Darurat
Partai Politik
J Kristiadi ; Peneliti
Senior Centre for Strategic and International Studies
Sumber : KOMPAS,
19 Juni 2012
(SBY, Forum Silaturahim Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat, Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Rabu, 13 Juni 2012)
Gelombang tsunami politik yang menggulung
Partai Demokrat (PD) dengan kasus dugaan korupsi telah mengempaskan
elektabilitas PD sampai menyentuh ambang batas psikologis yang membuat kadernya
keder menatap masa depan partainya. Keresahan itulah yang mendorong Susilo
Bambang Yudhoyono, Ketua Dewan Pembina PD, turun gunung dan coba mencari solusi
mengingat Pemilu 2014 semakin dekat. Sayangnya, ia lebih cenderung menyalahkan
publik dan partai lain daripada menata barisan internal yang makin rapuh.
Jurus menangkis badai korupsi tidak dapat
dilakukan dengan mengiba dan menuduh partai lain lebih korup. Pembelaan itu
mubazir karena sesat pikir, argumentum ad hominem. Dalih yang bias terhadap validitas
sebuah pikiran karena kontra argumennya menyerang balik pribadi, bukan
substansi. Kilah tersebut seakan-akan membenarkan, merelatifir, atau
setidak-tidaknya menganggap kader PD lebih bersih daripada benggolan partai
lain. Padahal, pepatah bijak menyatakan, ”perbuatan terkutuk yang dilakukan
orang lain tidak dapat dipakai sebagai pembenar perbuatan yang sama bagi
dirinya”.
Kekecewaan publik dapat dimengerti mengingat
Presiden sudah ”memproklamirkan” diri sebagai panglima perang pemberantasan
korupsi. Tekad mulia disampaikan saat peringatan Hari Anti Korupsi
Internasional, 8 Desember 2009. Ia akan berada di garis depan memimpin jihad
melawan korupsi. Rakyat tidak akan pernah lupa janji PD: ”Katakan tidak pada
korupsi”. Sayang, tekad dan kata-kata mulia itu hanya berhenti pada retorika.
Rakyat semakin miris menyaksikan perilaku politik yang dengan buasnya
menggerogoti kekayaan negara.
Terlepas dari sikap defensif SBY, pengakuan
jujur SBY keterlibatan kader PD dalam kasus korupsi dan membeberkan korupsi
kader-kader partai lain lebih dahsyat memperkuat persepsi publik bahwa
eksistensi parpol lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Telah terjadi
darurat partai politik. Defisit kredibilitas parpol semakin besar berbanding
lurus dengan semakin merebaknya kasus korupsi di kalangan partai.
Darurat parpol dapat dipastikan akan
mengakibatkan negara dan bangsa berada di tepi jurang kehancuran, mengingat
parpol adalah sumber dan produsen penguasa. Kader-kader parpol adalah calon
pemegang kekuasaan. Mereka mempunyai otoritas politik yang didukung instrumen
negara agar keputusan politik ditaati oleh warganya. Mereka adalah penentu
nasib seluruh rakyat Indonesia.
Perilaku korup semakin destruktif. Korupsi
dianggap bagian dari usaha membangun partai. Perbuatan korup adalah heroik,
asal atas nama partai. Persepsi sesat itu menjadi kesadaran kolektif dan
referensi kelompok yang mencekoki dirinya dengan kata-kata mulia tetapi
perbuatannya hina.
Mantra politik tersebut akan semakin riuh
seiring semakin dekat pertarungan kekuasaan pada Pemilu 2014. Yang sangat
menyedihkan mengguritanya penyalahgunaan kekuasaan telah menyusup ke seluruh
tubuh negara sehingga kader PD melalui bukunya menjuluki Indonesia sebagai
Negara Mafia Dan Republik Koruptor (Benny K Harman, 2012). Akibatnya,
penyelenggaraan pemerintahan lumpuh, eskalasi anarki diperkirakan makin
meningkat sejalan dengan lenyapnya peran negara.
Partai tentu saja harus diselamatkan dari
pembusukan. Presiden tidak boleh hanya menyelamatkan partainya sendiri. Upaya
penyelamatan internal pun belum tentu berhasil. Misalnya, jurus untuk minta
Anas Urbaningrum mundur diragukan kemanjurannya karena SBY mempergunakan
”sasmito”, bahasa isyarat atau kebatinan yang multitafsir. Para kader PD
dibiarkan saling menebak siapa yang jadi target. Tidak sedikit yang berpendapat
kemerosotan PD lebih disebabkan absennya roh dan kepemimpinan di partai
berlambang berlian tersebut.
Sementara itu, Anas dengan tenang dan percaya
diri telah mementahkan posisi tertuduh menjadi pejuang partai. Dia bersedia
meningkatkan elektabilitas partai dengan kerja keras sehingga tidak mudah
mengandaskan Anas. Diperkirakan, dia sangat tahu siapa berbuat apa dan berapa
besar dosa-dosa mereka. Dia juga bukan politisi salon, di atas membangun
komunikasi dan ke bawah memperkuat basis dukungan. Ia pun kenyang dengan
pengalaman berorganisasi.
Oleh sebab itu, seharusnya SBY tidak berhenti
pada titik itu. Ia harus lebih ofensif melakukan konsolidasi nasional untuk
menyelamatkan bangsa akibat ulah politisi yang secara masif menyalahgunakan
kekuasaan. Ia harus berani membangun niat dan memobilisasi dukungan rakyat
untuk membuat regulasi yang benar-benar dapat mengontrol keuangan parpol.
Regulasi politik uang dan pencegahan
transaksi politik harus ditata dengan prinsip transparansi dan akuntabel.
Regulasi tersebut merupakan jaminan andaikata SBY dan partai-partai lain
melakukan tobat nasional untuk melakukan politik yang bersih, cerdas, dan
santun. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar