Dalam perjalanan melalui Puncak, banyak jambu air merah
dipajang dan ditawarkan di pinggir jalan. Sepertinya lagi musim jambu air
merah. Tapi teman-teman berpesan agar hati-hati membeli jambu air merah.
Soalnya, sering terjadi warnanya sangat merah merona dan tampak manis,
ternyata rasanya hambar-hambar saja.
Di dekat para penjual jambu di sepanjang
jalan itu banyak berderet gambar perempuan cantik dan sederet lelaki
perlente. Para perempuan ini berdandan sungguh mengesankan. Wajahnya
menyejukkan dan mengayomi. Para lelaki juga sama. Kebanyakan mereka berpeci
khas Indonesia. Melihat gambar-gambar itu, saya baru sadar dalam beberapa
bulan lagi ada pesta, pemilu.
Nah, di saat-saat menjelang pemilu seperti
ini, ada musim lain selain musim jambu air merah di kawasan Puncak dan
daerah lain, yaitu musim nyaleg, menjadi calon anggota legislatif. Ini
siklus lima tahun sekali. Sama dengan jambu air merah yang baru pertama
saya lihat, para perempuan dan lelaki itu juga baru pertama saya lihat.
Belum pernah ada yang mampir di ingatan saya, meski saya berusaha
mengaduk-aduk kantong ingatan. Mereka belum dikenal luas.
Ketika terbetik niat untuk mencoba jambu air
merah itu, ingatan langsung berpulang ke pesan teman-teman. Mereka
wanti-wanti agar siapa pun berhati-hati memilih jambu air merah. Jangan
pernah tergoda dengan warna luar jambu yang merona merah.
Saat memperhatikan gambar para perempuan dan
lelaki perlente di pinggir jalan, saya teringat pesan tentang jambu merah
merona itu. Mereka tersenyum, kadang-kadang terkesan rada menggoda.
Pertanyaan pun muncul di benak. Adakah yang mengingatkan para pemilik suara
agar mereka berhati-hati memilih gambar yang penuh senyum itu? Adakah yang
mengingatkan bahwa warna jambu merah merona sering tidak berbanding lurus
dengan rasanya? Bagaimana dengan wajah-wajah tersenyum itu, yang manakah
yang nantinya berbanding lurus dengan penampilannya dan memberikan
perhatian dan kepedulian kepada pemilihnya?
Kalau Anda bertanya kepada para penjual
jambu, apakah jambu itu manis, tentu jawaban mereka sangat meyakinkan. Ini
tak berbeda dengan penjual calon tokoh yang dengan yakin menawarkan caleg
mereka. Jika ditanya apakah calegnya "manis", tentu penjual
menjawab sama seperti penjual jambu air merah.
Ada cara lain untuk bertanya. Misalnya,
bagaimana para caleg itu membedakan diri dari DPR yang sekarang? Apa yang
akan mereka lakukan secara berbeda dari anggota DPR sekarang? Bukan
pertanyaan tentang pola korupsinya, tapi lebih kepada orientasi dan
pemberdayaan terhadap kedaulatan rakyat, pemberdayaan ekonomi rakyat,
perlindungan dan perlakuan hukum yang adil dan, ini yang penting, bagaimana
mereka akan bersikap menghadapi godaan korupsi. Yakinlah, ini susah
dijawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar