Selasa, 19 Juni 2012

Infrastruktur dalam Sistem Pembayaran

Infrastruktur dalam Sistem Pembayaran
Achmad Deni Daruri ; President Director Center for Banking Crisis
Sumber :  MEDIA INDONESIA, 19 Juni 2012


SETIAP sistem ekonomi memerlukan dukungan sistem pembayaran yang khas. Di negara maju, sistem infrastruktur bagi sistem pembayarannya berbeda dengan sistem infrastruktur pembayaran negara sedang berkembang. Sebuah negara sedang berkembang tidak dapat meniru 100% infrastruktur pembayaran di negara maju.
Itu tidak dapat dalam konteks yang sangat luas. Begitu pula bila mengikuti cara pandang Rostow, yang tidak relevan untuk diterapkan saat ini. Misalnya, negara sedang berkembang saat ini meniru infrastruktur pembayaran di Amerika Serikat ketika Amerika Serikat memiliki tingkat pendapatan per kapita seperti negara sedang berkembang saat ini.

Jika langkah itu dilakukan, Kenya tidak akan pernah memiliki sistem pembayaran dengan sistem telepon genggam seperti saat ini. Dengan demikian, sistem pembayaran beserta infrastrukturnya lebih mirip fungsi produksi Leontief. Hal itu dapat terjadi karena ada unsur perkembangan teknologi.

Negara maju belum tentu semaju Kenya dalam penggunaan mobile phone banking secara relatif. Infrastruktur tersebut harus mempertimbangkan sumber daya relatif yang dimiliki negara bersangkutan berdasarkan kondisi perkembangan teknologi infrastruktur pembayaran pada saat ini.

Indonesia, misalnya, juga memiliki karakteristik yang berbeda dengan negara maju ataupun negara berkembang lainnya. Itu disebabkan Indonesia memiliki dual ekonomi seperti dikemukakan ekonom Booke. Untuk itu, penerapan infrastruktur pembayaran di Indonesia harus menjawab kedua tantangan tersebut. Untuk daerah perkotaan atau Pulau Jawa, infrastruktur pembayaran ala negara maju dapat diterapkan. Adapun di daerah perdesaan dan Indonesia Timur dapat diterapkan sistem seperti yang ada di Kenya.

Hal ini memerlukan penelitian mendalam karena budaya masyarakat juga sangat menentukan. Penelitian pertama yang harus dilakukan ialah melihat sejauh mana willingness to pay masyarakat tersebut terhadap setiap infrastruktur pembayaran yang akan ditawarkan.

Keberhasilan Kenya dalam mobile banking ialah dengan melakukan tahap tersebut secara tepat. Setelah menganalisis willingness to pay, langkah selanjutnya ialah menganalisis ability to pay. Tanpa analisis ability to pay, upaya investasi sistem infrastruktur pembayaran yang akan dilakukan akan sangat berisiko.

Mungkin saja sebuah negara tidak melakukan kedua kajian tersebut. Namun, keberhasilan yang terjadi sebetulnya lebih merupakan keberuntungan saja. Perbankan lima tahun ke depan akan menghadapi persaingan yang semakin tajam secara global sehingga sangat diperlukan kemampuan regulator untuk mengarahkan perbankan di Indonesia agar tidak hanya mampu menghadapi persaingan tersebut, tetapi juga menjembatani saving investment gap yang bakal dialami perekonomian Indonesia melalui investasi infrastruktur pembayaran yang sesuai dengan kondisi negara ini 5 hingga 10 tahun ke depan.

Kondisi neraca berjalan diperkirakan akan negatif sehingga akan bergantung kepada neraca modal untuk mempertahankan surplus dalam neraca pembayaran. Hal itu juga harus menjadi pertimbangan.

Ada beberapa faktor penting dalam lima tahun ke depan. Pertama, harmonisasi infrastruktur pembayaran dengan infrastruktur pembayaran negara-negara ASEAN lainnya. Harmonisasi ini diperlukan karena perdagangan bebas ASEAN harus disertai pula oleh harmonisasi sektor pembiayaan termasuk perbankan.
Karena itu, Bank Indonesia harus mengambil posisi yang tepat agar arah perbankan Indonesia tidak menimbulkan gap dengan harmonisasi perbankan di ASEAN, selain memosisikan secara strategis perbankan Indonesia dalam peta ekonomi ASEAN.

Kedua, harmonisasi infrastruktur pembayaran dengan infrastruktur pembayaran anggota APEC juga perlu disiapkan karena bagaimanapun, pasar APEC merupakan pasar yang sangat besar, apalagi Amerika Serikat memiliki kepentingan yang sangat besar di APEC.

Ketiga, harmonisasi dengan infrastruktur pembayaran anggota EU juga perlu dikembangkan sehingga perbankan Indonesia memiliki fleksibilitas yang sangat tinggi jika kerja sama ASEAN dan Uni Eropa berkembang dengan pesat di masa depan. Selain itu, permasalahan seperti too small to fail dapat segera diatasi.

Keempat, harmonisasi infrastruktur pembayaran dengan kemiskinan struktural juga sangat diperlukan karena bagaimanapun juga, infrastruktur pembayaran harus mampu mengatasi kemiskinan struktural di Indonesia. Kelima, harmonisasi infrastruktur pembayaran dengan peningkatan daya saing ekonomi Indonesia. Harmonisasi infrastruktur pembayaran dalam dimensi lainnya juga perlu diperhatikan dengan customer satisfaction program, termasuk terhadap sektor ekonomi lainnya khususnya sektor keuangan. Customer satisfaction program harus tidak hanya memperhatikan para penabung di bank, tetapi juga para kreditur.

Keenam, harmonisasi dengan peraturan Basel sebagai aturan perbankan secara internasional.

Ketujuh, harmonisasi dengan WTO sehingga WTO akan memberikan keuntungan bagi perbankan di Tanah Air.

Kedelapan, harmonisasi dengan IOSCO sebagai sektor keuangan penting di luar perbankan. Jika Kedelapan faktor tersebut dilakukan superimposed, akan dihasilkan himpunan bagian yang merupakan irisan dari semua faktor tersebut, yaitu bentuk infrastruktur pembayaran yang optimum bagi perekonomian Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar