Krisis
Eropa dan RAPBN 2013
Sunarsip ; Ekonom The Indonesia Economic
Intelligence,
Pengajar
Program Magister Ekonomi Universitas Trisakti
Sumber : REPUBLIKA,
18 Juni 2012
Bandingkan dengan artikel Sunarsip di SINDO,13 Juni 2012 :
Setelah
menyadari bahwa berbagai kebijakan yang telah diambil tidak efektif untuk
mengatasi krisis, kini Eropa mengambil kebijakan “pamungkas“ melalui pemberian bailout kepada negara-negara yang
mengalami problem fiskal dan keuangan yang parah. Setelah Yunani di-bailout 130 miliar euro sebagai jaminan
pembayaran utang negara tersebut, Spanyol juga baru saja menerima bailout 100 miliar euro.
Bedanya,
bailout untuk Spanyol dikucurkan Uni
Eropa melalui lembaga keuangannya sendiri (EFSF dan ESM), sementara bailout Eropa ke Yunani dilakukan
melalui IMF. Selain itu, bailout yang diberikan kepada Yunani adalah untuk
menyehatkan fiskalnya. Sedangkan, bailout
untuk Spanyol diarahkan untuk membereskan perbankannya. Di sisi lain, Spanyol
juga mengalami problem fiskal yang cukup besar di mana rasio utang pemerintah
terhadap PDB kotor (government gross debt
to GDP ratio) mencapai 67 persen. Pertanyaannya, akankah kebijakan
“pamungkas“ Eropa ini efektif mengatasi krisis?
Kita
perlu menyikapi secara cermat dan jangan lantas berkesimpulan bahwa krisis
Eropa akan segera berakhir pascakebijakan bailout ini. Mengapa?
Pertama, negara yang memiliki problem fiskal yang serupa dengan Yunani masih cukup banyak. Data memperlihatkan, Portugal memiliki rasio utang pemerintah terhadap PDB 102 persen dan Italia 120 persen.
Pertama, negara yang memiliki problem fiskal yang serupa dengan Yunani masih cukup banyak. Data memperlihatkan, Portugal memiliki rasio utang pemerintah terhadap PDB 102 persen dan Italia 120 persen.
Data
ini menunjukkan, potensi terjadinya bailout
lanjutan masih bisa terjadi. Setelah Yunani, diprediksikan masalah utang
Italia juga akan menjadi isu yang bisa mengganggu Eropa. Pertanyaannya, akankah
Eropa menggunakan kebijakan “pamungkas“ untuk Italia dengan mengucurkan dana bailout?
Kedua,
negara yang saat ini diandalkan sebagai “dewa penyelamat“ Eropa adalah Jerman. Dapat
dikatakan bahwa Jerman merupakan negara besar Eropa yang relatif mampu bertahan
dari pengaruh krisis Eropa. Jerman juga yang menjadi pemasok utama dana bail
out bagi negaranegara Eropa. Pertanyaannya, sejauh mana Jerman memiliki
kekuatan untuk menopang kebutuhan dana bailout?
Di
sisi lain, Kanselir Jerman Angela Merkel pada akhir pekan lalu menyatakan bahwa
Jerman tak sekuat seperti yang terlihat dan tentu saja tak cukup memiliki
tenaga untuk menopang seluruh Eropa. Merkel juga diperkirakan akan hati-hati
dalam menerima setiap usulan terkait kebijakan penyelamatan negara Eropa
lainnya.
Berdasarkan
realitas ini, krisis Eropa tampaknya belum akan cepat berakhir. Bank Sentral
Eropa (ECB) sendiri memperkirakan pertumbuhan ekonomi di Eropa pada 2012 masih
lemah dengan semakin tingginya ketidakpastian. Dengan kata lain, kita juga
jangan berasumsi bahwa pada 2012 ini akan menjadi tahun konsolidasi
penyelesaian krisis di Eropa sehingga prospek ekonomi pada 2013 akan kembali
membaik. Karena itu, dalam penyusunan APBN 2013, misalnya, kita juga perlu
mencermati perkembangan ini agar APBN menjadi realistis.
Perlu
diketahui, saat ini telah dimulai penyusunan Rancangan APBN (RAPBN) 2013. Dari
pemberitaan, saat ini telah disepakati asumsi makroekonomi yang akan dijadikan
basis APBN 2013. Pemerintah dan DPR telah menyepakati asumsi pertumbuhan
ekonomi 2013 sebesar 6,87,2 persen. Pemerintah juga mengajukan asumsi inflasi
4,55,5 persen, kurs rupiah Rp 8.700-Rp 9.300, suku bunga SPN 4,55,5 persen,
harga minyak ICP 100 120 dolar AS per barel, dan menjaga defisit APBN berada
di level 1,31,9 persen.
Berdasarkan
asumsi makroekonomi dalam RAPBN 2013, terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi
menggambarkan kondisi perekonomian pada 2013 yang optimistis. Tentunya, kita
gembira bahwa ekspektasi (atau target) terhadap perekonomian 2013 akan tumbuh
lebih tinggi dibanding pada 2012. Namun yang menjadi pertanyaan, apa landasan
pemerintah begitu optimistis melihat dinamika perekonomian pada 2013? Adakah
kebijakan yang akan digulirkan dapat berdampak signifikan terhadap perekonomian
2013?
Prospek
ekonomi global yang masih rentan diperkirakan masih akan berlangsung pada sisa
tahun 2012. Diperkirakan, kondisi ini akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi
Indonesia, khususnya melalui jalur ekspor. Kekhawatiran ini terlihat pada tren
pertumbuhan ekspor yang menurun sejak kuartal III 2011.
Pada
kuartal I 2012, ekspor hanya tumbuh 7,8 persen (year on year/yoy), jauh menurun dibandingkan kuartal III 2011 yang
tumbuh 17,8 persen dan kuartal IV 2011 yang tumbuh 7,9 persen. Beruntung
kinerja sektor konsumsi domestik dan investasi masih terjaga sehingga pada
kuartal I 2012 kita masih tumbuh 6,3 persen.
Di
sisi lain, Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2012 akan ber
ada di batas bawah kisaran 6,3– 6,7 persen. Dengan kata lain, sepertinya sulit
pada sisa akhir 2012 ini pertumbuhan eko nomi akan lebih tinggi dari 6,5 persen
(sesuai target APBNP 2012).
Pertanyaannya,
apakah penetapan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8–7,2 per sen dalam RAPBN
2013 tersebut didasarkan atas perkiraan bahwa pada 2012 akan menjadi tahun
penyelesaian krisis di Eropa sehingga ekonomi pada 2013 akan membaik? Ataukah,
asumsi (target) pertumbuhan ekonomi 2013 tersebut memang akan dicapai dengan
berbagai usaha (efforts) yang
maksimal meskipun pemerintah juga telah melihat prospek ekonomi Eropa masih
memburuk?
Bila
pertimbangan terakhir yang dipakai, tentu kita menyambut gembira sehingga kita
akan melihat bagaimana cara pemerintah merealisasikan pertumbuhan ekonomi
setidaknya 6,8 persen atau bahkan 7,2 persen itu.
Saya
berpendapat bahwa pemerintah dan DPR lebih baik membuat target pertumbuhan
ekonomi yang lebih realistis dengan tetap berupaya agar realisasinya dapat
mencapai di atas asumsi (target) APBN 2013. Itu dibandingkan membuat target
pertumbuhan yang terlalu optimistis, tetapi realitas saat ini terlihat tidak
mendukung tercapainya asumsi (target) pertumbuhan ekonomi.
BI
sendiri terlihat lebih realistis dalam melihat perkembangan ekonomi pada 2013.
BI memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi 2013 berada pada kisaran 6,46,8
persen, lebih rendah dibandingkan asumsi yang dipakai pemerintah pada RAPBN
2013.
Perlu
diketahui, penetapan asumsi pertumbuhan ekonomi (termasuk asumsi makroekonomi
lainnya) ini sangat penting karena akan memengaruhi postur APBN 2013. Sebagai
contoh, asumsi pertumbuhan ekonomi jelas akan berpengaruh pada besaran
penerimaan perpajakan. Masyarakat akan sulit menerima bila, misalnya,
pertumbuhan ekonomi ditetapkan tinggi, tetapi penerimaan perpajakannya justru
menurun. Padahal, bisa jadi bila kita menggunakan angka pertumbuhan yang lebih
realistis, potensi penerimaan perpajakannya tidaklah sebesar yang ditetapkan.
APBN
memang merupakan alat politik sebagai bentuk komitmen pemerintah dan
kesepakatan DPR atas penggunaan dana publik untuk kepentingan tertentu. Namun,
dalam penyusunannya, tentunya tetap harus didasarkan pada kerasionalan yang
tepat serta dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh
karena itu, saya berpendapat pemerintah dan DPR perlu melihat kembali asumsi
makro yang digunakan dalam menyusun RAPBN 2013. Melalui APBN 2013, juga perlu
memperlihatkan kemungkinan terburuk dengan tidak menutup kemungkinan opsi
terburuk, misalnya dengan memberikan opsi kenaikan harga BBM. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar