Sabtu, 09 Juni 2012

Menghadapi Kacaunya Hukum


Menghadapi Kacaunya Hukum
Bachtiar Sitanggang ; Anggota Dewan Redaksi Sinar Harapan
SUMBER :  SINAR HARAPAN, 7 Juni 2012


Prof Dr Laica Marzuki SH, mantan hakim Mahkamah Konstitusi (dan hakim agung Mahkamah Agung) yang tampil sebagai ahli di sidang Mahkamah Konstitusi (MK) Rabu, 30 Mei lalu mengatakan, tanpa penetapan batas-batas wilayah, tanpa territoriaal grenzen, dapat kiranya berakibat pemerintahan daerah bakal mengalami kekacau-balauan status hukum, bagai kekacau-balauan Menara Babel, Babylonische wraak verwarring.

Di dalam Kitab Perjanjian Lama, ada kisah, tatkala penduduk di suatu daerah Yahudi itu mau membangun suatu menara yang mencapai langit, maka Allah murka, Dia menurunkan berbagai bahasa sehingga terjadi kekacau-balauan.
Laica Marzuki melanjutkan, Prof Krabbe, ahli hukum Belanda terkenal mengatakan, “Dalam hukum juga dimungkinkan dikenal adanya kekacau-balauan Menara Babel.” Babylonische wraak verwarring.

Prof Laica Marzuki sebagai ahli dari Pihak Terkait Pemprov Kepulauan Riau dalam perkara Permohonan Pengujian Undang-undang No 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau terhadap UUD 1945 atas Permohonan Pemprov Jambi dan Pemkab Tanjung Jabung Timur.

Kekacauan hukum tersebut memang sering terjadi, apalagi diperparah dengan penafsiran para pihak sesuai dengan kepentingan masing-masing. Kekacauan itu tercermin dengan Putusan MK, Selasa 5 Juni 2012 (kemarin) bahwa “Penjelasan Pasal 10 UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.”

Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 10 UU No 39 Tahun 2009 terhadap UUD 1945.

UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
“Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu.”
Bunyi Penjelasan Pasal 10 adalah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan Wakil Menteri adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet.”

Menurut pemohon, presiden harus dan wajib menjelaskan kepada publik penanganan secara khusus apa yang membutuhkan pengangkatan wakil menteri. Pasal 10 juga menekankan pada kata "secara khusus", artinya tidak umum dan atau selektif, tapi faktanya presiden mengangkat 20 wakil menteri dari 34 kementerian yang ada.

Timbul pertanyaan, apakah pengangkatan 20 wakil menteri tersebut masih sesuai dengan Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara? Jawabnya: tidak, maka dengan demikian pengangkatan 20 wakil menteri oleh presiden tersebut terbukti tidak memiliki dasar hukum baik undang-undang maupun UUD 1945, tambah pemohon.

Terhadap permohonan pengujian pasal tersebut, amar putusan MK berbunyi: mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian; • Penjelasan Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916) bertentangan dengan UUD 1945; • Penjelasan Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kekacauan Penafsiran

Dalam pertimbangannya MK berpendapat, meskipun Pasal 10 UU 39/2008 dari sudut kewenangan presiden mengangkat wakil menteri tidak merupakan persoalan konstitusionalitas, tetapi pengaturan yang terkandung dalam Penjelasan Pasal 10 UU a quo dalam praktiknya telah menimbulkan persoalan legalitas yakni ketidakpastian hukum karena tidak sesuainya implementasi ketentuan tersebut dengan hukum kepegawaian atau peraturan perundang-undangan di bidang pemerintahan dan birokrasi.

Terlebih lagi Penjelasan Pasal 10 ternyata berisi norma baru padahal “Penjelasan... tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma”.
Menurut Mahkamah persoalan legalitas yang muncul dalam pengangkatan wakil menteri, antara lain:

Pertama, terjadi eksesivitas dalam pengangkatan wakil menteri sehingga tampak tidak sejalan dengan latar belakang dan filosofi pembentukan Undang-Undang tentang Kementerian Negara. Dalam membentuk kementerian negara, jabatan menteri dan kementerian tidak boleh diobral sebagai hadiah politik terhadap seseorang atau satu golongan.

Kedua, saat mengangkat wakil menteri, presiden tidak menentukan beban kerja secara spesifik bagi setiap wakil menteri sehingga tak terhindarkan memberi kesan kuat sebagai langkah yang lebih politis daripada mengangkat pegawai negeri sipil (PNS) secara profesional dalam jabatan negeri.

Ketiga, menurut Penjelasan Pasal 10 UU a quo jabatan wakil menteri adalah jabatan karier dari PNS, tetapi dalam pengangkatannya tidaklah jelas apakah jabatan tersebut merupakan jabatan struktural ataukah jabatan fungsional.

Para wakil menteri yang berasal dari perguruan tinggi misalnya, semuanya sudah mempunyai jabatan fungsional akademik. Pertanyaannya, kalau jabatan wakil menteri dianggap sebagai jabatan karier fungsional, bisakah seorang PNS memiliki dua jabatan fungsional sekaligus berdasar peraturan perundang-undangan?

Keempat, masih terkait dengan jabatan karier, jika seorang wakil menteri akan diangkat dalam jabatan karier dengan jabatan struktural (Eselon IA) maka pengangkatannya haruslah melalui seleksi, dan penilaian oleh Tim Penilai Akhir (TPA) yang diketuai Wakil Presiden atas usulan masing-masing instansi yang bersangkutan.

Kelima, nuansa politisasi dalam pengangkatan jabatan wakil menteri tampak juga dari terjadinya perubahan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sampai dua kali menjelang (Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011, tanggal 13 Oktober 2011) dan sesudah (Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2011, tanggal 18 Oktober 2011) pengangkatan wakil menteri bulan Oktober 2011 yang oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai upaya menjustifikasi orang yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi wakil menteri supaya memenuhi syarat tersebut.

Menimbang pula bahwa Penjelasan Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 yang menentukan bahwa wakil menteri adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet tidak sinkron dengan ketentuan Pasal 9 Ayat (1) UU No 39 Tahun 2008, sebab menurut pasal tersebut susunan organisasi kementerian terdiri atas unsur: pemimpin yaitu menteri; pembantu pemimpin yaitu sekretariat jenderal; pelaksana tugas pokok, yaitu direktorat jenderal; pengawas yaitu inspektorat jenderal; pendukung, yaitu badan atau pusat; dan pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau perwakilan luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Apabila wakil menteri ditetapkan sebagai pejabat karier, sudah tidak ada posisinya dalam susunan organisasi kementerian. Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, yang berarti bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.

Dalam pertimbangannya, MK mengakui bahwa timbulnya kekacauan implementasi atau masalah legalitas di dalam hukum kepegawaian dan birokrasi pemerintahan itu terjadi karena bersumber dari ketentuan Penjelasan Pasal 10 UU a quo. Oleh karena itu, menurut Mahkamah keberadaan penjelasan tersebut justru menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dalam pelaksanaan hukum dan telah membatasi atau membelenggu kewenangan eksklusif presiden dalam hal mengangkat dan memberhentikan menteri/wakil menteri berdasarkan UUD 1945.

Dengan demikian, penjelasan tersebut harus dinyatakan inkonstitusional. Karena keberadaan wakil menteri yang ada sekarang ini diangkat antara lain berdasar Pasal 10 dan Penjelasannya dalam Undang-Undang a quo, menurut Mahkamah posisi wakil menteri perlu segera disesuaikan kembali sebagai kewenangan eksklusif presiden menurut putusan Mahkamah ini.

Oleh sebab itu, semua keppres pengangkatan masing-masing wakil menteri perlu diperbarui agar menjadi produk yang sesuai dengan kewenangan eksklusif presiden dan agar tidak lagi mengandung ketidakpastian hukum, dan karenanya MK dalam putusannya menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 10 tersebut tidak mengikat secara hukum.

Tambah Kacau

Terhadap amar putusan MK tersebut timbul berbagai penafsiran, terutama terhadap keberadaan para wakil menteri yang ada sekarang. Ini karena yang dinyatakan tidak mengikat secara hukum hanyalah penjelasan, yang berarti keberadaannya tidak dipersoalkan; hanya saja posisinya perlu disesuaikan kembali sebagai kewenangan eksklusif presiden karena mengandung ketidakpastian hukum.

Barangkali perlu dipertegas oleh presiden bahwa para wakil menteri yang sekarang itu tidak lagi hanya pejabat karier dan anggota kabinet, tidak lagi seperti sebelumnya bahwa mereka adalah pejabat karier dan bukan anggota kabinet.

Yang menjadi persoalan, kalau para wakil menteri itu sebagai anggota kabinet, berarti sama dengan menterinya dan akan menjadi dua nakhoda dalam satu kapal. Akan terjadi penyimpangan dari ketentuan yang ada bahwa kementerian (yang tentunya dipimpin seorang menteri) hanya 34 dan kalau ditambah 20 akan menjadi 54. Kalau itu yang terjadi keppresnya akan digugat lagi di PTUN, dan bisa saja para pemohon menguji lagi pasal-pasal lainnya di MK.

Kemungkinan sekali, kalau presiden tetap menetapkan 20 wakil menteri itu menjadi anggota kabinet, juga akan di-”rebut”-kan oleh para penggiat Hukum Tata Negara, dan ada baiknya kembali ke Pasal 10, yaitu “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu.” Dengan demikian, tidak perlu sebanyak 20, atau paling tidak dalam keppres masing-masing perlu dijelaskan urgensi dan relevansi adanya wakil menteri dalam suatu kementerian.

Walaupun sudah ada Putusan MK mengenai wakil menteri ini, kelihatannya persoalan belum selesai. Kelihatannya apa pun yang dilakukan pemerintah, apalagi presiden, telah diintai pegiat hukum untuk dipermasalahkan secara hukum pula.

Itu semua terjadi karena kekacaubalauan hukum seperti dikutip di atas. Kita menunggu proses selanjutnya, namun presiden tentunya akan taat kepada Putusan MK, lebih hebat Bupati Bogor yang tidak mengindahkan Putusan Mahkamah Agung tentang Gereja Yasmin yang tidak kunjung dieksekusi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar