Hilangnya
Jati Diri Bangsa
Nur Rokhim ; Peneliti
di Garawiksa Institut
Sumber : SUARA
KARYA, 20 Juni 2012
Maraknya kasus kekerasan atas nama agama yang terjadi di
Indonesia, akhir-akhir ini cukup meresahkan dan mengkhawatirkan banyak
kalangan. Aksi-aksi kekerasan atas nama agama di sejumlah daerah tersebut, tak
pelak, cukup mendapat perhatian dari dunia Internasional.
Baru-baru ini, dalam sidang Universal
Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, yang diikuti oleh 74
negara termasuk Indonesia, sebanyak 25 negara mencecar Indonesia dengan
berbagai pertanyaan seputar permasalahan kebebasan beragama yang ada di
Indonesia. Hal tersebut tentu merupakan tamparan keras bagi Pemerintah
Indonesia. Esensi dasar negara Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang
diusung bangsa ini pun dipertanyakan. Sudah lunturkan kesaktian Pancasila
menghadapi keanekaragaman di negeri ini?
Kekerasan yang kerap terjadi di Indonesia akhir-akhir ini jelas
bertentangan dengan Pancasila. Pancasila merupakan dasar negara yang dicetuskan
oleh Ir Soekarno, 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Pancasila terdiri dua kata yang berasal dari bahasa Sanskerta,
Panca dan Sila. 'Panca' berarti lima dan 'Sila' memiliki makna prinsip atau
asas. Jadi, Pancasila secara keseluruhan dapat diartikan sebagai lima prinsip
dasar hidup berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia.
Kelima prinsip tersebut ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Kelima sila tersebut masing-masing mengajarkan tentang pentingnya
menghormati sebuah perbedaan dan keanekaragaman, demi persatuan dan bangsa
Indonesia.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengajarkan untuk saling
menghormati antar pemeluk agama dan memberikan kebebasan menjalankan ibadah
sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, mengajarkan untuk
menumbuhkan sikap saling tenggang rasa dan mengakui persamaan derajat,
persamaan hak dan persamaan kewajiban antar sesama manusia.
Sila ketiga, persatuan Indonesia, mengajarkan untuk
mengesampingkan kepentingan kelompok, golongan, ras, suku, agama demi menjaga
kesatuan dan persatuan Indonesia. Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, mengajarkan untuk tidak
memaksakan kehendak orang lain dan mengutamakan musyawarah demi kepentingan
bersama.
Terakhir, sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, mengajarkan untuk menghormati hak-hak orang lain dan mengembangkan
perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan
bergotong-royong.
Seringnya terjadi kekerasan atas nama agama merupakan suatu
pertanda bahwa jati diri bangsa yang termaktub dalam Pancasila kian terkikis.
Pancasila yang dulu dicetuskan oleh Bung Karno demi menyatukan bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang bersatu kian diabaikan. Nilai-nilai luhur Pancasila sudah
mulai ditinggalkan oleh bangsa Indonesia. Padahal, jelas bahwa Pancasila-lah
yang dulu berhasil menyatukan seluruh komponen bangsa, baik suku, golongan,
ras, dan agama menjadi sebuah bangsa yang bersatu dalam naungan NKRI.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna berbeda-beda tetapi
tetap satu jua, kini hanya menjadi sebuah jargon yang terpampang manis di kaki
Burung Garuda Pancasila. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa semboyan tersebut
seolah tak berpengaruh apa-apa. Banyaknya golongan yang memaksakan kehendak
ataupun pendapatnya terhadap golongan lain menjadi bukti konkret yang tak
terbantahkan. Dan, patut digarisbawahi, pemaksaan tersebut ujung-ujungnya akan
berakhir pada kekerasan yang merugikan semua pihak.
Banyak faktor yang menyebabkan nilai-nilai adiluhung Pancasila
sebagai jati diri bangsa mulai ditinggalkan.
Pertama, masih kurangnya pengajaran-pengajaran tentang nilai-nilai
Pancasila di sekolah-sekolah. Apalagi, sejak dihapusnya mata pelajaran PPKN
(Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) dan diubah menjadi PKN (Pendidikan
Kewarganegaraan) saja.
Kedua, semakin agresifnya kelompok-kelompok ideologi garis keras
mempengaruhi pikiran-pikiran bangsa Indonesia, terutama para pemudanya. Masih
segar dalam ingatan, tentang pemberitaan di media massa terkait maraknya
pencucian otak yang dilakukan oleh kelompok NII yang menginginkan NKRI menjadi
Negara Islam. Ketiga, masuknya kebudayaan asing yang jauh dari nilai-nilai
Pancasila dengan cepat, akibat globalisasi. Anehnya, para pemuda sebagai
generasi bangsa ini lebih tertarik kepada kebudayaan asing dari pada
kebudayaannya sendiri.
Untuk mencegah terjadinya kembali kekerasan di Indonesia - apalagi
yang berkedok atas nama agama - perlu adanya pengajaran kembali nilai-nilai
luhur Pancasila kepada para pemuda, sebagai penerus bangsa. Ini penting agar
nantinya para pemuda paham dan mengerti bahwa NKRI bukan hanya milik
perorangan, atau satu golongan saja. NKRI terdiri dari berbagai macam suku
bangsa, ras, budaya, golongan dan agama.
Seperti apa yang dikatakan Gus Dur, tanpa keanekaragaman, NKRI
tidak mungkin ada. NKRI adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi.
Pengajaran tentang nilai-nilai Pancasila harus dilaksanakan dengan segera. Jika
tidak ingin negeri ini dicap sebagai negara yang tidak mempunyai rasa toleran
yang tinggi. Terutama toleransi dalam hal agama. Padahal, negara ini mempunyai dasar
negara Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang sangat menghargai adanya
keanekaragaman dan perbedaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar