Sabtu, 09 Juni 2012

Lagi-lagi Vonis Hakim


Lagi-lagi Vonis Hakim
Mahfudz Ali ; Dosen Magister Ilmu Hukum,
Ketua Pusat Studi Antikorupsi Untag Semarang
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 08 Juni 2012


PENGADILAN Tipikor Jakarta memvonis M Nazaruddin dengan hukuman 4 tahun 10 bulan penjara, denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan. Gratifikasi yang dia terima Rp 4,6 M, jika diproporsikan dengan vonis 4 tahun 10 bulan (total 58 bulan), pendapatan Nazar sekitar Rp 79,3 juta/ bulan.

Untuk bisa mendapat fasilitas khusus di penjara, menyewa kamar Rp 20 juta/ bulan x 58 bulan = Rp 1.160.000.000, berarti kekayaannya setelah menjalani hukuman masih sekitar Rp 3,44 M. Padahal uang sewa bisa dinegosiasikan dan hukuman bisa berkurang lewat remisi.

Jika disetarakan gaji pokok PNS golongan tertinggi, IV E, dan sesuai aturan terbaru PP Nomor 15 Tahun 2012 yaitu Rp 4.603.700 (di  luar tunjangan fungsional dan/jabatan, serta tunjangan kinerja) maka angka Rp 3,44 M itu hanya bisa dikumpulkan oleh PNS senior dan bergolongan tertinggi selama mengabdi 62 tahun lebih.

Dikaitkan dengan biaya penjemputan Nazaruddin yang fantastis, sekitar Rp 4 M, dengan jet supermewah Gulfstream G550, vonis itu mengundang pertanyaan publik. Padahal dalam putusannya, hakim menyatakan Nazaruddin secara sah dan menyakinkan menerima suap cek Rp 4,6 M. Selain itu, hakim menyatakan dia buron keluar negeri dan menimbulkan biaya besar untuk membawanya kembali ke Indonesia.

Temuan BPK belakangan makin memperkuat penilaian bahwa mental korupsi merata pada hampir semua lini penyelenggara negara dan pemerintahan. Terasa sulit mencari contoh institusi yang steril dari korupsi. Dalam monitoring KP2KKN, tidak ada kabupaten/kota di Jateng yang terbebas dari korupsi. Bahkan dalam persidangan beberapa waktu lalu, ada kepala daerah bersaksi sudah menyetor dana ke provinsi untuk proyek yang digelontorkan.
Berikutnya, Mendagri Gamawan Fauzi menjelaskan 1.737 anggota DPRD provinsi dan kabupaten/ kota diperiksa penyidik selama 2004-2012. Sebanyak 1.066 anggota DPRD berstatus hukum sebagai saksi, tersangka, terdakwa, hingga terpidana, lainnya tidak dijelaskan Penyelewengan yang dilakukan wakil rakyat didominasi kasus korupsi (83,76%), sisanya kasus penggelapan barang, pemalsuan dokumen dan lain-lain.

Berbudi Mulia

Kucuran keringat penyelidik, penyidik, dan penuntut umum dalam memberkas kasus, semua berakhir ketika palu hakim dijatuhkan. Putusan pengadilan adalah penentu nasib seseorang, apakah dihukum, dilepas, ataukah dibebaskan. Hakim adalah wakil Tuhan dalam persidangan pengadilan. Menimbang tanggung jawab dan mulianya profesi hakim maka persyaratan menjadi hakim menjadi hal yang sangat mendasar dalam perekrutannya.
Hakim menyatakan Nazaruddin secara sah dan menyakinkan menerima suap cek Rp 4,6 M, dan buron keluar negeri yang menimbulkan biaya besar untuk membawanya pulang. Mengapa ketentuan dalam Pasal 12 B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tidak diterapkan secara maksimal? 
Padahal pasal itu mengandung ancaman pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun paling lama 20 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 M.
Kita tidak usah latah mewacanakan pemiskinan koruptor, cukup dengarkan teriakan soal bangunan sekolah ambruk, jembatan ambrol, terkelupasnya aspal jalan makin sering mencelakakan pengguna jalan, rakyat kecil makin sulit hidupnya, sementara utang negara yang melebihi besaran APBN dikorupsi.
Lalu, serap rohnya dan buat putusan maksimal secara adil dan bertanggung jawab maka hal itu akan membawa efek jera pada koruptor.

Vonis untuk Nazaruddin jauh panggang dari api semangat pemberantasan korupsi. Dia adalah satu dari belantara kasus korupsi yang tidak dihukum maksimal. Deretan kasus korupsi antre di pengadilan tipikor, karenanya bangsa ini butuh hakim progresif, yang mendengarkan nuraninya, yang cinta negerinya agar tidak dijuluki negeri koruptor yang berpancasila. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar