Guru Besar dan
Jurnal Ilmiah
Sulardi ; Dosen Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Malang
|
KOMPAS,
11 November 2013
Menjadi guru besar sebagai jabatan
fungsional akademik tertinggi dalam dunia akademik merupakan keinginan setiap
pengajar di perguruan tinggi. Untuk sampai ke sana, seorang dosen harus
menjalankan tridarma perguruan tinggi dengan angka kredit mencapai 850-1.050.
Untuk mencapai jabatan guru besar,
sejak tahun 2005 berlaku persyaratan bahwa seorang guru besar perlu
kualifikasi akademik doktor (Pasal 48 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen). Sebelumnya, untuk mencapai jabatan akademik
guru besar cukup berijazah S-1 atau S-2 asal telah memperoleh jumlah angka
kredit 850-1.050.
Tahun 2009, Direktorat Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional−—sekarang Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan—menerbitkan Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan
Jabatan Fungsional Dosen ke Lektor Kepala atau Guru Besar. Dalam pedoman ini,
untuk menjadi guru besar bisa dengan cara melompat, yakni dari jabatan
asisten ahli/lektor kepala ke guru besar atau secara reguler dari lektor
kepala ke jabatan guru besar.
Pembeda antara kenaikan jabatan
fungsional secara melompat dan reguler adalah jumlah karya ilmiahnya. Untuk
melompat, seseorang harus memenuhi syarat tridarma perguruan tinggi dan
penunjang sesuai jumlah yang ditentukan, yang di dalamnya terdapat empat
karya ilmiah pada jurnal nasional terakreditasi atau dua karya ilmiah pada
jurnal ilmiah internasional bereputasi. Untuk kenaikan jabatan fungsional
guru besar secara reguler cukup satu karya ilmiah pada jurnal nasional
terakreditasi atau satu karya ilmiah pada jurnal internasional bereputasi.
Persyaratan karya ilmiah pada
jurnal internasional bereputasi bersifat alternatif. Artinya, seseorang tetap
bisa menduduki jabatan fungsional guru besar sepanjang memiliki karya ilmiah
yang dimuat pada jurnal nasional terakreditasi atau jurnal ilmiah internasional
bereputasi.
Empat tahun kemudian, tepatnya
berdasarkan Pasal 26 Ayat (4) Huruf c Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2013 tentang Jabatan
Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya, dinyatakan bahwa ”kenaikan jabatan
akademik dosen untuk menjadi profesor wajib memiliki karya ilmiah yang
diterbitkan jurnal internasional bereputasi”.
Ini berarti ada perubahan
persyaratan dari pemuatan di jurnal internasional bereputasi yang semula
bersifat alternatif kini menjadi wajib.
Perubahan persyaratan itu
sesungguhnya tidak begitu menyulitkan bagi para doktor, tetapi justru
menunjukkan ketergantungan kalangan akademik negara ini terhadap termuatnya
karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi.
Karena pada kenyataannya sebagian
besar jurnal internasional bereputasi dikelola oleh program studi atau
asosiasi di luar negeri, bisa disimpulkan bahwa bangsa ini belum percaya diri
terhadap kualitas jurnal nasional terakreditasi yang dimiliki. Artinya, belum
mengakui bahwa jurnal nasional yang diakreditasi oleh Ditjen Dikti sejajar
dengan jurnal internasional.
Ilmuwan
membumi
Menjadi ilmuwan, termasuk guru
besar, berkewajiban akademik sekaligus moral untuk menyumbangkan
karya-karyanya untuk kemajuan bangsa dan negara. Dari titik inilah sering
kali dalam pidato pengukuhan guru besar muncul pesan agar guru besar tidak
ragu melepas alas kakinya agar menjadi guru besar yang membumi, guru besar
yang karya-karyanya bermanfaat untuk kemajuan masyarakat di sekitarnya sesuai
bidang ilmu kegurubesarannya.
Jika Kemdikbud mensyaratkan
menjadi guru besar wajib memiliki karya ilmiah dalam jurnal internasional
bereputasi, syarat tersebut justru kontraproduktif dengan semangat melahirkan
guru besar yang membumi. Syarat adanya jurnal internasional bereputasi justru
akan melahirkan guru besar-guru besar yang melangit, yang hanya berkutat pada
perdebatan ilmiah dalam tataran ”langitan” agar laporan ilmiahnya dimuat pada
jurnal
internasional.
Jumlah karya ilmiah di jurnal
internasional bereputasi tidak berdampak signifikan terhadap pemanfaatan
keilmiahannya bagi masyarakat, nusa, dan bangsa. Bukankah akan terasa
bermanfaat bagi bangsa ini apabila temuan-temuan guru besar di bidang
agronomi, misalnya, bisa membantu para petani Indonesia menghasilkan produk
unggul?
Jika petani mampu menghasilkan
kedelai berkualitas, −tentu produk tersebut bisa dijual dengan harga yang
pantas pula. Bukankah yang sejahtera tidak hanya petaninya, tetapi juga
perajin tempe-tahu di Tanah Air? Demikian halnya dengan temuan pada tanaman
lain, misalnya tebu, gula, beras, buah, dan sayuran.
Hal yang sama berlaku pula untuk
guru besar dan calon guru besar di bidang ilmu lain. Seorang guru besar akan
membumi apabila karyanya memberikan sumbangsih langsung untuk perkembangan
dan kemajuan masyarakatnya.
Oleh karena itu, jika pemerintah
menghendaki lahirnya guru besar-guru besar yang membumi, hargailah
karya-karya mereka yang bermanfaat langsung bagi kemajuan bangsa dan negara.
Jangan biarkan para calon guru besar itu memohon-mohon kepada pengelola
jurnal internasional (asing) agar bersedia memuat karya ilmiah mereka dan
akhirnya malah terjebak pada jurnal yang tidak bereputasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar