Listrik
dan Sumber Energi Baru
Wasistho Adji ; Anggota Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI)
Sumber : SUARA
MERDEKA, 22 Juni 2012
MASYARAKAT yang bermukim di
Jawa mungkin kurang bisa menjiwai bagaimana rasanya kekurangan pasokan energi listrik,
yang berarti ada pemadaman aliran listrik secara bergilir 2-3 kali seminggu.
Hal itu berbeda dari saudara kita yang bermukim di luar Jawa, yang wilayahnya
punya keterbatasan infrastruktur sehingga pemadaman aliran listrik secara
bergiliran merupakan bagian dari keseharian.
Energi listrik adalah kebutuhan vital pada era peradaban masa kini. Keterbatasan atau kekurangan pasokan energi listrik akan berdampak pada beberapa persoalan vital, di antaranya tidak ada investasi baru (pertumbuhan investasi) karena tidak tercukupinya pasokan listrik untuk mendukung operasional pabrik baru. Derivatnya secara langsung adalah tidak ada pertambahan lapangan kerja.
Pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk di Indonesia akan membutuhkan tambahan tenaga listrik. Target pertumbuhan ekonomi selama 5 tahun ke depan telah dipatok pada angka 7% yang berarti perlu menyiapkan penyediaan listrik dengan laju pertumbuhan sekitar 10,5% per tahun.
Jika mengacu pada pertumbuhan listrik 7% per tahun seperti saat ini maka tahun 2020 perlu penambahan 30.000 mW untuk wilayah Jawa-Madura-Bali. Mengingat sebagian besar pembangkit di Indonesia masih berbabahan bakar minyak, kondisi kelistrikan nasional akan menghadapi masalah dengan makin menurunnya produksi migas dan belum dimanfaatkannya energi alternatif secara maksimal untuk pembangkit listrik.
Pemenuhan kebutuhan pembangkitan energi listrik, memerlukan ketersediaan bahan bakar yang mudah, murah, dan berdampak paling minimal bagi lingkungan. Data pembangkitan listrik oleh PLN untuk wilayah Jawa-Bali 2010 sebesar total 129.475 gWh dipenuhi dari energi batu bara 65%, minyak 0,16%, air 6%, gas 23%, dan panas bumi 5%.
Cadangan Batu Bara
Komposisi itu memperlihatkan ketergantungan pada batu bara sangat tinggi. Hal itu tidak dapat dihindari mengingat batu bara relatif mudah didapat dan harganya terjangkau. Terlebih pada dekade terakhir ini dunia merasakan makin sulitnya mendapatkan bahan bakar minyak dan gas bumi. Selain lokasinya terpencil atau berada di laut dalam, perlu teknologi tinggi dan biaya besar untuk mengeksplorasi.
Hal inilah yang antara lain memicu kenaikan harga minyak mentah dunia hingga di atas100 dolar AS per barel. Situasi yang sama terjadi di Indonesia, di antaranya ditandai turunnya produksi minyak mentah sampai pada kisaran 930 ribu barel per hari dan menjadikan kita sebagai pengimpor, tidak lagi menjadi anggota OPEC (organisasi negara pengekspor minyak).
Karena itu, guna mencukupi kebutuhan energi, perlu memanfaatkan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan, mudah dieksploitasi, cadangannya cukup besar, dan dapat diperbarui. Sumber energi terbarukan di antaranya air (PLTA dan PLTM), panas bumi (PLTP), biomasa, surya/ cahaya matahari, angin, dan arus/gelombang laut. Di antara jenis energi terbarukan, yang berpotensi dan sudah dikembangkan dengan skala besar adalah air dan panas bumi.
Pembangunan PLTA selalu melibatkan areal sangat luas guna membangun bendungan yang berdampak sosial karena sangat mungkin memindahkan banyak warga bila dibangun di Jawa. Adapun panas bumi, walau cadangannya cukup besar yaitu 27 gW, tidak banyak investor yang tertarik mengembangkan mengingat biasanya terletak di daerah gunung berapi, terpencil, akses menuju lokasi sulit, dan seringkali terletak di daerah konservasi.
Energi listrik adalah kebutuhan vital pada era peradaban masa kini. Keterbatasan atau kekurangan pasokan energi listrik akan berdampak pada beberapa persoalan vital, di antaranya tidak ada investasi baru (pertumbuhan investasi) karena tidak tercukupinya pasokan listrik untuk mendukung operasional pabrik baru. Derivatnya secara langsung adalah tidak ada pertambahan lapangan kerja.
Pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk di Indonesia akan membutuhkan tambahan tenaga listrik. Target pertumbuhan ekonomi selama 5 tahun ke depan telah dipatok pada angka 7% yang berarti perlu menyiapkan penyediaan listrik dengan laju pertumbuhan sekitar 10,5% per tahun.
Jika mengacu pada pertumbuhan listrik 7% per tahun seperti saat ini maka tahun 2020 perlu penambahan 30.000 mW untuk wilayah Jawa-Madura-Bali. Mengingat sebagian besar pembangkit di Indonesia masih berbabahan bakar minyak, kondisi kelistrikan nasional akan menghadapi masalah dengan makin menurunnya produksi migas dan belum dimanfaatkannya energi alternatif secara maksimal untuk pembangkit listrik.
Pemenuhan kebutuhan pembangkitan energi listrik, memerlukan ketersediaan bahan bakar yang mudah, murah, dan berdampak paling minimal bagi lingkungan. Data pembangkitan listrik oleh PLN untuk wilayah Jawa-Bali 2010 sebesar total 129.475 gWh dipenuhi dari energi batu bara 65%, minyak 0,16%, air 6%, gas 23%, dan panas bumi 5%.
Cadangan Batu Bara
Komposisi itu memperlihatkan ketergantungan pada batu bara sangat tinggi. Hal itu tidak dapat dihindari mengingat batu bara relatif mudah didapat dan harganya terjangkau. Terlebih pada dekade terakhir ini dunia merasakan makin sulitnya mendapatkan bahan bakar minyak dan gas bumi. Selain lokasinya terpencil atau berada di laut dalam, perlu teknologi tinggi dan biaya besar untuk mengeksplorasi.
Hal inilah yang antara lain memicu kenaikan harga minyak mentah dunia hingga di atas100 dolar AS per barel. Situasi yang sama terjadi di Indonesia, di antaranya ditandai turunnya produksi minyak mentah sampai pada kisaran 930 ribu barel per hari dan menjadikan kita sebagai pengimpor, tidak lagi menjadi anggota OPEC (organisasi negara pengekspor minyak).
Karena itu, guna mencukupi kebutuhan energi, perlu memanfaatkan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan, mudah dieksploitasi, cadangannya cukup besar, dan dapat diperbarui. Sumber energi terbarukan di antaranya air (PLTA dan PLTM), panas bumi (PLTP), biomasa, surya/ cahaya matahari, angin, dan arus/gelombang laut. Di antara jenis energi terbarukan, yang berpotensi dan sudah dikembangkan dengan skala besar adalah air dan panas bumi.
Pembangunan PLTA selalu melibatkan areal sangat luas guna membangun bendungan yang berdampak sosial karena sangat mungkin memindahkan banyak warga bila dibangun di Jawa. Adapun panas bumi, walau cadangannya cukup besar yaitu 27 gW, tidak banyak investor yang tertarik mengembangkan mengingat biasanya terletak di daerah gunung berapi, terpencil, akses menuju lokasi sulit, dan seringkali terletak di daerah konservasi.
Karena itu, kita bisa
memahami bila batu bara mendominasi pemakaian bahan bakar pembangkit lkarena
selain cadangannya besar yaitu sekitar 19 miliar ton, penambangannya relatif
mudah dan murah karena lapisannya tidak jauh dari permukaan tanah. Kini
tantangan selanjutnya adalah bagaimana menangani limbah PLTU. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar