Bangkit
dari Belenggu Kekerasan
Harjito
; Ketua
Program Studi Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI)
Universitas PGRI Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 20 Mei 2014
"Sikap reflektif bisa muncul dari kegemaran
membaca dan dapat meredam hal-hal yang berbau kekerasan"
ADA yang
memprihatinkan sekaligus harapan pada bulan Mei. Yang memprihatinkan adalah
keterkuakan kekerasan dalam dunia pendidikan. Padahal Hari Pendidikan
Nasional (Hardiknas) jatuh pada awal bulan ini. Masih pada bulan yang sama,
kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Tulisan ini hendak
merangkaikan keduanya.
Kita
mesti mengakui perihal kekerasan dalam dunia pendidikan. Sebagai contoh: kasus
TK JIS di Jakarta, kekerasan anak di Sukabumi Jawa Barat, penganiayaan murid
SD di Jakarta Timur, atau kekerasan di
STIP Jakarta. Berita tersebut mudah
dan cepat kita lacak dengan mesin pencari di internet.
Beberapa
saat lalu saya menerima pesan pada grup jejaring sosial yang merangkum
peristiwa itu. TK disodomi. SD dipukuli. SMA buat film ngeres. Mahasiswa
diplonco sampai mati. Betapa mengerikan menjadi pelajar di Indonesia.
Pengertian pelajar mencakup juga mahasiswa. Tentu tak boleh menelan mentah-mentah
pesan itu namun patut menjadikannya bahan renungan. Institusi pendidikan yang
semestinya mengajarkan bagaimana menjadi manusia malah penuh tindakan tidak
manusiawi.
Kebangkitan
nasional berkait masa-masa pergerakan dengan kemunculan organisasi massa yang
pada kemudian hari diyakini sebagai benih nasionalisme Indonesia. Organisasi
nasional pertama di Hindia Belanda adalah Boedi Oetomo, didirikan 20 Mei
1908. Sosok yang mengorganisasikan antara lain Wahidin Soedirohoesodo,
Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Soewarno, Goembreng, Mohammad Saleh, serta
Soelaeman (Nagazumi, 1988).
Yang
acap luput dari perhatian banyak orang adalah adanya keterkaitan antara
pergerakan dan pendidikan. Kita bisa
menelisik dari perdebatan antara Wahidin dengan Tjipto Mangoenkoesoemo. Masih
menurut Nagazumi (1988: 12, 5), padai kongres I di Yogyakarta pada 3-5
Oktober 1908, Wahidin dan Tjipto
hendak menggalakkan pendidikan Barat. Tjipto menginginkan pendidikan bagi seluruh masyarakat. Pendidikan akan menyelamatkan masyarakat Jawa yang statis. Wahidin
menekankan pendidikan untuk priayi. Jika elite Jawa berpendidikan maka akan diikuti rakyat
jelata. Yang dibutuhkan masyarakat Bumiputera adalah pendidikan dan
mempertinggi kesadaran kebangsaan
Saya
lebih sepakat dengan pendapat Tjipto, bahwa pendidikan bukan hanya untuk
kelas sosial atas yang diwakili priayi. Pendidikan untuk seluruh masyarakat.
Hal ini sejalan dengan tujuan negara Indonesia sebagaimana dalam Pembukaan
UUD 1945 bahwa Indonesia ada untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Bangsa
bermakna seluruh masyarakat.
Nasionalisme Humanis
Melihat sejarah tersebut, sepatutnya pendidikan di Indonesia
mengajarkan dan mendidik nasionalisme, kecintaan terhadap Tanah Air.
Nasionalisme mengacu pada berbagai kelompok manusia yang diyakini
memberikan identitas, suatu ikatan
emosi yang membentuk satu komunitas.
Nasionalisme juga bermakna keunggulan suatu kelompok yang berdasarkan bahasa,
budaya, keturunan, agama, dan wilayah bersama. (Sargent, 1987; Riff, 2001).
Yang
jadi persoalan, karena mengutamakan identitas dan kelompok, seringkali dengan
mengatasnamakan nasionalisme, manusia kemudian membinasakan manusia dan
menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Pada era global di mana batas-batas
fisik cair oleh teknologi dan ekonomi, nasionalisme yang dibutuhkan
bukanlah yang membabi-buta melainkan
nasionalisme humanis. Dari berbagai literatur, humanisme bermakna menjunjung
nilai dan martabat manusia. Tujuan humanisme adalah keselamatan manusia. Dengan demikian, nasionalisme
humanis adalah kecintaan kepada Tanah Air dengan menjunjung nilai dan
martabat manusia. Di dalamnya juga mesti menghargai keselamatan dan
kesempurnaan manusia.
Kekerasan
di dalam pendidikan tidak sejalan dengan nasionalisme humanis.
Setidak-tidaknya ada dua alasan. Pertama; kekerasan bertolak belakang dengan
rasa kemanusiaan. Kedua; pelajar
Indonesia adalah aset sangat berharga
bagi bangsa. Pelajar dan manusia Indonesia semestinya mendapatkan
perlindungan memadai dari negara.
Salah
satu cara membangun dan membangkitkan nasionalisme humanis adalah dengan
mencintai sastra dan budaya. Dalam hal ini,
sastra dan budaya Indonesia. Indonesia memiliki ragam budaya dan
sastra luar biasa dari Sabang hingga
Merauke. Pernghargaan terhadap keberagaman suku, bangsa, agama, hasil pemikian, atau pendapat harus
ditumbuhkembangkan dalam pendidikan. Justru keberagamanlah yang merangkaikan
Indonesia. Dengan keberagaman, Indonesia akan unggul pada segala bidang. Kecintaan atas Indonesia
dapat dimulai dari membaca. Terutama membaca karya sastra. Dengan membaca, kita masuk dalam dunia literasi yang merenungi
dan sunyi. Sikap reflektif bisa muncul
dari kegemaran membaca dan dapat meredam hal-hal yang berbau kekerasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar