Minggu, 24 Juni 2012

Muhammadiyah Menapak Abad Ke-21


Muhammadiyah Menapak Abad Ke-21
Fajar Riza Ul Haq ;   Direktur Eksekutif Maarif Institute for Culture and Humanity
Sumber :  KOMPAS, 23 Juni 2012


Gedung Merdeka, Jalan Asia-Afrika, Bandung, menjadi saksi pembukaan perhelatan tanwir Muhammadiyah 2012 yang berlangsung Kamis-Minggu (21-24/6/2012).

Forum tertinggi kedua setelah muktamar ini mengusung tema ”Gerakan Pencerahan Solusi untuk Bangsa”. Secara organisatoris, tanwir ini bersejarah karena bertepatan dengan satu abad Muhammadiyah yang akan jatuh pada 12 November. Forum kali ini juga bernilai strategis dari perspektif kebangsaan mengingat masih terkatung-katungnya sejumlah persoalan krusial yang menyandera negeri ini, seperti kasus Bank Century, mafia pajak, dan lumpur Lapindo.

Secara historis, keberadaan Muhammadiyah bagian tak terpisahkan dari fenomena gerakan pembaruan awal abad ke-20 di Jawa. Percaturan geopolitik di Benua Eropa yang jadi episentrum politik dunia saat itu telah berpengaruh dalam kemunculan pelbagai organisasi dan gerakan antikolonial, khususnya di Asia dan Afrika.

Namun, Laffan mengingatkan bahwa arus nasionalisme di Asia Tenggara juga dikontribusikan oleh jaringan Timur Tengah, utamanya Mesir. Majalah Al Munir yang terbit pada Maret 1912 sudah menyerukan pembentukan pelbagai perkumpulan guna menyuarakan perjuangan bangsa sebagai unsur penting peradaban dunia (Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, 2003: 165).

Sebagai fenomena gerakan sosial-keagamaan abad ke-20, kiprah Muhammadiyah dalam upaya pencerdasan bangsa mustahil untuk dibantah. Ribuan sekolah Muhammadiyah sudah lama hadir di pelosok Nusantara, termasuk di daerah-daerah yang belum dijamah pemerintah. Infrastruktur pendidikan dan sosial organisasi ini telah menjadi bagian dari modal sosial pemerintah dalam membangun negeri ini selama 67 tahun.

Dalam konteks ini, masih relevan mengingat kembali kritik Emha Ainun Nadjib satu dasawarsa lalu. Menurut dia, Muhammadiyah terlalu larut merespons ombak, tetapi justru mengabaikan gelombang. Untuk pandai menciptakan gelombang, organisasi ini harus memahami seluk-beluk peradaban dan isu-isu kemanusiaan kontemporer. Menurut Emha, kritisisme Muhammadiyah pada periode awal tidak dihayati secara simultan oleh generasi-generasi berikutnya. Akibatnya, tidak ada ijtihad kolektif dan eksperimentasi empiris dalam berkebudayaan (Inovasi, No 1 Th XII/2002).

Isu-isu Strategis

Membawa mentalitas dan budaya organisasi abad ke-20 ke abad ke-21 adalah masalah besar ketika organisasi keagamaan ini dihadapkan pada perubahan geopolitik dan kekuatan ekonomi global beserta dampak negatif yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, perbincangan dalam forum-forum strategis persyarikatan, seperti tanwir, harus mulai berani memasuki kerangka berpikir dan isu-isu strategis pasca-abad ke-20. Inilah tantangan agenda pembaruan Muhammadiyah kontemporer.

Dari perspektif perkembangan organisasi, Muhammadiyah harus sudah mengembangkan orientasi gerakan dakwahnya: dari misi keagamaan ke kemanusiaan. Menurut Peter Senge, pakar organisasi dari Massachusetts Institute of Technology, ada tiga isu besar kemanusiaan saling berhubungan yang menjadi tantangan hari ini: persoalan energi dan transportasi, makanan dan air, serta konsekuensi ketidakseimbangan yang muncul dari terkonsentrasinya penguasaan sumber daya pada segelintir orang. Aktor negara tak bisa lagi sendirian bekerja menangani persoalan besar tersebut. Komitmen dan kerja sama dari beragam aktor menjadi suatu keniscayaan.

Krisis global yang kini menghantui manusia abad ke-21 itu menuntut Muhammadiyah memahami ulang orientasi gerakan dakwahnya. Misalnya, bagaimana merekonstruksi semangat ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” yang jadi tujuan bermuhammadiyah. Entitas masyarakat yang ingin dituju tidaklah konstan, tetapi hendaknya bersifat interkoneksitas dengan jejaring entitas lain dengan tujuan bersama, yakni menyelamatkan keberlangsungan dan kesinambungan kehidupan manusia. Sudah sepantasnya Muhammadiyah dikembangkan dengan etos inovasi daripada sebatas repetisi. Jika tidak, persyarikatan akan terseok-seok di tengah serbuan ekspansi aktor-aktor masyarakat sipil global ke Indonesia.

Prakarsa PP Muhammadiyah bersama sejumlah kelompok sipil dan individu mengajukan uji materi UU No 22/2001 tentang Migas ke Mahkamah Konstitusi, April lalu, bisa jadi momentum arah baru dakwah Muhammadiyah di ranah kenegaraan. Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyebut langkah ini sebagai jihad konstitusi.

Keberanian Muhammadiyah melakukan dakwah afirmatif terhadap isu-isu publik strategis, seperti sektor energi, patut diapresiasi, bahkan harus dilembagakan dalam kerangka organisasionalnya. Contoh lain, keterlibatan Muhammadiyah sebagai anggota International Contact Group dalam proses perundingan perdamaian antara Pemerintah Filipina dan MILF. Hal ini mengisyaratkan Muhammadiyah tidak bisa menutup mata terhadap dinamika geopolitik dan tantangan konflik di tingkat regional.

Pada akhirnya, orientasi pembaruan Muhammadiyah abad ke-21 seyogianya menyentuh isu-isu strategis kebangsaan yang langsung terkait hajat rakyat. Dengan capaian usia 100 tahun, organisasi ini sudah cukup punya sumber daya dan jaringan sebagai prasyarat kapasitas melakukan transformasi gagasan dan arah gerakan pasca-abad ke-20.

Penajaman khitah sesuai persoalan sistemik kebangsaan, restrukturisasi organisasi, dan perubahan strategi dakwah menjadi tak terhindarkan. Hanya melalui proses inilah Muhammadiyah akan tetap mampu melakukan pencerahan dan memberikan solusi: tidak hanya untuk bangsa, tetapi juga kemanusiaan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar