Tesis
Asia untuk Resesi Global
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan KOMPAS
Sumber : KOMPAS,
23 Juni 2012
Hiruk pikuk krisis zona euro sedikit mereda
dengan berakhirnya pemilu Yunani pekan lalu. Terbentuk pemerintahan baru di
bawah PM Antonis Samaras dari Partai Demokrasi Baru beraliran kanan-tengah.
Sementara itu, Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Los Cabos, Meksiko, berakhir
inkonklusif karena terpecahnya konsentrasi persoalan globalisasi ekonomi yang
masih terancam situasi zona euro yang tak menentu.
Negara G-20 khawatir Uni Eropa tidak cukup
komprehensif menyelesaikan krisis zona euro yang menyeret dunia ke dalam
resesi. Kontraksi ekonomi terjadi di berbagai belahan dunia, mulai menurunnya
ekspor China dan Jepang, menurunnya proses manufaktur kebutuhan konsumen,
sampai melemahnya permintaan bahan baku secara global.
Frustrasi para pemimpin G-20 tercermin pada
pernyataan Perdana Menteri India Manmohan Singh, yang berharap ada proposal
konstruktif dari klub elite 20 negara untuk mampu mengendalikan jalannya
perekonomian dunia. Sentimen serupa juga diutarakan Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono, yang menegaskan tidak adanya persatuan di antara negara Uni Eropa
dalam krisis zona euro telah mengganggu semua pihak.
Eropa sendiri dengan kecongkakannya mengabaikan
frustrasi para pemimpin G-20. Mereka secara naif terus menyerukan komitmen
pemimpin G-20 untuk menyediakan dana talangan menyelamatkan perbankan Eropa
melalui Dana Moneter Internasional (IMF).
Presiden Komisi Eropa José Manuel Barroso
setibanya di Los Cabos dengan lantang menyatakan kehadiran Uni Eropa dalam KTT
G-20 bukan untuk menerima pelajaran tentang demokrasi dan bagaimana menangani
perekonomian Eropa. Presiden Amerika Serikat Barack Obama pun terkesan diam
ketika resesi global terjadi. Bahkan, Barosso menuding hal ini karena kesalahan
Washington mengelola ekonomi setelah ambruknya bank investasi terbesar dunia, Lehman Brothers Holding Inc, yang
dinyatakan pailit.
Perdebatan Kaya-Miskin
Kita melihat arogansi Eropa dan tidak
berdayanya adidaya AS terperangkap resesi global sejak tahun 2008. Washington
sendiri tidak menyatakan komitmen menyumbang dana talangan IMF membantu krisis
zona euro, ketika negara-negara berkembang seperti China, India, dan Rusia
memberikan dana 10 miliar-40 miliar dollar AS.
Resesi global yang terus berlangsung
memberikan makna penting perkembangan globalisasi pasca-Perang Dingin. Secara
perlahan kita diingatkan kembali pentingnya dialog Utara-Selatan yang selama
beberapa dekade lalu menjadi topik perdebatan penting antara negara kaya dan
negara miskin.
Kelas finansial masyarakat negara maju yang
membentuk kapitalisme keuangan, yang pada titik tertentu mampu membangkrutkan
negara seperti fenomena Yunani yang masih dalam proses pemulihan utang negara
(dan telah menyeret Spanyol), pasti tidak bisa ditanggung oleh Uni Eropa
sendiri. Banyaknya butir tentang zona euro dalam Pernyataan Pemimpin G-20 di
Los Cabos mencerminkan kekhawatiran ini.
Ini juga yang menjelaskan gagasan Uni Eropa
merancang Economic and Monetary Union,
mendukung Mekanisme Stabilitas Eropa (ESM) yang dianggap akan menjadi panacea
krisis zona euro, yang menyengsarakan banyak orang Eropa.
Di sisi lain, para pemimpin negara maju lupa
kompleksitas globalisasi menyebabkan keputusan unilateral akan berdampak luas
terhadap keseluruhan sistem ekonomi, perdagangan, keuangan, dan moneter seluruh
dunia. Ini pelajaran dari kasus Lehman Brothers yang menyeret Eropa dan pasti
akan menyeret negara-negara lainnya.
Solidaritas Finansial
Dalam kerumitan krisis zona euro di tengah
kebuntuan para pemimpin negara-negara maju, kita mengangkat jempol pada rencana
negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan)
membentuk kesepakatan pengumpulan cadangan dana internasional melalui
perjanjian pertukaran mata uang (currency
swap) sebagai bentuk solidaritas finansial menghadapi resesi global.
Gagasan ini sama seperti Inisiatif Chiang Mai ASEAN+3 (China, Jepang, Korea Selatan) yang
dibuat menghadapi krisis keuangan Asia tahun 1997. Tujuannya, memperkuat
struktur keuangan dan menjadi dana penting dalam membentuk kepercayaan global.
Upaya ini juga menjadi bagian dari kebijakan stimulus pemerintah, khususnya
memacu pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja.
Kita memahami rencana negara-negara BRICS ini
sebagai antisipasi jauh memburuknya krisis zona euro. Mekanisme pendanaan
seperti Inisiatif Chiang Mai memang
tidak pernah diuji sebelumnya. Namun, gagasan dan prinsip yang dikandungnya
menjadi kunci penting dalam membangun dan menjaga arsitektur keuangan dunia
ketika ekonomi regional diguncang persoalan finansial dan moneter.
Mekanisme yang disebut sebagai Chiang Mai Initiative Multilateralisation
ini mampu menghimpun dana sampai 240 miliar dollar AS. Gagasan ini, walau belum
pernah diuji coba, mampu mempertahankan stabilitas pasar keuangan regional, dan
lebih stabil ketimbang uji coba yang dilakukan melalui ESM atau Bank Sentral AS
melalui Operation Twist yang
menjalankan dua kali mekanisme quantitative
easing membeli obligasi dalam jumlah besar.
Inisiatif Chiang Mai adalah tesis Asia
menghadapi kerumitan globalisasi dalam sistem keuangan dan moneter. Sebagai
jaring pengaman keuangan, menjadi menarik bila gagasan swap agreement BRICS ini terhubung dengan ASEAN+3 dalam inisiatif
tersebut. Sehingga, dana terkumpul menjadi lebih besar dan terdiversifikasi
secara luas di antara negara berkembang dalam lingkaran bisnis bersama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar