Count-down
Karier Politik Anas
Effnu Subiyanto ; Mahasiswa
Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
Sumber : SUARA
KARYA, 22 Juni 2012
Hasil survei terakhir Soegeng
Surjadi Syndicate terhadap 2.192 responden yang berlangsung pada 14-24 Mei
2012 dengan metode stratified random
sampling tampaknya menjadi pukulan telak bagi Partai Demokrat (PD).
Indikasi jajak pendapat snapshot ini
menunjukkan Partai Golkar meraih suara tertinggi dengan 23 persen suara. Urutan
kedua, ketiga dan keempat masing-masing ditempati Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) dengan 19,6 persen suara, Partai Demokrat dengan 10,7 persen
suara dan Partai Gerindra dengan 10,5 persen suara.
Dua partai lain yang diprediksi lolos ke Senayan adalah Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) dengan 6,9 persen suara serta Nasional Demokrat
(NasDem) dengan 4,8 persen suara.
Jatuhnya suara dukungan kepada PD ini diduga ada hubungannya
dengan turbulensi korupsi yang banyak dilakukan elite partainya. Setelah
Nazaruddin diputus bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Jakarta, 20 April 2012 dengan vonis 4 tahun 10 bulan dan dipenjarakan, kini
giliran Angelina Sondakh yang masih dalam masa persidangan. Berikutnya, persoalan
proyek sport center Hambalang yang
melibatkan kader PD juga dalam sorotan media.
Kabinet Ketua Umum (Ketum) PD Anas Urbaningrum benar-benar
babak-belur dan ini menunjukkan bahwa ada persoalan kepemimpinan dan juga
manajerial Anas. Karena itu, Anas di-absen-kan pada pertemuan para pimpinan
daerah PD dari 33 provinsi di kediaman Ketua Dewan Pembina PD Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) di Cikeas, Bogor, Selasa (12/6/12). Keesokan harinya, Anas
kembali tidak kelihatan pada sarasehan Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator
(FKPD) Partai Demokrat di Hotel Sahid Jakarta, yang dipimpin langsung oleh SBY.
Tidak tampilnya Ketum pada acara kepartaian yang sangat penting
selama dua kali berturut-turut tentu saja menebarkan spekulasi negatif.
Diberitahukan atau tidak, diakui atau ditutup-tutupi, dalam bahasa isyarat apa
pun sudah pasti bisa dirasakan bahwa telah terjadi 'perang dingin' antara
pendiri PD dengan Anas. Ada posisi diametral di antara keduanya dan jika
dirasakan sebetulnya hubungannya sudah terasa tidak harmonis sejak Anas
memenangi kongres Bandung, Mei 2010.
Kegusaran SBY hanya diungkapkan dalam bahasa isyarat namun dapat
dirasakan substansinya bahwa ada kader PD yang terlibat korupsi dan untuk itu
diminta mundur untuk kepentingan partai. SBY tentu saja hanya bisa menyerukan
atau menghimbau mengingat konstitusi dalam AD/ART PD, kader baru bisa dipecat
jika sudah ada putusan inkracht dari
pengadilan karena korupsi. Sampai detik ini, kendati terpidana Nazaruddin
lantang menyebut keterlibatan korupsi elite PD lainnya, termasuk Anas,
betapapun masih dalam dugaan.
Keuntungannya bagi SBY karena menjadi pihak yang menyeru maka
tercipta kesan bahwa kubu Anas yang terlibat korupsi itu. Dugaan ini menguat
karena Anas tidak hadir dalam momen itu, otomatis seruan SBY ditujukan kepada
pihak yang absen.
Dukungan Melemah
Situasi kini menjadi cukup sulit bagi kubu Anas. Apalagi, posisi
Anas akhir-akhir ini semakin terpojok dengan keberanian buka suara dari
kadernya di daerah, seperti, misalnya, dari mantan Ketua DPC Partai Demokrat
Kabupaten Bualemo, Gorontalo, Ismiyati. Posisi Anas benar-benar di ujung tanduk
dan rasa-rasanya tidak akan bisa dipertahankan lagi.
Ada pertanyaan besar melihat gonjang-ganjing politik yang menerpa
PD, akhir-akhir ini. Yang membuat prihatin, PD faktanya menjadi partai
berkuasa, tempat anak-anak muda yang dulu disebut terbaik di zamannya,
kendaraan politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan yang terpenting hingga
kini menganut paham politik citra yang sangat kuat. Pencitraan anti-korupsi
malah dipublikasikan dan hendak dijadikan ikon PD, jika melihat gencarnya
tayangan, baik media elektronik maupun media cetak.
Namun, melihat fakta akhir-akhir ini, antara perkataan dan
perbuatan, janji terhadap bukti-bukti prestasi, tidak bisa dengan cara ilmiah
maupun pragmatis bahwa politik citra itu sungguh-sungguh diterapkan secara
konsekuen. Kini, tidak terkesan lagi namun sudah dilabeli rakyat sama halnya
dengan jargon atau lipstik.
Politik citra membawa konsekuensi yang sangat berat karena
sulitnya melakukan pengukuran keberhasilan. (Batra dan Homer: 2004) Citra itu image atau representasi dari visualisasi
secara umum dalam satu pandangan sekilas. Jika citra itu baik, maka dalam
sekilas penilaian masyarakat akan baik. Namun, ketika citra itu bernoda meski
setitik, rusaklah susu sebelanga. Inilah jebakan yang mematikan dari citra itu
sendiri.
Ketika Ismiati atau Nazar sudah demikian gamblang membuka aib PD,
maka tidak ada pilihan bahwa PD benar-benar berada pada titik kritis dan butuh contingency plan. Kali ini, elite PD
benar-benar diuji, akankah tetap komit menjaga sumpah citra itu dengan rela
berkorban atau mengabaikannya dengan alasan masih dugaan.
Di belahan bumi nyata, baru-baru ini, PM Jepang Naoto Kan tidak
segan-segan mundur pada Agustus, tahun lalu hanya karena merasa gagal dalam
menangani krisis nuklir PLTN Fukushima. Pemimpin Partai Demokratik Jepang (DPJ)
dan Sekjen Katsuya Okada malah mendorong agar Kan mundur. Padahal, sejauh ini
ekses krisis nuklir PLTN Jepang sudah kian membaik.
Kali ini, elite pengurus PD yang tersisa dan juga kubu Anas
sendiri benar-benar menjalani sesi dilematis yang tidak ringan. Mempertahankan
jabatan dengan konsekuensi semakin luruh suara PD, ataukah mundur untuk
menyelamatkan partai pada 2014 sesuai seruan pendiri PD, Susilo Bambang
Yudhoyono. Akankah Anas akan mencontoh PM Jepang Naoto Kan atau bersikap defensive, waktu yang akan
membuktikannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar