Menanti Sikap
Keras Pemerintah atas Penyadapan
Hikmahanto Juwana ; Guru Besar Hukum Internasional
Universitas Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 11 November 2013
TERKUAKNYA penyadapan antarnegara di era
Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur akan berkonsekuensi pada
pengusiran diplomat (persona non grata)
dari negara yang melakukan praktik kotor spionase.
Dalam praktik diplomasi pengusiran bisa
didahului atau tidak didahului dengan protes keras. Selanjutnya negara yang
disadap akan menuntut penjelasan dari perwakilan negara yang dituduh
melakukan penyadapan.
Bagi negara yang dituduh sampai kapan pun mereka tidak
akan secara suka rela menyatakan dilakukannya penyadapan. Itu sama saja
dengan bunuh diri bila menyatakan dirinya bersalah. Praktik yang selama ini
berlaku ialah negara yang menyadap akan memberi respons normatif, yaitu
neither deny nor confirm (tidak menyangkal ataupun mengakui).
Bila negara yang dituduh melakukan penyadapan
merasa tidak melakukan spionase tersebut, negara itu akan melakukan balasan
yang sama berupa pengusiran diplomat dari negara yang menuduh. Bagaimana
dengan Indonesia ketika Edward Snowden melalui harian asal Jerman der Spiegel
dan harian asal Australia Sydney Morning Herald membocorkan praktik kotor
penyadapan yang dilakukan Amerika Serikat (AS) dan Australia?
Indonesia diberitakan telah disadap pada 2007
saat diadakan Konferensi Perubahan Iklim di Bali dan 2009 saat berlangsungnya
pertemuan G-20 di London. Bahkan berdasarkan bocoran tersebut diketahui
Australia telah memasang instrumen dan peralatan canggih penyadapan di
kedutaan besar (kedubes) mereka. Kedubes yang diberi kekebalan diplomatik
berdasarkan praktik diplomasi dan hukum internasional ternyata telah
disalahgunakan Australia.
Praktik ilegal yang dilakukan Australia sama
saja dengan kegiatan memproduksi narkoba di lingkungan kedubes mereka. Keduanya
merupakan tindakan ilegal, tetapi karena adanya kekebalan diplomatik,
otoritas dan aparat penegak hukum Indonesia tidak mungkin melakukan penegakan
hukum.
Pemerintah Indonesia tentu bisa marah,
tersinggung, dan tidak bisa menerima praktik kotor penyadapan yang dilakukan
AS dan Australia.
Masalahnya yang dihadapi Indonesia saat ini berbeda dengan era Perang Dingin, penyadapan dilakukan negara sahabat.
Lunak
Apakah karena dilakukan negara sahabat,
pemerintah seolah lunak sebab tidak berani mengambil tindakan keras
pascaprotes keras yang dilakukan Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa
dan penjelasan normatif yang diberikan kedua kepala perwakilan?
Padahal, terlepas dari sahabat atau musuh,
pemerintah Indonesia seharusnya bisa bersikap tegas. Sikap tegas yang paling
mungkin dilakukan saat ini, seperti praktik diplomasi selama ini, ialah melakukan
pengusiran terhadap se jumlah diplomat AS dan Australia.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat
menginstruksikan kepada
Menlu agar melayangkan surat ke dua perwakilan
tersebut untuk memulangkan diplomat mereka dalam jangka waktu 1 x 24 jam.
Apakah pemerintah perlu khawatir akan reaksi pemerintah AS dan Australia?
Apakah kedua pemerintahan itu akan melakukan tindakan balasan pengusiran
diplomat Indonesia?
Kekhawatiran pemerintah sebenarnya tidak
perlu. Ada tiga alasan mengapa pemerintah tidak perlu khawatir. Pertama, AS
dan Australia tahu betul bahwa aparat intelijen me reka memang melakukan
penyadapan. Presiden Barack Obama dalam satu kesempatan mengatakan tindakan
penya dapan, kalaupun dilakukan, tanpa sepengetahuan dan perintah dari
dirinya.
Itu mengindikasikan secara internal di
pemerintahan AS kegiatan intelijen merupakan tanggung jawab aparat intelijen
dan sama sekali bukan presiden ataupun jajarannya. Di samping itu, tiadanya
tuntutan hukum dari pemerintah AS dan Australia terhadap der Spiegel maupun
Sydney Morning Herald merupakan bukti cukup bahwa penyadapan memang
dilakukan.
Pemberitaan praktik ilegal penyadapan oleh AS
dan Australia tidak mungkin didasarkan pada isapan jempol ataupun informasi
lisan. Mereka sudah dapat dipastikan memegang dokumen sah yang diberikan
Snowden. Bila tuntutan hukum dilakukan AS dan Australia, mereka pun akan
membeberkan dokumen pendukung. Tentu itu akan membuat lebih malu kedua
negara. Banyak negara pun akan tersakiti dan marah bila ternyata penyadapan
dilakukan di hampir semua negara secara masif untuk jangka waktu yang lama.
Kedua, tindakan keras oleh Indonesia justru
akan membuat Presiden Obama dan PM Tony Abbott akan berterima kasih kepada
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Itu mengingat kedua kepala pemerintahan
tersebut tahu betul bila kemarahan publik Indonesia bila tidak dikanalisasi,
mereka akan melakukan tindakan destruktif.
Contoh telah terlihat, yaitu sejumlah peretas
(hackers) asal Indonesia telah
membobol sejumlah situs Australia. Bahkan salah satu pemimpin DPR dan
sejumlah tokoh justru mendorong tindakan tidak patut yang dilakukan peretas.
Bukannya tidak mungkin ketidaktegasan
pemerintah akan diwujudkan juga oleh sebagian masyarakat Indonesia untuk
melakukan sweeping atas warga AS dan Australia. Belum lagi bila mereka
melakukan perusakan-perusakan atas berbagai hal yang berbau AS dan Australia.
Oleh karenanya, tindakan tegas pemerintah merupakan upaya membatasi agar
permasalahan penyadapan cukup diselesaikan di tingkat pemerintah dan tidak
perlu merembet ke tingkat masyarakat (people
to people relations).
Terakhir, pengusiran atas diplomat diharapkan
dapat menjadi tonggak untuk memulihkan kepercayaan Indonesia dalam
berhubungan dengan AS dan Australia. Bila tidak ada tindakan tegas, AS dan
Australia akan merasa setiap kebijakan negatif yang dilakukan pemerintah atas
mereka merupakan buntut dan wujud dari ketidakpercayaan Indonesia atas dua
sahabatnya. Kerja sama antarnegara pun tidak dapat dilakukan bila hubungan
dilandasi pada kecurigaan.
Menepis
Tindakan tegas melakukan persona non grata terhadap diplomat AS dan Australia untuk
kepentingan dalam negeri dapat berdampak pada tertepisnya kecurigaan-kecurigaan
publik atas sikap lunak pemerintah. Salah satu kecurigaan tersebut ialah
jangan-jangan Presiden Yudhoyono mendapatkan keuntungan pribadi dari hasil
sadapan AS atau Australia dalam Pemilu 2009. Atau jangan-jangan hasil sadapan
digunakan pemerintah untuk meredam kehebohan lawan politik, bahkan menghabisi
mereka.
Kecurigaan seperti itu tentu tidak berdasar.
Namun, bila dibiarkan berkembang karena absennya tindakan tegas oleh
pemerintah, di tingkat masyarakat akan dianggap sebagai suatu kebenaran.
Presiden Yudhoyono tidak memiliki banyak waktu untuk mengambil sikap keras
dan tegas atas nama pemerintah Indonesia.
Momentum saat ini, bila dilewatkan, akan
memperburuk masalah yang dihadapi, tidak hanya terkait dengan hubungan
Indonesia dengan AS dan Australia, tetapi juga legitimasi SBY selaku presiden
dan para penyelenggara negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar