Akhir pekan lalu, Jenderal (Purn) Pramono
Edhie Wibowo mengatakan pemerintah telah menyetujui usul gelar pahlawan
nasional untuk Letjen TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo. Gelar pahlawan
nasional kepada Sarwo Edhie itu akan disematkan pada 2014 oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. Sarwo Edhie adalah ayah kandung mantan Kepala
Staf TNI AD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo dan Ibu Negara Ani
Yudhoyono.
Pernyataan itu janggal. Pertama, bila
presiden sudah menyetujui pengangkatan seorang tokoh menjadi pahlawan
nasional, hal itu langsung dilaksanakan menjelang 10 November. Pada
2013 hanya diangkat tiga orang pahlawan nasional, tidak termasuk Sarwo
Edhie. Kedua, pada November 2014, Susilo Bambang Yudoyono tidak lagi
menjadi presiden karena sudah selesai dua periode.
Berita itu mendapat reaksi negatif di tengah
masyarakat. Soe Tjen Marching, seorang perempuan Indonesia yang tinggal di
London, misalnya, menggelar petisi di Internet yang sudah didukung oleh
5.000 tanda tangan. Dalam petisi yang bertajuk "Don't Make Sarwo Edhie
a Hero" tersebut, Marching menulis bahwa pemberian gelar pahlawan
kepada Sarwo Edhie hanya akan menambah tumpukan ketidakadilan terhadap
korban peristiwa 1965 dan keluarga mereka.
Pelaksana
lapangan
Sarwo Edhie adalah Komandan RPKAD (Resimen
Para Komando Angkatan Darat) yang ditugasi untuk melumpuhkan perlawanan
G30S di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Pasukan yang dipimpin Sarwo
Edhie memasuki Semarang pada 19 Oktober 1965, selanjutnya ke Magelang
dan Yogyakarta. Dalam rapat umum di Boyolali, Sarwo Edhie bertanya,
"Siapa mau dipotong kepalanya, saya bayar lima ribu." Tidak ada
jawaban, Sarwo menambah bayaran. "Siapa yang mau dipotong kepalanya,
saya bayar seratus ribu." Sang komandan kemudian berujar,
"Dibayar seratus ribu saja tidak ada yang mau dipotong kepalanya, dan
agar kepala saudara-saudara tidak dipotong dengan gratis, maka PKI harus
dilawan."
Karena pasukannya terbatas, Sarwo melatih
kemiliteran para pemuda dua atau tiga hari, selanjutnya "mereka kami
lepaskan untuk menumpas komunis sampai ke akar-akarnya". Sarwo tidak
ragu-ragu mengeluarkan perintah tembak kepada mereka yang melawan, termasuk
kepada penduduk yang memprotes penembakan seperti yang terjadi di Solo.
Pembunuhan massal yang terjadi setelah G30S
1965 itu memakan korban yang bervariasi, dari 78 ribu sampai 3 juta jiwa.
Jumlah 500 ribu jiwa dianggap sebagian pengamat sebagai hitungan yang
moderat walau sesungguhnya itu tercatat sebagai pembantaian yang
terbesar dalam sejarah Indonesia. Persoalannya, siapa yang bertanggung
jawab terhadap tragedi nasional tersebut? Sukarno jelas tidak karena dia
tidak memegang kekuasaan lagi dalam bidang keamanan sungguhpun secara
formalitas masih menjadi presiden. Kalau begitu apakah Soeharto atau Sarwo
Edhie?
Ini sebetulnya yang harus diungkap dalam
pengadilan HAM ad hoc mengenai kasus 1965. Laporan lengkap mengenai
pelanggaran HAM berat 1965 itu telah diserahkan oleh Komnas HAM kepada
Kejaksaan Agung. Tentu laporan ini menjadi pertimbangan untuk membentuk
pengadilan HAM ad hoc. Tapi, oleh Kejaksaan Agung, berkas itu dikembalikan
kepada Komnas HAM untuk dilengkapi. Ini sudah terjadi berulang kali. Kalau
pengadilan HAM ad hoc itu belum terlaksana tentu belum bisa diputuskan
apakah Soeharto atau Sarwo Edhie atau jenderal lainnya dinyatakan bersalah
atau tidak.
Gelar pahlawan nasional tidak bisa dicabut.
Begitu diberikan, gelar itu akan melekat selamanya. Oleh sebab itu,
penganugerahan harus mementingkan prinsip kehati-hatian. Sangat ironis bila
seseorang sudah diangkat pahlawan ternyata di kemudian hari diputuskan
pengadilan sebagai pelanggar HAM berat. Karena itu, selama kasus ini belum
tuntas di pengadilan HAM, pengusulan gelar pahlawan nasional untuk Sarwo
Edhie sebaiknya ditunda.
Yang agak aneh juga pencalonan Sarwo Edhie
lolos dari seleksi Kementerian Sosial. Padahal di sana terdapat tim 13 yang
terdiri atas banyak sejarawan. Apakah mereka tidak membaca laporan khusus
majalah Tempo pada 7 November 2011 tentang Sarwo Edhie. Di situ juga
diungkap berbagai hal tentang sang Jenderal yang kemudian juga dipinggirkan
oleh penguasa rezim Orde Baru. Ada aspek yang sampai hari ini setahu saya
belum pernah dibantah atau ditanggapi oleh pihak keluarga, yakni hubungan
asmara antara Sarwo Edhie dan janda pahlawan revolusi di Yogyakarta.
Walaupun masalah ini sangat manusiawi, karena bisa saja menimpa semua
orang, seyogianya seorang pahlawan nasional bebas dari "cacat"
semacam ini. Sebetulnya aspek ini dapat menjadi pertimbangan bagi tim
seleksi di Kementerian Sosial untuk tidak meloloskan Sarwo Edhie. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar