Konstitusi
dan Negara Kesejahteraan :
Konstitusi
dan Peluang Negara Kesejahteraan
Laporan Diskusi Panel
oleh KOMPAS - Lingkar Muda Indonesia
Sumber : KOMPAS,
19 Juni 2012
Pengantar Redaksi
Menandai
peringatan Hari Kebangkitan Nasional, Desk Opini ”Kompas” bekerja sama dengan
Lingkar Muda Indonesia (LMI) pada 15 Mei 2012 menyelenggarakan diskusi panel
seri I/2012 di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Mengambil tema ”Konstitusi dan
Negara Kesejahteraan: Dari Cita-cita Menuju Realita”, diskusi menampilkan
pembicara B Herry Priyono (STF Driyarkara), Noer Fauzi Rachman (Sajogyo
Institute), Budiman Sudjatmiko (anggota DPR), dan Tri Rismaharini (Wali Kota
Surabaya), dipandu oleh Sri Palupi. Hasil diskusi dirangkum oleh Sri Palupi,
Effendi Gazali, dan Daniel Adipranata dari LMI serta wartawan ”Kompas” Salomo
Simanungkalit, diturunkan pada halaman 6 dan 7 hari ini.
Konstitusi seharusnya menjadi seperti wajah
Janus yang melihat ke belakang untuk mempertahankan mimpi-mimpi dan
gagasan-gagasan, tetapi juga melihat ke depan untuk mengubah masa depan.
UUD 1945 tidak hanya merupakan konstitusi
politik, tetapi juga konstitusi ekonomi karena pada dasarnya konstitusi
dirumuskan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Salah satu tujuan pembentukan pemerintahan
negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Oleh karena itu,
berdasarkan konstitusi, negara Indonesia adalah negara kesejahteraan.
Pemerintah diberi wewenang oleh konstitusi untuk melakukan tindakan demi
terwujudnya kesejahteraan bangsa.
Dalam negara kesejahteraan, negara tidak
membiarkan perekonomian berjalan tanpa kendali. Negara diberi mandat untuk
melakukan intervensi proaktif (Pasal 33).
Negara tidak perlu menunggu dan hanya reaktif
jika ada tanda perkembangan ekonomi didikte pasar yang mengabaikan kepentingan
umum. Negara harus bertindak jika ada kecenderungan pemusatan kesempatan dan
kekayaan pada segelintir pihak.
Intervensi negara terkait kesejahteraan
bangsa lebih dipertegas dalam Pasal 34. Tugas negara tidak sebatas memberikan
bantuan tunai kepada yang miskin, tetapi juga memberikan perlindungan kepada
semua rakyat agar terhindar dari jerat kemiskinan.
Negara mendapatkan mandat untuk mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat, memberdayakan masyarakat yang lemah
dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, serta menyediakan fasilitas
pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak.
Negara menjamin hak asasi manusia untuk
sejahtera (Pasal 28). Rakyat berhak mendapatkan pendidikan agar mampu
mengembangkan potensi diri. Setiap warga berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Sejalan dengan
itu, negara menghormati dan melindungi hak dan harta benda pribadi serta memfasilitasi
warga untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapat
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Antara Cita-Cita dan Realitas
Negara kesejahteraan bukan proyek sekali
bangun. Antara cita-cita konstitusi dan realitas masa kini dibutuhkan jembatan
yang dibangun dari hasil sederetan tuntutan, desakan, dan tekanan gradual serta
kemudian menanamnya dalam instrumen kebijakan pemerintah.
Sebagai contoh, dalam 20 tahun terakhir,
pendapatan per kapita rakyat Indonesia tumbuh lebih dari empat kali lipat.
Namun, apakah ini berarti kesejahteraan umum telah tercapai? Jika dilihat dari
data kemiskinan, terlihat adanya stagnasi. Persentase penduduk miskin sekarang
nyaris tak berubah, relatif terhadap kondisi awal dekade 1990-an. Jeritan kemiskinan
terdengar di mana-mana.
Menagih terbentuknya negara kesejahteraan
hanya dengan bersenjatakan konstitusi tidak akan menggerakkan pemerintah. Bukan
karena tuntutan dan konstitusi salah atau tidak baik, melainkan karena dua
alasan berikut.
Pertama, dalam realpolitik, tak ada sesuatu
yang terjadi hanya karena kemauan politik. Kemauan politik adalah nama bagi
langkah perubahan yang terpaksa dilakukan karena sederetan desakan atau
tekanan.
Watak legislator dan penguasa yang haus
pencitraan akan selalu menghasilkan produk kebijakan publik yang sifatnya
jangka pendek, populis, dan substandar dari konstitusi.
Kedua, tata negara modern tidak hanya didikte
oleh konstitusi. Liberalisme juga menyuntikkan kriteria baru ke jantung tata
negara, yaitu kebenaran menurut mekanisme ekonomi pasar. Dengan kata lain,
dalam tata negara dewasa ini, sahnya tuntutan atas nama konstitusi masih
menghadapi pengadilan fiskal.
Dalam konteks dinamika demokrasi di
Indonesia, permasalahan bertambah dengan rendahnya kualitas wakil kita di parlemen
dan watak korup para penguasa. Tuntutan dan desakan untuk mengatasi persoalan
sosial yang berujung pada peningkatan kesejahteraan umum sering membentur
tembok tebal ketidaktahuan atau ketidakpedulian.
Kesejahteraan umum sering belum menjadi tolok
ukur performa pemerintahan. Globalisasi menyebabkan pemerintah lebih senang
mengukur keberhasilannya dan meletakkan kepuasannya dengan peningkatan
peringkat global. Ini berbahaya karena seolah-olah pemerintah bertanggung jawab
pada peringkat global, bukan kepada rakyat.
Menakar Peluang
Negara kesejahteraan merupakan tahapan
penting dalam penciptaan masyarakat yang egaliter dan kohesif karena
kesenjangan vertikal dan horizontal berkurang.
Belajar dari praktik bernegara di kawasan
Skandinavia, pembentukan negara kesejahteraan butuh proses pendidikan budaya
yang panjang.
Sejak tingkat pendidikan dasar, anak-anak di
sana telah diajar masalah kesetaraan dan cita-cita negara kesejahteraan. Hal
ini menyadarkan kita bahwa pembentukan negara kesejahteraan bukan hanya soal
undang-undang, DPR, atau pemerintah, melainkan juga penanaman visi bernegara
dan pembentukan budaya pendukung melalui jalur pendidikan.
Pendidikan kewarganegaraan bukan menghafal,
melainkan memaknai peristiwa demi menemukan dan menghidupi kembali budaya luhur
Indonesia.
Masyarakat harus bertumbuh semakin cerdas
serta sadar akan hak dan kewajibannya. Semua ini akan menjadi minyak pelumas
bagi terwujudnya masyarakat sejahtera.
Negara kesejahteraan merupakan hasil evolusi
dari relasi politik demokrasi antara pemerintah dan rakyat.
Keberadaan konstitusi yang berjiwa
kesejahteraan rakyat tidak otomatis menciptakan negara kesejahteraan. Jalan
panjang menuju negara kesejahteraan memerlukan stamina dan arah yang jelas.
Gerakan rakyat perlu diarahkan pertama-tama
pada usaha berkelanjutan untuk menyuarakan tuntutan dan mencari solusi berbagai
penderitaan sosial yang konkret, seperti luasnya masalah kemiskinan, agraria,
pengangguran, ketenagakerjaan, dan perumahan.
Kemudian, semua masalah itu didefinisikan
dalam bingkai proses demokrasi dan solusinya ditanam dalam kinerja tata negara.
Kalau itu terjadi, cita-cita akan
menggelinding menjadi realitas. Kesejahteraan bersama (bonum publicum) dan bukan malapetaka bersama (malum publicum). Wujud yang dicita-citakan Proklamasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar