Menghadapi
Kacaunya Hukum
Bachtiar Sitanggang ; Anggota Dewan Redaksi Sinar Harapan
SUMBER : SINAR
HARAPAN, 7 Juni 2012
Prof Dr Laica Marzuki SH, mantan hakim
Mahkamah Konstitusi (dan hakim agung Mahkamah Agung) yang tampil sebagai ahli
di sidang Mahkamah Konstitusi (MK) Rabu, 30 Mei lalu mengatakan, tanpa
penetapan batas-batas wilayah, tanpa territoriaal grenzen, dapat kiranya
berakibat pemerintahan daerah bakal mengalami kekacau-balauan status hukum,
bagai kekacau-balauan Menara Babel, Babylonische
wraak verwarring.
Di dalam Kitab Perjanjian Lama, ada kisah,
tatkala penduduk di suatu daerah Yahudi itu mau membangun suatu menara yang
mencapai langit, maka Allah murka, Dia menurunkan berbagai bahasa sehingga
terjadi kekacau-balauan.
Laica Marzuki melanjutkan, Prof Krabbe, ahli
hukum Belanda terkenal mengatakan, “Dalam hukum juga dimungkinkan dikenal
adanya kekacau-balauan Menara Babel.” Babylonische
wraak verwarring.
Prof Laica Marzuki sebagai ahli dari Pihak
Terkait Pemprov Kepulauan Riau dalam perkara Permohonan Pengujian Undang-undang
No 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau
terhadap UUD 1945 atas Permohonan Pemprov Jambi dan Pemkab Tanjung Jabung
Timur.
Kekacauan hukum tersebut memang sering
terjadi, apalagi diperparah dengan penafsiran para pihak sesuai dengan
kepentingan masing-masing. Kekacauan itu tercermin dengan Putusan MK, Selasa 5
Juni 2012 (kemarin) bahwa “Penjelasan Pasal 10 UU No 39/2008 tentang
Kementerian Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.”
Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi
mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 10 UU No 39 Tahun 2009 terhadap UUD 1945.
UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
“Dalam hal terdapat beban kerja yang
membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri
pada Kementerian tertentu.”
Bunyi Penjelasan Pasal 10 adalah sebagai
berikut: “Yang dimaksud dengan Wakil Menteri adalah pejabat karier dan bukan
merupakan anggota kabinet.”
Menurut pemohon, presiden harus dan wajib
menjelaskan kepada publik penanganan secara khusus apa yang membutuhkan
pengangkatan wakil menteri. Pasal 10 juga menekankan pada kata "secara
khusus", artinya tidak umum dan atau selektif, tapi faktanya presiden
mengangkat 20 wakil menteri dari 34 kementerian yang ada.
Timbul pertanyaan, apakah pengangkatan 20
wakil menteri tersebut masih sesuai dengan Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara? Jawabnya: tidak, maka dengan demikian pengangkatan 20 wakil
menteri oleh presiden tersebut terbukti tidak memiliki dasar hukum baik
undang-undang maupun UUD 1945, tambah pemohon.
Terhadap permohonan pengujian pasal tersebut,
amar putusan MK berbunyi: mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian; •
Penjelasan Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No 166, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4916) bertentangan dengan UUD 1945; • Penjelasan Pasal 10 UU No
39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 No 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kekacauan Penafsiran
Dalam pertimbangannya MK berpendapat,
meskipun Pasal 10 UU 39/2008 dari sudut kewenangan presiden mengangkat wakil
menteri tidak merupakan persoalan konstitusionalitas, tetapi pengaturan yang
terkandung dalam Penjelasan Pasal 10 UU a
quo dalam praktiknya telah menimbulkan persoalan legalitas yakni
ketidakpastian hukum karena tidak sesuainya implementasi ketentuan tersebut
dengan hukum kepegawaian atau peraturan perundang-undangan di bidang
pemerintahan dan birokrasi.
Terlebih lagi Penjelasan Pasal 10 ternyata
berisi norma baru padahal “Penjelasan... tidak boleh mencantumkan rumusan yang
berisi norma”.
Menurut Mahkamah persoalan legalitas yang
muncul dalam pengangkatan wakil menteri, antara lain:
Pertama, terjadi eksesivitas dalam
pengangkatan wakil menteri sehingga tampak tidak sejalan dengan latar belakang
dan filosofi pembentukan Undang-Undang tentang Kementerian Negara. Dalam
membentuk kementerian negara, jabatan menteri dan kementerian tidak boleh diobral
sebagai hadiah politik terhadap seseorang atau satu golongan.
Kedua, saat mengangkat wakil menteri,
presiden tidak menentukan beban kerja secara spesifik bagi setiap wakil menteri
sehingga tak terhindarkan memberi kesan kuat sebagai langkah yang lebih politis
daripada mengangkat pegawai negeri sipil (PNS) secara profesional dalam jabatan
negeri.
Ketiga, menurut Penjelasan Pasal 10 UU a quo jabatan wakil menteri adalah jabatan
karier dari PNS, tetapi dalam pengangkatannya tidaklah jelas apakah jabatan
tersebut merupakan jabatan struktural ataukah jabatan fungsional.
Para wakil menteri yang berasal dari
perguruan tinggi misalnya, semuanya sudah mempunyai jabatan fungsional
akademik. Pertanyaannya, kalau jabatan wakil menteri dianggap sebagai jabatan
karier fungsional, bisakah seorang PNS memiliki dua jabatan fungsional
sekaligus berdasar peraturan perundang-undangan?
Keempat, masih terkait dengan jabatan karier,
jika seorang wakil menteri akan diangkat dalam jabatan karier dengan jabatan
struktural (Eselon IA) maka pengangkatannya haruslah melalui seleksi, dan
penilaian oleh Tim Penilai Akhir (TPA) yang diketuai Wakil Presiden atas usulan
masing-masing instansi yang bersangkutan.
Kelima, nuansa politisasi dalam pengangkatan
jabatan wakil menteri tampak juga dari terjadinya perubahan Peraturan Presiden
Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara
sampai dua kali menjelang (Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011, tanggal 13
Oktober 2011) dan sesudah (Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2011, tanggal 18
Oktober 2011) pengangkatan wakil menteri bulan Oktober 2011 yang oleh sebagian
masyarakat dipandang sebagai upaya menjustifikasi orang yang tidak memenuhi
syarat untuk diangkat menjadi wakil menteri supaya memenuhi syarat tersebut.
Menimbang pula bahwa Penjelasan Pasal 10 UU
No 39 Tahun 2008 yang menentukan bahwa wakil menteri adalah pejabat karier dan
bukan merupakan anggota kabinet tidak sinkron dengan ketentuan Pasal 9 Ayat (1)
UU No 39 Tahun 2008, sebab menurut pasal tersebut susunan organisasi
kementerian terdiri atas unsur: pemimpin yaitu menteri; pembantu pemimpin yaitu
sekretariat jenderal; pelaksana tugas pokok, yaitu direktorat jenderal;
pengawas yaitu inspektorat jenderal; pendukung, yaitu badan atau pusat; dan
pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau perwakilan luar negeri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Apabila wakil menteri ditetapkan sebagai
pejabat karier, sudah tidak ada posisinya dalam susunan organisasi kementerian.
Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, yang berarti
bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Dalam pertimbangannya, MK mengakui bahwa
timbulnya kekacauan implementasi atau masalah legalitas di dalam hukum
kepegawaian dan birokrasi pemerintahan itu terjadi karena bersumber dari
ketentuan Penjelasan Pasal 10 UU a quo. Oleh karena itu, menurut Mahkamah
keberadaan penjelasan tersebut justru menimbulkan ketidakpastian hukum yang
adil dalam pelaksanaan hukum dan telah membatasi atau membelenggu kewenangan
eksklusif presiden dalam hal mengangkat dan memberhentikan menteri/wakil
menteri berdasarkan UUD 1945.
Dengan demikian, penjelasan tersebut harus
dinyatakan inkonstitusional. Karena keberadaan wakil menteri yang ada sekarang
ini diangkat antara lain berdasar Pasal 10 dan Penjelasannya dalam
Undang-Undang a quo, menurut Mahkamah
posisi wakil menteri perlu segera disesuaikan kembali sebagai kewenangan
eksklusif presiden menurut putusan Mahkamah ini.
Oleh sebab itu, semua keppres pengangkatan
masing-masing wakil menteri perlu diperbarui agar menjadi produk yang sesuai
dengan kewenangan eksklusif presiden dan agar tidak lagi mengandung
ketidakpastian hukum, dan karenanya MK dalam putusannya menyatakan bahwa
Penjelasan Pasal 10 tersebut tidak mengikat secara hukum.
Tambah Kacau
Terhadap amar putusan MK tersebut timbul
berbagai penafsiran, terutama terhadap keberadaan para wakil menteri yang ada
sekarang. Ini karena yang dinyatakan tidak mengikat secara hukum hanyalah
penjelasan, yang berarti keberadaannya tidak dipersoalkan; hanya saja posisinya
perlu disesuaikan kembali sebagai kewenangan eksklusif presiden karena
mengandung ketidakpastian hukum.
Barangkali perlu dipertegas oleh presiden
bahwa para wakil menteri yang sekarang itu tidak lagi hanya pejabat karier dan
anggota kabinet, tidak lagi seperti sebelumnya bahwa mereka adalah pejabat
karier dan bukan anggota kabinet.
Yang menjadi persoalan, kalau para wakil
menteri itu sebagai anggota kabinet, berarti sama dengan menterinya dan akan
menjadi dua nakhoda dalam satu kapal. Akan terjadi penyimpangan dari ketentuan
yang ada bahwa kementerian (yang tentunya dipimpin seorang menteri) hanya 34
dan kalau ditambah 20 akan menjadi 54. Kalau itu yang terjadi keppresnya akan
digugat lagi di PTUN, dan bisa saja para pemohon menguji lagi pasal-pasal
lainnya di MK.
Kemungkinan sekali, kalau presiden tetap
menetapkan 20 wakil menteri itu menjadi anggota kabinet, juga akan
di-”rebut”-kan oleh para penggiat Hukum Tata Negara, dan ada baiknya kembali ke
Pasal 10, yaitu “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan
secara khusus, presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian
tertentu.” Dengan demikian, tidak perlu sebanyak 20, atau paling tidak dalam
keppres masing-masing perlu dijelaskan urgensi dan relevansi adanya wakil
menteri dalam suatu kementerian.
Walaupun sudah ada Putusan MK mengenai wakil
menteri ini, kelihatannya persoalan belum selesai. Kelihatannya apa pun yang
dilakukan pemerintah, apalagi presiden, telah diintai pegiat hukum untuk
dipermasalahkan secara hukum pula.
Itu semua terjadi karena kekacaubalauan hukum
seperti dikutip di atas. Kita menunggu proses selanjutnya, namun presiden
tentunya akan taat kepada Putusan MK, lebih hebat Bupati Bogor yang tidak
mengindahkan Putusan Mahkamah Agung tentang Gereja Yasmin yang tidak kunjung dieksekusi.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar