Janji
Pelaksanaan Pembaruan Agraria Presiden
Sidik Suhada ; Ketua
DPN Repdem Bidang Penggalangan Tani,
Staf Deputi Sekjen KPA
Bidang Kajian dan Kampanye
Sumber : SINAR
HARAPAN, 19 Juni 2012
Ada dua amanat Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) untuk Kepala BPN Hendarman Supandji yang baru dilantik, Kamis
(14/6).
Pertama, menjalankan reforma agraria. Kedua,
menyelesaikan sengketa pertanahan dan konflik agraria. Namun, dapat dipastikan
kedua amanat tersebut tidak akan pernah dapat tercapai.
Pasalnya, pembaruan agraria yang selalu
digembar-gemborkan oleh Presiden SBY selama ini sebenarnya tidak pernah ada.
Kecuali sekadar wacana untuk pencitraan politik. Buktinya, Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP) tentang Reforma Agraria atau Pembaruan Agraria yang selama ini
dijanjikan presiden pun tidak pernah ada dan ditandatangani.
Hal ini menunjukkan bahwa Presiden SBY
sesungguhnya tidak memiliki komitmen politik yang kuat dan sungguh-sungguh
untuk menjalankan pembaruan agraria sebagaimana amanat TAP MPR No IX Tahun 2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Selain amanat TAP MPR tersebut, pembaruan
agraria sebenarnya juga sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Pokok-pokok Agraria atau yang dikenal dengan UUPA. Namun, amanat
dan semangat UUPA yang merupakan implementasi dari sila kelima Pancasila dan
Pasal 33 UUD 1945 juga tidak pernah dijalankan oleh presiden.
Selain itu, beberapa kebijakan politik yang
dijalankan presiden kerap kali justru bertentangan dengan semangat pelaksanaan
pembaruan agraria.
Bahkan, belum lama ini, pemerintah juga
menerbitkan Undang-Undang (UU) No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang secara substansi justru
kontraproduktif dengan semangat pelaksanaan pembaruan agraria. Bahkan regulasi
ini akan semakin meminggirkan status kepemilikan tanah rakyat; sehingga semakin
membuka peluang lahirnya konflik agraria yang lebih besar dan bersifat masif.
Sekadar mengingatkan, fakta empiris di
lapangan menunjukkan bahwa jumlah konflik agraria setiap tahun bukannya semakin
mengecil, melainkan terus meningkat. Berdasarkan data dan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA),
Januari-Juni 2012 ini saja tercatat sedikitnya sudah ada 101 konflik agraria
yang masuk KPA; dengan total luas tanah mencapai 377.159 hektare dan melibatkan
25.000 kepala keluarga petani penggarap.
Padahal, sepanjang 2011, data konflik agraria
yang masuk ke KPA hanya 163 kasus dengan rincian, 97 kasus di sektor
perkebunan, 36 kasus di sektor kehutanan, 21 kasus pembangunan infrastruktur,
delapan kasus pertambangan, dan satu kasus pertambakan.
Luas tanah yang disengketakan 472.084,44
hektare dengan melibatkan 69.975 kepala keluarga petani. Sementara itu, pada
2010 konflik agraria yang masuk ke KPA hanya ada 106 kasus.
Dari fakta dan data tersebut, tentu komitmen
politik pemerintah yang ada saat ini di dalam menyelesaikan konflik agraria
layak dipertanyakan ulang. Bukan sekadar karena jumlah konflik agraria yang
setiap tahun terus bertambah dan tidak ada yang dapat diselesaikan.
Namun, kemauan politik pemerintah untuk
segera membentuk lembaga atau komite
penyelesaikan konflik agraria yang selama
ini disuarakan oleh kalangan aktivis pembaruan agraria melalui aksi besar pada
12 Januari 2012 yang lalu, juga tidak pernah ditanggapi Presiden SBY.
Pembentukan lembaga yang bersifat khusus ini
tentu sangat penting. Ini karena konflik agraria memiliki karakteristik
tersendiri yang penyelesaiannya tidak bisa sekadar dinilai secara hukum
positif.
Konflik agraria yang selama ini diselesaikan
melalui jalur hukum di pengadilan negeri, hampir tidak pernah ada yang dapat
diselesaikan. Ini karena sering kali keputusan hukum di pengadilan justru
mengoyak-ngoyak rasa keadilan masyarakat kecil yang lemah seperti para petani
penggarap dan petani berlahan sempit.
Presiden Harus Pimpin Langsung
Persoalan agraria dan konflik agraria adalah
persoalan yang sangat kompleks. Karena itu, apabila presiden benar-benar
berkomitmen untuk melaksanakan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik
agraria, bukan menyerahkan dua persoalan besar tersebut pada seorang Kepala BPN
atau lembaga BPN semata.
Ini karena persoalan agraria dan konflik
agraria sejatinya melibatkan semua sektor lembaga negara yang selama ini
menguasai sumber-sumber agraria seperti Kehutanan, ESDM, Pertanian, dan BUMN.
Oleh karena itu, harus dipimpin langsung presiden.
Dengan demikian, wajar jika sebagian kalangan
memandang dua amanat presiden kepada Kepala BPN Hendarman Supandji pada saat
dilantik itu sejatinya bukan untuk menyelesaikan konflik agraria dan
menjalankan agenda pembaruan agraria; melainkan sekadar mengalihkan isu atau
pencitraan politik semata. Jika tidak boleh dikatakan bahwa presiden sebenarnya
hanya ingin lempar tanggung jawab.
Lahirnya pandangan itu tentu logis sebab
selama ini presiden memang hanya menebar wacana dan janji semata untuk
melaksanakan pembaruan agraria. Namun, tidak bermakna dan tidak ada realitas
nyata.
Sekadar mengingatkan, pertama, di pelataran
Candi Prambanan Yogyakarta pada akhir 2008. Melalui program Larasita (Layanan
Rakyat untuk Sertifikasi Pertanahan), presiden pernah berjanji akan
melaksanakan pembaruan agraria. Kedua, di Marunda, Jakarta Utara pada Januari
2010. Dalam pidato peresmian peluncuran kendaraan Larasita, SBY juga berjanji
akan melaksanakan pembaruan agraria. Ketiga, 22 Oktober 2010, di Istana Bogor.
Di depan para petani, sambil mengisakkan air mata “buaya” presiden mengaku
terharu karena melihat banyaknya petani yang tidak punya tanah, sehingga perlu
melaksanakan pembaruan agraria.
Namun, semua itu hanya janji politik tanpa
makna. Ini karena sejatinya redistribusi tanah yang dilakukan Presiden SBY
melalui BPN itu bukan bentuk pelaksanan pembaruan agraria sebagaimana semangat
UUPA.
Pembaruan agraria adalah merombak total
struktur kepemilikan tanah yang melahirkan ketimpangan, dan menggantinya dengan
struktur kepemilikan tanah yang berlandaskan sila kelima Pancasila yakni
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Khususnya, kaum tani miskin dan kaum
tani penggarap yang tidak punya tanah.
“Tanah
tidak boleh menjadi alat penghisapan, Tanah untuk Tani! Tanah untuk mereka yang
betul-betul menggarap tanah!” demikian pesan Bung Karno dalam pidato
perayaan HUT RI tahun 1963 yang berjudul “Jalannya Revolusi Kita” mengenai
pentingnya pelaksanaan pembaruan agraria atau land reform sebagai salah satu cita-cita perjuangan nasional bangsa
Indonesia.
Karena itu adalah bagian dari cita-cita
perjuangan nasional untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh
rakyat Indonesia, presiden tidak seharusnya cuci tangan atau melepas tanggung
jawab untuk melaksanakan pembaruan agraria hanya kepada seorang Kepala BPN
untuk melaksanakannya.
Jika tanggung jawab tersebut diserahkan pada
lembaga administrasi semacam BPN yang ada saat ini, siapa pun Kepala BPN-nya,
sudah dapat dipastikan tidak akan bisa berbuat apa-apa. Selain sekadar
komoditas janji politik presiden yang sudah tidak bermakna apa-apa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar