Membunuh
Desa dengan RUU Desa
Bayu A Yulianto ; Pernah Mengajar
Sosiologi Perdesaan di FISIP UI;
Peneliti pada Yayasan
Kekal Indonesia
Sumber : KOMPAS,
23 Juni 2012
Pemerintah meyakini, Rancangan Undang-Undang
Desa versi pemerintah yang saat ini ada di tangan DPR adalah jalan untuk bisa
menyejahterakan masyarakat desa.
Benarkah demikian? RUU Desa yang dibahas
panjang lebar dalam diskusi Kompas
”Mengawal RUU Desa” di Yogyakarta (5/5/2012)
ternyata penuh problematika, manipulatif, dan terkesan serampangan. Desa
seperti dinyatakan oleh Kompas (7/5/2012) masih dilihat sebagai masalah, bukan
komponen sosial bangsa yang semestinya mendapat tempat dan porsi lebih besar
untuk bisa terlibat dalam proses sosial yang lebih luas. Di masa Orde Baru,
desa dikonstruksikan dalam keseragaman dan hidup dalam bayang-bayang patronase
politik negara (Anthlov, 2002). Konstruksi sosiologis yang ada dalam RUU Desa
yang sekarang, berdasarkan kajian Kelompok Studi Perdesaan FISIP UI dan Yayasan
Kekal Indonesia, masih punya kecenderungan antidesa. Ada hasrat sosial, baik
dari individu maupun institusi yang ingin mematikan struktur orang desa itu
sendiri (Lawang, 2006).
Kondisi ini diperparah ruang politik yang
melahirkan kebijakan yang cenderung manipulatif dan koruptif, yang kemudian
berimbas pada kualitas aturan publik yang hendak dibangun.
Persoalan Substansi
Permasalahan pokok dari substansi RUU Desa
ini adalah ia tak dilandasi dua hal mendasar yang dibutuhkan dalam konteks
meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Pertama, RUU ini tak memiliki
semangat penguatan modalitas desa. Sebuah fondasi awal yang mesti diberikan
kepada desa untuk bisa menegaskan eksistensinya sehingga struktur sosial
masyarakatnya bisa bertahan dan berkembang. Minimnya modalitas akan menghambat
laju perkembangan masyarakat desa, termasuk penyelesaian urusan-urusan sosial
di dalam masyarakat itu sendiri.
Modalitas desa meliputi hak-hak yang harus
dimiliki desa dan diberikan oleh negara sebagai bentuk penciptaan keadilan
sosial di masyarakat. Hak dimaksud, di antaranya, hak warga desa untuk bisa
menentukan sistem kepemimpinan desa sesuai aspirasi masyarakat, termasuk jika
dibutuhkan kebutuhan membangun satu majelis yang bisa menjadi institusi kontrol
atas jalannya kepemimpinan di desa.
Kemudian, mengembalikan sumber-sumber
pendapatan bagi desa yang sebelumnya dikuasai dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak
di luar desa, seperti kabupaten, provinsi, ataupun pusat, dengan porsi yang
sepadan. Selain itu, hak warga desa untuk turut serta dalam pengelolaan aset
yang ada di wilayah mereka serta mendapatkan pembagian keuangan dari pemerintah
dan kemampuan untuk mengatur sistem keuangan desa. Dengan modalitas itu, banyak
persoalan yang dihadapi masyarakat desa bisa diselesaikan sendiri tanpa
melibatkan pemerintah daerah atau pusat. Bukankah kemandirian ini yang kita
cita-citakan?
Kedua, RUU itu juga masih membuka kemungkinan
dominasi berlebihan kelompok-kelompok yang selama ini mendapatkan manfaat dari
setiap intervensi sosial di desa. Sebut saja elite desa yang menguasai
aspek-aspek ekonomi politik desa dan sering kali jadi bagian tak terpisahkan
dari sistem oligarki politik di tingkat lokal. Demokrasi yang jadi bagian tak
terpisahkan dari proses perubahan di perdesaan tak serta-merta bisa
menghapuskan sistem patronase politik yang telah demikian mengakar di
masyarakat desa.
Meski dalam beberapa kasus ada pola peluruhan
atas struktur patronase seperti itu, terlalu dini untuk mengatakan mekanisme
sosial itu telah hilang dari masyarakat. Apalagi, ketika praktik politik kotor
jadi bagian keseharian para petualang politik, baik pusat maupun daerah.
Alih-alih menggerus struktur patronase di perdesaan, politik menjadi sarana
paling efektif bagi keberlangsungan sistem patronase dalam wujud yang lebih
canggih.
Ketakutan dan Trauma Elite
Selain persoalan substansial yang menjadi
kelemahan RUU Desa sekarang, tak kalah penting adalah adanya pikiran atau
perasaan para elite negeri ini yang mencemaskan pemberian kewenangan dan
pendanaan pada desa bisa mengarah pada bentuk-bentuk ketidakharmonisan atau
disintegrasi nasional. Dalam alam pikiran mereka, desentralisasi sampai tingkat
dua saja sudah begitu merepotkan pemerintah pusat, bahkan dalam beberapa hal
justru mendorong maraknya korupsi dan penyalahgunaan wewenang sampai ke tingkat
lokal. Apalagi, kalau desentralisasi diteruskan hingga tingkat desa. Potensi
separatis bisa lebih menyebar skala jelajahnya dan dalam konteks ini, keutuhan
NKRI dipertaruhkan.
Inilah sesat pikir para pemimpin negeri ini
yang menunjukkan bahwa mereka tak paham dan tak menyadari pentingnya desa dalam
republik ini. Ini juga menunjukkan, mereka tak memiliki pemahaman mengenai
rakyatnya, rakyat desa yang 60 persen dari total penduduk Indonesia.
Cara pandang inilah yang menyebabkan
argumentasi separatisme dan disintegrasi nasional terlalu sering diungkapkan
jika bangsa ini bicara soal kemandirian desa. Mendorong kemandirian desa akan
bertabrakan dengan kepentingan integrasi nasional adalah sebuah asumsi yang
sangat tak beralasan. Kita harus mampu mengonstruksi kembali gagasan integrasi
sesuai perkembangan persoalan sosial yang kini tengah kita hadapi. Bagaimana
integrasi sebagai sebuah kebutuhan sosial dan kebutuhan nasional bisa dibangun
dengan sebuah perspektif baru yang mengakomodasi segenap perbedaan pemaknaan
mengenai integrasi itu sendiri. Disinilah masalah desa menjadi relevan untuk
kita masukkan sebagai komponen paling penting ketika kita hendak bicara soal
integrasi nasional.
Membangkitkan sebuah konstruksi integrasi
nasional dari keberagaman desa-desa di Indonesia bisa menjadi sebuah jalan
keluar dari tantangan integrasi itu sendiri. Selama ini, justru desa dan
masyarakatnya yang telah begitu berjasa dalam mempertahankan integrasi
nasional. Hasrat separatisme acap kali datang dari para elite, baik di tingkat
kabupaten, provinsi, maupun nasional, yang kepentingan ekonomi politiknya
sedang terganggu.
Oleh karena itu, ketimbang senantiasa melihat
desa sebagai sebuah masalah sosial, desa mesti ditempatkan sebagai sebuah
potensi untuk bisa membangun Indonesia masa depan yang lebih bermakna bagi
masyarakat. Membangun sebuah kerangka integrasi yang bersumber dari kenyataan
empiris bahwa kita memang beragam adalah tantangan bangsa kita ke depan. Jadi,
ketika RUU Desa ternyata tidak mengakomodasi bentuk-bentuk keragaman itu
sendiri, sudah bisa dipastikan bahwa kita sedang mendesain sebuah peradaban
Indonesia yang menihilkan keragaman dan justru mengancam integrasi nasional itu
sendiri. Inilah wujud konkret dari trauma elite kita. Sudah tak kenal, takut
pula.
Keengganan membicarakan mengenai desa atau
membiarkan masyarakat desa berjalan sendiri sesungguhnya sama saja dengan kita
berkontribusi terhadap kehancuran peradaban Indonesia masa depan. Oleh karena
itu, substansi RUU Desa mesti ditinjau kembali dan diletakkan sebagai sebuah
kebijakan yang mendasar dan menjadi acuan bagi program pembangunan Indonesia ke
depan. Jadi, kita bisa dengan percaya diri mengatakan bahwa desa adalah masa
depan kita, bukan masa lalu! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar