Senin, 04 Juni 2012

Konsumsi Energi dan APBN Kita


Konsumsi Energi dan APBN Kita
Padang Wicaksono ; Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 4 Juni 2012


DALAM 12 tahun terakhir, terlepas dari pro-kontra, Indonesia telah tumbuh menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke-6 di antara negara berkembang, dan negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi ke-5 di antara kelompok G-20. Beberapa lembaga riset internasional bahkan menyebutkan Indonesia sebagai negara berpertumbuhan ekonomi tertinggi ke-3 di dunia. Tak dapat dimungkiri bahwa Indonesia telah menjadi salah satu perekonomian yang paling menarik dan dinamis di dunia.

Dari aspek demografi, Indonesia merupakan negara berpenduduk terbesar ke-4 di dunia (setelah China, India, dan Amerika Serikat) dan terbesar di Asia Tenggara. Beberapa tahun terakhir jumlah kelas menengah telah tumbuh pesat sementara pendapatan per kapita Indonesia per tahun telah mencapai kisaran US$3.508 (estimasi 2011, menurut harga nominal) hingga US$4.666 (estimasi 2011, menurut kesetaraan daya beli).

Apa konsekuensi pesatnya kemajuan ekonomi dan meningkatnya jumlah kelas menengah Indonesia? Tak pelak lagi, seiring dengan pembangunan yang pesat dan meningkatnya daya beli kelas menengah Indonesia, konsumsi energi dalam negeri terus meningkat. Setidaknya dari kurun waktu 1999 hingga 2009, konsumsi energi utama dalam negeri telah tumbuh mendekati 50% (http://www.eia.doe.gov).

Di antara empat energi utama yang dikonsumsi di Indonesia (minyak bumi, gas alam, batu bara, dan energi terbarukan), minyak bumi masih yang dominan (sekitar 44% dari total konsumsi energi utama, estimasi 2009) disusul batu bara (sekitar 29%, estimasi 2009), lalu gas alam, serta energi terbarukan. Konsumsi batu bara di dalam negeri telah tumbuh tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir sehingga menjadi energi utama terbesar ke-2 yang dikonsumsi, menggeser posisi gas alam ke peringkat ke-3.

Sejak 1998, produksi minyak Indonesia terus menurun sebagai akibat jatuh temponya sumur-sumur tua dan kegagalan mengeksplorasi sumur-sumur baru sehingga pada 2004 Indonesia praktis beralih menjadi importir bersih minyak, baik minyak mentah maupun olahan. Kemudian, pada 2009, Indonesia telah keluar dari keanggotaan OPEC (kita telah menjadi anggota sejak 1962).

Sekalipun Indonesia merupakan eksportir batu bara terbesar ke-2 dan gas alam terbesar ke-6 di dunia, kedua energi utama tersebut belum dapat menggantikan posisi minyak bumi dalam memenuhi konsumsi energi dalam negeri. Ironisnya, harga minyak dunia dan konsumsi dalam negeri yang terus meningkat beberapa tahun terakhir menyebabkan subsidi BBM menjadi semakin besar.

Indonesia telah terjebak dalam kebijakan subsidi BBM sebagai warisan dari kebijakan masa lalu sehingga sangat sulit bagi pemerintah (siapa pun yang berkuasa) untuk mengurangi atau mencabut subsidinya karena langkah itu merupakan kebijakan tidak populer atau dianggap tidak berpihak pada rakyat.

Harga jual BBM bersubsidi (premium dan solar) saat ini, yakni Rp4.500, ternyata jauh lebih rendah daripada harga pokoknya sehingga pemerintah harus menutupi selisih tersebut dari pos subsidi di APBN. Sepanjang 2011, konsumsi BBM sebesar 38,5 juta kiloliter telah meningkat sebanyak hampir 3 juta kiloliter bila dibandingkan dengan konsumsi pada 2010.

Oleh karena itu, beban subsidi BBM sepanjang 2012 yang ditanggung APBN akan meningkat dari Rp123,6 triliun menjadi Rp191,1 triliun. Tentu saja besar kemungkinan beban subsidi BBM akan terus meningkat seiring dengan peningkatan konsumsi dalam negeri dan kenaikan harga minyak dunia.

Mengapa subsidi terhadap BBM berangsur-angsur harus dikurangi hingga dicabut?  Pertama, aspek keadilan. Data Susenas 2010 (Survei Sosial Ekonomi Nasional, BPS) memperlihatkan rata-rata kelompok rumah tangga kaya ternyata menikmati subsidi BBM 10 kali lipat lebih besar daripada kelompok rumah tangga miskin. Itu menunjukkan kebijakan subsidi BBM selama ini tidak adil dan salah sasaran. Kelompok rumah tangga kaya tidak berhak atas subsidi itu. Jika dikurangi atau bahkan dicabut, subsidi atas BBM dapat dialihkan untuk membiayai berbagai program pengentasan rakyat dari kemiskinan.

Kedua, aspek aji mumpung (moral hazard). Adanya selisih yang besar antara harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi (dua kali lipat) menyebabkan penyelundupan ke luar negeri karena akan memberikan keuntungan yang besar. Sungguh ironis, kebijakan subsidi seharusnya dinikmati rakyat banyak, tetapi dalam kenyataannya justru dinikmati para penyelundup.

Ketiga, asas manfaat. Subsidi BBM yang salah sasaran lebih baik digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur (jalan raya, jembatan, pelabuhan, bandara, dan sarana komunikasi) dan layanan pendidikan. Pembangunan infrastruktur mutlak diperlukan untuk menambah akselerasi pertumbuhan ekonomi, sementara peningkatan layanan pendidik an diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya dan tenaga kerja Indonesia.

Keempat, asas ketahanan energi. Pengurangan atau pencabutan subsidi BBM secara bertahap akan mendorong pemakaian energi secara bijaksana dan peralihan ke pemakaian energi yang lebih murah dan ramah lingkungan seperti gas alam sehingga cadangan energi yang tersedia dapat dikelola dengan baik sesuai dengan kebutuhan.

Kelima, aspek kesehatan anggaran. Jika pengurangan subsidi BBM dilakukan, setidaknya defisit anggaran dapat ditekan menjadi Rp109,8 triliun (2,23% PDB Indonesia) sementara jika subsidi terus membubung tinggi, defisit akan melambung hingga Rp299 triliun (3,59% PDB). Harap diingat bahwa defisit APBN yang terus membesar merupakan sumber krisis ekonomi yang saat ini sedang dihadapi Amerika Serikat dan Eropa, dengan sebagian negara Eropa bahkan terancam gagal bayar dan bangkrut.

Adakah alternatif selain mengurangi subsidi BBM? Ada, misalnya seperti kebijakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi, kebijakan penghematan pengeluaran, optimalisasi penerimaan negara dari pajak dan nonpajak, serta pemanfaatan sisa anggaran lebih (SAL) tahun sebelumnya. Apakah itu cukup efektif? Secara total, optimalisasi anggaran itu dapat menghemat Rp183,6 triliun, tetapi ternyata masih belum cukup untuk menutupi besarnya subsidi BBM yang diperkirakan melonjak hingga Rp191,1 triliun sepanjang 2012.

Kekhawatiran utama terhadap penaikan harga BBM ialah meningkatnya inflasi dan menurunnya daya beli masyarakat. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, kenaikan inflasi dan menurunnya daya beli masyarakat terjadi sementara dalam waktu beberapa bulan karena diikuti berbagai paket kompensasi terhadap masyarakat.

Terlepas dari perdebatan paket kompensasi tersebut, hasil studi lembaga nasional dan internasional membuktikan paket kompensasi seperti bantuan langsung tunai ternyata lebih tepat sasaran daripada program-program penanggulangan kemiskinan lainnya.

Ketahanan Energi

Ke depan, apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia dalam memperkuat ketahanan energi?  Pertama, mengurangi atau mencabut subsidi BBM secara bertahap serta mempersempit kesenjangan antara harga domestik dan harga dunia. Itu bertujuan mendorong harga BBM yang mencerminkan biaya produksi dan untuk menghindari subsidi yang salah sasaran.

Kedua, mendorong investasi di sektor energi secara besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan perekonomian domestik terhadap energi murah, ramah lingkungan, dan terbarukan yang terus meningkat dari waktu ke waktu.

Ketiga, membangun moda transportasi massal umum yang menggunakan bahan bakar murah dan ramah lingkungan seperti gas alam untuk mendorong masyarakat untuk mengalihkan penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi umum sehingga energi dapat dimanfaatkan secara bijaksana.

Kebijakan populis tidak selalu buruk, tetapi bila tidak berpijak pada realitas yang ada, akan menyebabkan bencana di kemudian hari. Keputusan DPR untuk tidak menaikkan harga BBM bersubsidi per 1 April dengan menambah Pasal ayat 6a dalam Pasal Pasal ayat 6a dalam Pasal 7 ayat 6 Undang-Undang APBN 2012 merupakan salah satu contoh kebijakan yang populis. Alih-alih prorakyat, tindakan DPR itu merupakan bom waktu yang akan meledak meledak cepat atau lambat yang tentunya akan menyengsarakan rakyat di kemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar