Kamis, 21 Juni 2012

Kekerasan terhadap Jurnalis


Kekerasan terhadap Jurnalis
Pulo Lasman Simanjuntak ; Praktisi Pers,
Alumnus Sekolah Tinggi Publisistik/STP-IISIP, Jakarta
Sumber :  SUARA KARYA, 20 Juni 2012


Kekerasan terhadap jurnalis seusai masyarakat pers di Indonesia memperingati Hari Kebebasan Pers se-Dunia, 3 Mei 2012, dan diikuti dengan peringatan 14 tahun kemerdekaan pers Orde Reformasi, 21 Mei 2012, masih terus berlangsung sampai sekarang. Kekerasan demi kekerasan terhadap jurnalis terus mengalir, tak bisa dibendung lagi!

Sepanjang bulan Mei 2012 saja telah terjadi kekerasan fisik dan ancaman kepada profesi wartawan. Kasus kekerasan wartawan dialami oleh Darwis Yusuf (50 tahun), wartawan Harian Bongkar yang diduga dibacok oleh Kepala Dinas Perikanan Lampung Utara (Lampura), Kadarsyah. Akibat pembacokan tersebut, Darwis mengalami luka di lengan kiri dan dilarikan ke RSUD Rycuan Kotabumi. Sebelumnya, kekerasan menimpa Erda Nizar, wartawan media online bandarlampungnews.com, saat melakukan liputan investigasi penimbunan bahan bakar minyak (BBM). Ia dipukul menggunakan pangkal pedang oleh seorang yang diduga penimbun BBM di SPBU Kirungnyawa, Pesawaran, Lampung.

Pada era reformasi saat ini, skala kekerasan terhadap wartawan dinilai makin meluas dibanding pada masa Orde Baru. Sekarang setiap orang bisa menyerang wartawan atau mendemo perusahaan pers. Sebelumnya, hal itu jarang terjadi. Motif kekerasan terhadap jurnalis, terkait dengan peliputan berita dan pemberitaan. Imparsial mencatat, penyebab terjadinya kekerasan terhadap wartawan karena tulisan wartawan menyentuh beberapa isu, yakni korupsi, illegal logging (pembalakan liar), dan pemilihan umum kepala daerah (pilkada). Ketiga isu inilah yang saat ini menjadi faktor dominan pemicu kekerasan terhadap wartawan.

Tindakan kekerasan terhadap wartawan terutama dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistik untuk kepentingan umum terus berlanjut, tak bisa dibendung. Padahal, dalam melaksanakan tugas kewartawanan 6 M (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi) Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers, Pasal 8 menyebutkan bahwa dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.

Dimaksud dengan 'perlindungan hukum' adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya, Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang pers, Pasal 18 ayat (1) menyatakan, "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja dan melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta." Sekali lagi, kita patut menyayangkan berbagai tindakan kekerasan terhadap jurnalis. Kekerasan terhadap jurnalis harus segera dihentikan. Karena, kasus kekerasan ini jelas-jelas telah 'menodai' kemerdekaan pers yang sedang kita bangun. Selain berbuat tindak kriminal, kekerasan fisik itu juga telah menghalang-halangi kerja jurnalis.

Meskipun saat ini pemerintah menjamin kemerdekaan pers, tetapi kemerdekaan pers ternyata belum 'aman'. Masih ada hambatan dan ancaman terhadap kemerdekaan pers, termasuk tindak kekerasan terhadap jurnalis dalam melaksanakan tugas-tugas peliputan dan pemberitaan.

Harus diakui, kadang sebagian masyarakat belum puas terhadap kualitas pers kita. Kadang pula sebagian masyarakat, atau sebut saja segelintir oknum merasa 'terganggu' privacy dan kehidupannya. Namun, dalam kehidupan pers yang sehat dan profesional, telah disediakan mekanisme sendiri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Pers Indonesia haruslah tetap diawasi. Publik harus melakukan pengawasan terhadap pers agar pers terus menjalankan tugas sebagai pemberi informasi (to inform), edukasi (to educate), koreksi/sosial kontrol (to influence), rekreasi (to entertain), dan mediasi (to mediate). Tentu saja dalam pengawasan terhadap pers itu tidak pada tempatnya terjadi pemukulan atau kekerasan fisik, sampai pembunuhan terhadap wartawan.

Apabila masyarakat atau publik tak puas terhadap sebuah pemberitaan, tak langsung melakukan tindakan kekerasan fisik, melainkan dapat menggunakan hak jawab dan hak koreksi.

Pada Undang-Undang No.40/1999 Tentang Pers, Pasal 1 butir 11 berbunyi, "Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya." Pasal 1 butir 12, "Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya, maupun tentang orang lain."

Sementara dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pada pasal 11 disebutkan bahwa "Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional."

Penanfsiran Pasal 11 KEJ sama dengan UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers, Pasal 1 butir 11 dan 12. Selain itu, apabila publik belum puas juga terhadap kerja jurnalis dapat mengadukan media kepada Dewan Pers yang antara lain melaksanakan fungsi menetapkan dan mengawasi pelaksanaan KEJ, memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, dan mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah.

Dengan demikian, sudah saatnya memang, kekerasan terhadap jurnalis segera dihentikan. Tak perlu lagi terjadi kekerasan fisik kepada wartawan, terutama apabila masyarakat mau menggunakan UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, seperti yang sudah dijelaskan di atas tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar