Menghayati
MTQ Nasional
Urwatul Wustqo ; Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
SUMBER : REPUBLIKA,
13 Juni 2012
Musabaqah
Tilawatil Qur’an (MTQ) Nasional ke-XXIV yang diselenggarakan dari 9-20 Juni
2012 digelar di Kota Ambon, Maluku, hendaknya dipahami secara holistis. Sebab,
jika tanpa penghayatan yang mendalam terhadap makna yang dipesankan secara
substansial dalam teks-teks suci Alquran maka akan terasa sangat sia-sia. Dan,
bagi kita umat Islam, sebaik-baiknya memperlakukan Alquran adalah dengan cara
menghayati serta mengamalkannya dalam kehidupan, bukan hanya pelantunan
ayat-ayat sucinya yang merdu.
Penghayatan
dan pengamalan itulah yang sesungguhnya menjadi inti diturunkannya Alquran.
Karena itu, dalam momen MTQ tahun ini, kiranya kaum Muslim harus kembali
memikirkan (rethinking) Alquran,
dalam arti sudah sejauh mana Alquran memengaruhi dalam kehidupan kita.
Selama
ini, ada kesan, ketika membaca Alquran, kaum Muslim sudah merasa cukup hanya
sampai pada dataran teksnya atau bahkan Alquran hanya menjadi ornamen dan
pajangan di rumah, serta menjadikannya sebagai simbol “keislaman” maupun
“ketakwaan”.
Pendeknya
Alquran kurang menjadi prinsip kehidupan yang “menyejarah”, padahal kaum Muslim
harusnya meng hidupkan Alquran karena ia adalah sesuatu “yang hidup” (living Alquran) di tengah zaman yang
terus berubah.
Ada
perbedaan signifikan ketika Alquran turun dalam masyarakat Arab zaman Nabi dan
Alquran yang sudah built up pada
zaman kita sekarang. Jika dulu, setiap kali turun ayat Alquran tidak dipahami
sebagai kalimat yang sendiri-sendiri, tetapi berdasarkan kenyataan sehari-hari
sehingga proses memahaminya tidak membawa kesulitan serius.
Tapi,
kini Alquran menghampiri pembacanya lewat teks-teks yang sudah melampaui zaman
pertama kali ketika turun. Sehingga, di situ perlu ada upaya untuk memahami
Alquran secara serius, di antaranya, terus menafsirkannya secara aktual.
Dari
sisi itu, hadis Nabi SAW yang dikutip Mohammed Arkoun dalam karyanya Lectures du Coran (1997) bahwa seseorang
tak dapat dikatakan paham sepaham-pahamnya sampai ia melihat pelbagai
kemungkinan pengertian Alquran menjadi kritikan buat kaum Muslim yang selama
ini telah merasa damai dengan “pemahamannya“ terhadap Alquran. Semestinya, jika
menyadari eksistensi bunyi hadis itu, kita haruslah mengaktualisasi Alquran
untuk merespons pelbagai perkembangan zaman.
Adapun
pendekatan yang selama ini digunakan, terutama oleh para ulama terdahulu dalam
kitab-kitab tafsirnya, hanya mengadaptasikan Alquran pada saat mereka hidup
pada zamannya sehingga kini menjadi tidak kontekstual lagi. Salahnya, warisan
ulama terdahulu itu masih terus dipakai secara normatif dan otoritatif,
seakan-akan tak ada kemungkinan pendekatan baru atasnya.
Lazimnya
pendekatan Alquran yang sudah didekati baru sampai pada masalah-masalah klasik,
seperti jurisprudensi (ilmu fikih),
teologi dogmatik (ilmu kalam), penafsiran esoteris (tasawuf), tata bahasa (nahwu), dan ilmu-ilmu Qurani itu sendiri (ulum al-Qur'an).
Sedangkan,
jika mengikuti perkembangan baru di dunia modern ini, ilmu pengetahuan terus
berkembang, seperti psikologi, ekonomi, sosiologi dan politik kontemporer,
antropologi, linguistik, semiotika, hermeneutika, dan lainnya.
Tugas kaum Muslim kini semestinya tidaklah secara apologetis mengatakan bahwa
apa yang ada dalam perkembangan ilmu itu sudah ada dalam Alquran.
Melainkan, tantangan untuk terus berupaya mendekati Alquran secara aktual dan kontemporer harusnya terus dilakukan. Ia mestinya terus dibaca serta digali pemahaman di dalamnya dengan pendekatan ilmu-ilmu modern.
Melainkan, tantangan untuk terus berupaya mendekati Alquran secara aktual dan kontemporer harusnya terus dilakukan. Ia mestinya terus dibaca serta digali pemahaman di dalamnya dengan pendekatan ilmu-ilmu modern.
Bukan sebatas Teks
Sir
Muhammad Iqbal dalam karya klasiknya, Reconstruction
of Islamic Thought (1985), pernah berujar bahwa Islam justru tidak ada di
dunia Islam sendiri. Ia justru ada di dunia Barat. Peradaban Barat memaknai
“Alquran” bukan sebagai teks, melainkan realitas.
Alquran
di situ adalah prinsip nilai-nilai moral positif yang kandungannya kemudian
diterjemahkan dalam realitas. Sehingga, model seperti itulah yang dapat
mencipta peradaban dan masyarakat sipil (masyarakat Madinah) di situ dinaungi
oleh aturan hukum yang adil dan semangatnya sangat praksis bagi kehidupan.
Sebaliknya,
telah terjadi mitos-mitos, legenda-legenda, dan praktik-praktik takhayul dalam
masyarakat Muslim yang diakibatkan oleh penafsiran yang keliru terhadap teks
Alquran. Akhirakhir ini, sangat marak film-film atau ceramah-ceramah keagamaan
yang me muat dan menerangkan keutamaan (fadilah-fadilah)
teks.
Model
penafsiran Alquran yang realistis dan aktual tidak memiliki pretensi untuk
melucuti “kesakralan” Alquran, tetapi bahwa ajaran Alquran tidak seharusnya
dibawa hanya pada persoalan “mistifikasi” yang tidak mengena pada
substansi-substansinya.
Pendekatan
Alquran yang realistis merupakan konstruksi baru bagi kaum Muslim dalam
menghadapi persoalanpersoalan modern. Di tengah kebingung annya menghadapi
realitas ini, hal itu seakan membuka tabir baru wajah Islam yang penuh dengan
khazanah dan nomenklatur berbagai aura pemikiran ke aga maan yang kemudian
diperpadukan dengan kondisi aktual.
Sehingga,
Islam menjadi agama yang realistis dan dapat memberi kontribusi praksis bagi
peradaban. Teks Alquran menjadi spiritnya (zeitgeist)
dan sumber penyemangat bagi kehidupan.
Karena
peradaban Islam dimulai dari peradaban tekstual maka jika ingin menemukan
kembali peradabannya, jangan hanya berhenti memahami sebatas teksnya, melainkan
teks itu harus diaktualisasikan dalam realitas kehidupan. Wallahu a‘lam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar