Interes
Ekonomi Rio+20
Effnu Subiyanto ; Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
Sumber : REPUBLIKA,
18 Juni 2012
Setelah
menunggu dua dekade sejak 1992, mulai Selasa (13/6/12) ribuan perwakilan dari 190
negara termasuk 130 lebih pemimin negara akan berkumpul kembali di Riocentro Convention Centre di Rio de
Janeiro, Brasil. KTT yang digelar oleh United
Nations Conference on Sustainable Development (UNCSD) ini diadakan sampai
22 Juni 2012 persis bertepatan 20 tahun United
Nations Conference on Environment and Development (UNCED) karena itu
disebut dengan Rio+20. Momentum itu
sekaligus memperingati satu dekade World
Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg 2002.
Spirit
dua KTT itu pada prinsipnya tidak berbeda, yakni berjuang untuk keberlangsungan
alam dan ekologi agar tidak semakin rusak karena ulah rakus manusia. Cadangan
SDA akhir-akhir ini sudah mulai dirasakan menipis dan mengkhawatirkan, jika
tidak ada lembaga yang konsen dan peduli maka daya dukung alam kepada manusia akan
jauh lebih cepat dan pendek. Untuk inilah UNCSD berupaya mengingatkan kembali
bahwa ekologi tak boleh diabaikan.
Namun,
betulkah masyarakat dunia berkomitmen dengan apa yang diucapkan? Fakta dan data
menunjukkan ber beda seperti misalnya konsumsi minyak dunia malah melonjak
berlipat dua dua dekade ini. Jika pada 1990 produksi minyak OPEC per hari pada
kisaran 14 juta barel per hari maka kini sudah mencapai 31,6 juta barel per
hari atau naik 125,71 persen.
Semangat
KTT Rio 1992 dua dekade ini masih dalam tahap retorika, sangat sulit mengerem
laju produksi kerusakan alam untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ada yang harus
disangsikan ke efektifannya jika melihat begitu dilematisnya posisi KTT Rio+20
juga KTT-KTT lainnya. Sponsor utama penyelenggaraan semacam ini adalah negara-negara
yang notabene maju dan kaya padahal mereka mengandalkan mesin-mesin industri
dari hasil SDA dan bahan energi negara-negara sedang berkembang. Jika diseriusi
dengan sungguh-sungguh rekomendasinya, Ame ika, mi alnya, harus menerima konsekuensi
agar menutup 10 ribu fasilitas industrinya yang kini menjadi 10 besar emiter
karbon terbesar dunia (EPA, 2009).
Industri
yang harus ditutup pertama adalah pembangkit listrik karena menghasilkan 2.262
juta ton emisi gas setara karbon per tahun. Berikutnya yang harus ditutup
adalah industri petroleum (205 juta ton), besi baja (85 juta ton), pulp paper
(58 juta ton), dan petrokimia (54 juta ton).
Penutupan
industri ini akan membawa dampak bergulir seperti meningkatnya pengangguran
yang kini menghantui Amerika. Dampak berikutnya adalah berkurangnya secara
drastis pajak korporasi kepada negara, padahal greenback sungguh diperlukan untuk menyokong APBN AS yang kini berdarah-darah.
Terlebih ekses dari krisis zona euro masih terasa dan belum kunjung dapat
dipulihkan.
Cuma Retorika
Hal yang selalu tidak dipahami oleh kelompok
negara-negara maju adalah keengganan untuk memberikan kompensasi atas kerusakan
ekologi negara ketiga, padahal SDA itu digunakan untuk kepentingan negara maju
(Cooper, 1997). Pada konvensi UNFCCC
Bali Desember 2007, Indonesia sebenarnya mengajukan klaim kompensasi kepada negara
maju polluter terbesar greenhouse gas emissions (GHG) Rp 33,75
triliun per tahun melalui proyek REDD. Sebetulnya klaim angka itu ti dak
sebanding biaya recovery yang di per kirakan mencapai Rp 71,28 triliun (ICW, 2009). Betapapun “tuntutan” ri ngan
itu tidak dapat dipenuhi negara-ne gara yang berkontribusi dalam merusak SDA
Indonesia.
Justru ironisnya negara-negara berkembang
malah mendapatkannya dengan mudah. Negara maju sering menda patkannya sementara
di Indonesia sama
sekali tidak. Korporasi besar seperti DuPont—industri kimia Prancis— mem
peroleh dua miliar dolar AS karena klaim pengurangan pemakaian CFC 1999
(Boiral, 2006). Shell dan Bri tish Petroleum (BP) mendapat 500 juta dolar AS subsidi
energi karena sudah memasang proyek solar
cell untuk kelistrikan pada 1997. BP mengklaim berha sil dengan program
pengurangan emisi hingga 10 persen dibanding pada 1990. Jerman mendapat paling
banyak insentif karena target yang dipasang 21 persen, paling tinggi di antara
tiga negara lainnya. Kanada berada pada urutan selanjutnya karena memasang
target moderat 15 persen.
Keberatan
untuk memenuhi klaim Indonesia dari panel tinggi REDD ka rena terutama tidak
bisa disebutkan kuantifikasi dari pengurangan emisi karbon yang telah dilakukan
Indonesia. Bagi negara maju memberikan angka kuantitatif tentu relatif mudah
karena kemajuan teknologi dan tersedianya instrumen pengukuran. Namun, bagi
negara ketiga adalah beban, disamping diperlukan investasi besar juga masih
harus menyewa tenaga asing untuk operatornya. Besarnya insentif barangkali
malah jauh lebih kecil dibanding biaya investasi, insentif belum tentu di
peroleh sudah keluar biaya lebih dulu.
Konon,
banyak sekali insentif—da lam skema karbon—yang ditawarkan pascakonferensi Bonn
pada 2001, namun dengan persyaratan hasil pengukuran yang reliabel.
Ukuran-ukuran ini ditetapkan sendiri oleh panel tinggi dari kelompok
negara-negara maju. Inilah letak diskriminasi dari setiap KTT yang berkaitan
dengan ekologi.
Berkaca
dari pengalaman KTT-KTT lainnya, apakah Rio+20 mempunyai cukup power untuk menekan negara maju?
Alih-alih menekan mereka bahkan yang terjadi justru menjadi forum untuk
mendiskreditkan negara ketiga. Lagi-lagi ada nuansa retorika yang
perlu dikonfirmasikan kembali karena
kecemasan tidak mendapat keuntungan dari sisi ekonomi.. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar