Kekerasan
terhadap Jurnalis
Pulo Lasman Simanjuntak ; Praktisi Pers,
Alumnus Sekolah Tinggi Publisistik/STP-IISIP, Jakarta
Sumber : SUARA
KARYA, 20 Juni 2012
Kekerasan terhadap jurnalis seusai masyarakat pers di Indonesia
memperingati Hari Kebebasan Pers se-Dunia, 3 Mei 2012, dan diikuti dengan
peringatan 14 tahun kemerdekaan pers Orde Reformasi, 21 Mei 2012, masih terus
berlangsung sampai sekarang. Kekerasan demi kekerasan terhadap jurnalis terus
mengalir, tak bisa dibendung lagi!
Sepanjang bulan Mei 2012 saja telah terjadi kekerasan fisik dan
ancaman kepada profesi wartawan. Kasus kekerasan wartawan dialami oleh Darwis
Yusuf (50 tahun), wartawan Harian Bongkar yang diduga dibacok oleh Kepala Dinas
Perikanan Lampung Utara (Lampura), Kadarsyah. Akibat pembacokan tersebut,
Darwis mengalami luka di lengan kiri dan dilarikan ke RSUD Rycuan Kotabumi.
Sebelumnya, kekerasan menimpa Erda Nizar, wartawan media online bandarlampungnews.com,
saat melakukan liputan investigasi penimbunan bahan bakar minyak (BBM). Ia
dipukul menggunakan pangkal pedang oleh seorang yang diduga penimbun BBM di
SPBU Kirungnyawa, Pesawaran, Lampung.
Pada era reformasi saat ini, skala kekerasan terhadap wartawan
dinilai makin meluas dibanding pada masa Orde Baru. Sekarang setiap orang bisa
menyerang wartawan atau mendemo perusahaan pers. Sebelumnya, hal itu jarang
terjadi. Motif kekerasan terhadap jurnalis, terkait dengan peliputan berita dan
pemberitaan. Imparsial mencatat,
penyebab terjadinya kekerasan terhadap wartawan karena tulisan wartawan
menyentuh beberapa isu, yakni korupsi, illegal
logging (pembalakan liar), dan pemilihan umum kepala daerah (pilkada).
Ketiga isu inilah yang saat ini menjadi faktor dominan pemicu kekerasan
terhadap wartawan.
Tindakan kekerasan terhadap wartawan terutama dalam melaksanakan
tugas-tugas jurnalistik untuk kepentingan umum terus berlanjut, tak bisa
dibendung. Padahal, dalam melaksanakan tugas kewartawanan 6 M (mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi)
Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers, Pasal 8 menyebutkan bahwa dalam
melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.
Dimaksud dengan 'perlindungan hukum' adalah jaminan perlindungan
pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak,
kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Selanjutnya, Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang pers, Pasal 18
ayat (1) menyatakan, "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan
sengaja dan melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi
pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta."
Sekali lagi, kita patut menyayangkan berbagai tindakan kekerasan terhadap
jurnalis. Kekerasan terhadap jurnalis harus segera dihentikan. Karena, kasus
kekerasan ini jelas-jelas telah 'menodai' kemerdekaan pers yang sedang kita
bangun. Selain berbuat tindak kriminal, kekerasan fisik itu juga telah menghalang-halangi
kerja jurnalis.
Meskipun saat ini pemerintah menjamin kemerdekaan pers, tetapi
kemerdekaan pers ternyata belum 'aman'. Masih ada hambatan dan ancaman terhadap
kemerdekaan pers, termasuk tindak kekerasan terhadap jurnalis dalam
melaksanakan tugas-tugas peliputan dan pemberitaan.
Harus diakui, kadang sebagian masyarakat belum puas terhadap
kualitas pers kita. Kadang pula sebagian masyarakat, atau sebut saja segelintir
oknum merasa 'terganggu' privacy dan
kehidupannya. Namun, dalam kehidupan pers yang sehat dan profesional, telah
disediakan mekanisme sendiri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.40 Tahun
1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Pers Indonesia haruslah tetap diawasi. Publik harus melakukan
pengawasan terhadap pers agar pers terus menjalankan tugas sebagai pemberi
informasi (to inform), edukasi (to educate), koreksi/sosial kontrol (to
influence), rekreasi (to entertain),
dan mediasi (to mediate). Tentu saja
dalam pengawasan terhadap pers itu tidak pada tempatnya terjadi pemukulan atau
kekerasan fisik, sampai pembunuhan terhadap wartawan.
Apabila masyarakat atau publik tak puas terhadap sebuah
pemberitaan, tak langsung melakukan tindakan kekerasan fisik, melainkan dapat
menggunakan hak jawab dan hak koreksi.
Pada Undang-Undang No.40/1999 Tentang Pers, Pasal 1 butir 11
berbunyi, "Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk
memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang
merugikan nama baiknya." Pasal 1 butir 12, "Hak Koreksi adalah hak
setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang
diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya, maupun tentang orang lain."
Sementara dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pada pasal 11
disebutkan bahwa "Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi
secara proporsional."
Penanfsiran Pasal 11 KEJ sama dengan UU No.40 Tahun 1999 Tentang
Pers, Pasal 1 butir 11 dan 12. Selain itu, apabila publik belum puas juga
terhadap kerja jurnalis dapat mengadukan media kepada Dewan Pers yang antara
lain melaksanakan fungsi menetapkan dan mengawasi pelaksanaan KEJ, memberikan
pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas
kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, dan mengembangkan
komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.
Dengan demikian, sudah saatnya memang, kekerasan terhadap jurnalis
segera dihentikan. Tak perlu lagi terjadi kekerasan fisik kepada wartawan,
terutama apabila masyarakat mau menggunakan UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers
dan Kode Etik Jurnalistik, seperti yang sudah dijelaskan di atas tadi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar