teks.

Model penafsiran Alquran yang realistis dan aktual tidak memiliki pretensi untuk melucuti “kesakralan” Alquran, tetapi bahwa ajaran Alquran tidak seharusnya dibawa hanya pada persoalan “mistifikasi” yang tidak mengena pada substansi-substansinya.

Pendekatan Alquran yang realistis merupakan konstruksi baru bagi kaum Muslim dalam menghadapi persoalanpersoalan modern. Di tengah kebingung annya menghadapi realitas ini, hal itu seakan membuka tabir baru wajah Islam yang penuh dengan khazanah dan nomenklatur berbagai aura pemikiran ke aga maan yang kemudian diperpadukan dengan kondisi aktual.

Sehingga, Islam menjadi agama yang realistis dan dapat memberi kontribusi praksis bagi peradaban. Teks Alquran menjadi spiritnya (zeitgeist) dan sumber penyemangat bagi kehidupan.

Karena peradaban Islam dimulai dari peradaban tekstual maka jika ingin menemukan kembali peradabannya, jangan hanya berhenti memahami sebatas teksnya, melainkan teks itu harus diaktualisasikan dalam realitas kehidupan. Wallahu a‘lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar