Presiden Jokowi telah mengumumkan secara resmi ibukota negara akan berpindah dari Jakarta ke Kalimantan Timur (Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara) di lahan  seluas 180.000 hektar.
Pilihan lokasi menurut Jokowi sudah melalui kajian matang Kementerian Bappenas.  Kalimantan Timur (Kaltim), katanya minim bencana, seperti bebas gempa dan longsor. Infrastruktur di Kaltim juga lengkap, sehingga pengembangan kota dan industri berjalan cepat. Pemerintah memang gencar membangun infrastruktur termasuk di Kaltim. PT Jasa Marga, misalnya sedang membangun jalan tol Balikpapan-Samarinda sepanjang 100 kilometer. Pemerataan pembangunan di luar Jawa adalah alasan lain mengapa ibukota pindah ke Kaltim.
Sejak Orde Baru, beban Jakarta terlalu tinggi, karena struktur ekonominya terkonsentrasi pada investasi kolosal. Pembangunan ekonomi juga terlalu terpusat di Jakarta. Sebagai pusat pemerintahan, seluruh urusan bisnis, administrasi kenegaraan dari berbagai daerah bertumpu ke Jakarta. Bahkan kantor pusat perusahaan-perusahaan yang operasinya di daerah, berada di Jakarta. Pusat-pusat industri juga bertumpu di Jakarta, sehingga pemerataan pembangunan dengan daerah lain hampir timpang. Risikonya, gelombang urbanisasi ke Jakarta sangat tinggi. Ini membuat Jakarta menjadi padat, macet dan menjadi kota paling bising. Maka, pemindahan ibukota ke luar Jakarta memang harus teralisasi.
Meski demikian, pilihan lokasi di Kaltim tentu bukan tanpa masalah. Apalagi jika alasannya soal minimalisasi risiko bencana dan pemerataan pembangunan di luar Jawa. Apa benar Kaltim ibukota impian di masa depan? Apakah dengan pemindahan ibukota pemerataan pembangunan Jawa-Luar Jawa terwujud?
Bisnis orang kuat
Kaltim adalah daerah kaya sumber daya alam (SDA), berupa batubara, minyak dan gas. Berdasarkan data Dewan Energi Nasional (DEN) 2013 menunjukkan, cadangan batubara Kaltim mencapai 28,93 miliar ton, cadangan minyak bumi 670,00 MMSTB (11,0 persen cadangan minyak bumi nasional)  dan cadangan gas mencapai 19,76 TSCF (24,3 persen dari cadangan gas nasional). Dari segi kontribusi, Kaltim menempati posisi teratas secara nasional. Secara keseluruhan, kontribusi minyak bumi dari Kaltim untuk nasional 47,44 persen (670.000 MMSTB), gas bumi berkontribusi 24,30 persen (19,76 TCF) dan batubara (produksi 203,6 juta ton) atau sebesar 65 persen dari total produksi batubara nasional.
Potensi kekayaan Katim itulah yang membuat grup-grup bisnis besar berinvestasi di sana. Mereka itu misalnya Bayan Resources, Kaltim Prima Coal (KPC), Harum Energy, Borneo Lumbung, Toba Group, Sinarmas Group, Kideco Jaya dan Tanito Harum. Konsensi batubara milik grup-grup besar ini masuk kategori Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)  yang operasinya diberikan sejak era Orde Baru dengan merujuk UU No11/1967, tentang Penanaman Modal Asing (PMA).
PKP2B lahannya sangat luas.  PT Berau Coal  misalnya 121.589,00 hektar, PT Indominco Mandiri (Kutai Kartanegara) 25.121,00 hektar, PT KPC (Kutai Timur) 90.000 hektar, PT Kideco Jaya Agung (Paser) 50.000 hektar dan PT Tanito Harum 35.757 hektar.
Kapasitas produksi batubara juga sangat besar. KPC misalnya memproduksi 57 juta ton per tahun, Berau Coal 24 juta ton, Kideco Jaya Agung 30  juta ton dan Kartika Selabumi 67.483 juta ton. Untung yang mereka peroleh dari bisnis tambang Kaltim juga sangat besar. Harum Energy tahun 2014 mampu mengeruk untung 1 miliar dollar AS dan Bayan Resources menjadi sangat kaya dengan kapitalisasi pasar sejak 2014 di atas Rp 80 triliun.
Masih banyak tambang batubara kecil dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang izinnya dikeluarkan pemerintah daerah (bupati/walikota) di era otonomi daerah sekarang ini. IUP-IUP itu banyak yang legal dan banyak pula yang ilegal atau menyalahi aturan. Di Kutai Kartanegara, pemda telah mengeluarkan ratusan izin konsensi tambang di areal seluas 109.234,76 hektar, Kabupaten Berau 25.445,00 hektar, Penajam Paser Utara 25.000 hektar dan Kutai Timur 266.000 hektar (Baca: Clear & Clean Dirjen Minerba, 2018). Kecamatan Samboja, lokasi ibukota negara baru, memiliki 90 IUP. Bekas-bekas galian dan lubang tambang di ibukota itu pun masih tertutup dan belum ada reklamasi pasca-tambang. Itu belum terhitung IUP ilegal yang hampir sama luasnya dengan IUP legal.
Data di atas menunjukkan lahan di Kaltim sebagian besar telah menjadi kawasan investasi tambang. Deretan pemain-pemain tambang di atas menunjukkan bahwa SDA Kaltim dimonopoli orang-orang kuat. Orang kuat itu adalah grup-grup bisnis besar yang memiliki akses dekat dengan kekuasaan. Mereka memiliki jaringan bisnis-politik mulai dari tingkat lokal, nasional dan global. Jaringan lokal bertujuan memperkuat operasi produksi dan mengamankan operasi perusahaan dari demonstrasi dan protes warga.
Jika ada warga yang protes mereka mudah membayar aparat militer dan para preman untuk mengancam warga, sehingga operasi mereka aman. Sementara, jaringan politik pusat itu mulai dari birokrasi sampai parpol. Jaringan di pusat inilah yang banyak mendesain aturan, regulasi bisnis di daerah. Lebih dari itu, pasca-pemberlakuan otonomi daerah, hanya parpol yang bisa mengendalikan bupati/walikota di daerah yang memiliki wewenang mengeluarkan izin konsensi tambang.
Jaringan bisnis global, juga tak kalah penting. Jaringan bisnis global mereka secara finansial sangat kuat. Jaringan global ini penting agar pasokan batubara memiliki pembeli (buyer) tetap agar mereka tak berproduksi sia-sia. Mudah saja kita melacak jaringan mereka di tingkat global jika kita rajin membaca laporan keuangan. Dalam setiap laporan keuangan, pasti tercantum nama buyer alias pembeli mereka di luar negeri. Pembeli utama batubara Toba Bara Sejahtera, misalnya, adalah pemain komoditas trading global, seperti Vitol Asia Pte Ltd, Mercuria Energy Group Ltd dan Glendora International AG (Baca, TOBA, 2014).
PT Harum Energy yang memproduksi batubara di Kaltim 6,6 juta ton (2018) memiliki buyer sangat kaya, seperti Korea Western Power Co Ltd (79,64 juta dollar AS), KCH Energy dan Taiwan Power Company.
Masih banyak contoh pembeli global lain yang tak bisa diulas secara detail di sini. Secuil informasi ini menunjukkan, akumulasi modal hanya melingkar pada barisan pengusaha kaya dan tak mengucur ke bawah. Mereka mustahil menjadi kaya jika tak memiliki patron dalam kekuasaan pusat-daerah dan tak memiliki jaringan bisnis global.
Grup-grup bisnis ini menjadi langganan tetap daftar miliuner kaya versi Majalah Forbes setiap tahun. Pengusaha-pengusaha kaya itu kebanyakan kaya dari hasil tambang. Hanya saja, ada yang naik dan turun kelas tergantung dari valuasi aset mereka setiap tahun. Angkat saja, Bayan Resources dan Sinarmas Group. Pemilik Bayan Resources, Low, misalnya, berada di peringkat empat dengan kekayaan 3,7 miliar dollar AS versi Forbes tahun 2013. Nama-nama lain yang basis bisnisnya di Kaltim, adalah Kiki Barki (1,7 miliar dollar AS) dan Agus Lasmono Sudwikatmono (845 juta dollar AS). Agus Lasmono, wakil presiden PT Indika Energy dengan kekayaannya mencapai Rp 7,6 triliun. Indika Energy melalui PT Kideco Jaya Agung sudah lama beroperasi di Paser.
Jadi Kaltim itu rumah bagi industri ekstraktif, seperti tambang. Meskipun Kaltim kaya SDA, namun hanya sekelompok elite bisnis saja yang kaya, sementara masih banyak rakyat miskin (4,1 persen pada 2019). Jika dibandingkan dengan kekayaan alam yang dimilikinya, seharusnya, penduduk Kaltim tidak berada dalam kemiskinan. Eksplorasi besar-besaran SDA Kaltim membuat lingkungan rusak dan proses deforestasi tak terhindari. Luas wilayah hutan Kaltim setiap tahun berkurang. Daerah tambang juga rawan longsor dan gempa. Penduduknya menjadi tak tenang, karena limbah tambang bisa menimbulkan berbagai penyakit.
Di Kaltim, terdapat sekitar 110 lubang galian tambang batubara, tanpa ada reklamasi pasca-tambang. Di lokasi ibukota negara yang baru ditetapkan Presiden juga masih ada bekas lubang galian tambang. Biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk membangun ibukota baru dari lubang tambang akan membengkak.
Sulit untuk membayangkan bahwa pengambilan keputusan pemindahan ibukota ke Kaltim bebas kepentingan. Kompromi bisnis-politik dibaliknya tentu sangat tinggi. Keputusan Jokowi memindahkan ibukota secepat kilat membenarkan tesis ilmuwan sosial, Thomas Ferguson (1995) yang mengatakan, negara dikendalikan koalisi para investor. Perkongsian modal dan kuasa sudah sangat kental di Kaltim sejak zaman  Orde Baru hingga Reformasi.  Jauh sebelum Jokowi mengumumkan ibukota pindah, sudah banyak kelas elite bisnis menikmati untung mengeruk SDA Kaltim.
Boleh jadi, kelas elite inilah yang berada dibalik pemindahan ibukota karena ruang gerak bisnis mereka di Jakarta sudah terlalu sempit. Kaltim kemudian jadi magnet ekonomi, gelombang urbanisasi dan ledakan penduduk meningkat. Ibukota negara impian itu kemudian campur-baur dengan pusat pemerintah, pusat bisnis dan industri ekstraktif. Jokowi hanya memindahkan masalah Jakarta ke Kaltim. Pemindahan ibukota bisa jadi hanya menguntungkan kelas elite, bukan rakyat.
Pertimbangan politik
Jika impian ibukota negara masa depan tak campur-campur dengan pusat industri ekstraktif, Kaltim bukan pilihan lokasi tepat. Kajian Bappenas perlu didiskusikan kembali ke ruang politik. DPR yang terpilih untuk periode 2019-2024, perlu benar-benar konsentrasi dengan isu ini. Proses politik di DPR sebelum ibukota menjadi UU perlu menampung aspirasi dan suara yang muncul di ruang publik.
Aspek ekologis dan alasan pemerataan pembangunan pemindahan ibukota tak terlalu kuat. Ibukota perlu terpisah jauh dengan pusat industri ekstraktif yang merusak lingkungan. Menimbang potensi pertambangan batubara, pemerintah Jokowi seharusnya berpikir, bagaimana jika Kaltim  dijadikan model percontohan untuk kota pertambangan. Di sana mulai dibangun pabrik pengolahan diethyl ether (DME) untuk mengolah batubara menjadi liquefied petroleum gas  (LPG). Pasokan batubara dari Kaltim untuk pembangunan pabrik DME sudah mencukupi. Dengan begitu, pemerintah bisa mengurangi impor LPG yang membuat neraca perdagangan lebih baik.
Jika pilihannya tetap di Kaltim, pemerintah tak perlu memperpanjang izin kontrak perusahaan PKP2B yang kontraknya akan berakhir dalam beberapa tahun ke depan. PT Multi Harapan Utama (2022), Tanito Harum (2019), Kideco Jaya Agung (2023), KPC (2021) dan Borneo Coal (2025). UU memerintahkan, jika kontrak perusahaan berakhir, lahannya dikembalikan ke negara. Namun, ini memerlukan keberanian Presiden, karena perusahaan-perusahaan tambang ini milik orang-orang kuat secara ekonomi dan politik.
Jokowi juga harus siap menghadapi proses hukum jika perusahaan-perusahaan ini menggugat pemerintah karena tak memperpanjang kontrak. Selain itu harus dicari alternatif lain untuk menambah penerimaan negara karena perusahaan-perusahaan besar ini memberikan kontribusi cukup besar.
PLN juga harus mencari alternatif batubara dari daerah lain untuk dipasok ke pembangkit listrik. Presiden kemudian memerintahkan gubernur dan bupati di Kaltim, hentikan semua operasi tambang ilegal dan izin-izin konsensi baru tak perlu diberikan lagi. Pemerintah kemudian mencari jalan siapa yang akan bertanggung jawab terhadap reklamasi pasca-tambang. Maka, pertimbangan pemindahan ibukota semestinya menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan elite.
(Ferdy Hasiman ; Peneliti Pada Alpha Research Database, Indonesia)