Opor Bebek
Sukardi Rinakit ; Pendiri Soegeng Sarjadi Syndicate dan Kaliaren Foundation
|
KOMPAS,
12 November 2013
SAYA ikut gembira
menyaksikan dari layar televisi pelantikan Alex Noerdin dan Ishak Mekki
menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Selatan, Kamis (7/11). Dalam
penelitian indeks pembangunan yang dilakukan Soegeng Sarjadi Syndicate tahun
lalu, ”Bumi Sriwijaya” itu menduduki posisi kedua di bawah Jawa Timur yang
bertengger di puncak. Gerak pembangunan itu idealnya memang dijaga oleh
nakhoda yang sama.
Kegembiraan yang sama juga
saya rasakan ketika menghadiri pesta pernikahan putri Sultan Hamengku Buwono
X. Ketika malam hari berbaur di pesta rakyat yang diselenggarakan warga
Yogyakarta, sahabat saya Widihasto Wasana Putra yang menjadi koordinator
acara mengatakan, ”Pesta rakyat ini
wujud nyata bahwa keraton tidak berpisah dengan rakyat. Kegembiraan keraton
juga kegembiraan rakyat, dan sebaliknya.” Dia benar. Penulis yang orang
Jawa Timur saja juga ikut bahagia saat itu.
Dua peristiwa tersebut
membenarkan bekerjanya teori modal sosial di ranah politik. Terlepas dari
kontroversi yang mungkin ada, seorang pemimpin yang bekerja dan kaya jaringan
sosial, apalagi menjadi pengayom seperti Sultan, tentu akan dicintai
rakyatnya. Apabila ada pihak-pihak yang dirasa mengganggu, seperti kasus
keistimewaan Yogyakarta dulu, pembelaan masyarakat akan mengalir deras tak
terbendung.
Demikian juga dengan
fenomena Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) saat ini. Pengamatan pada
media sosial ataupun kondisi lapangan menunjukkan, siapa pun yang mencoba
mengkritik Jokowi, apalagi secara tidak fair dan diduga mempunyai agenda politik
terselubung, dia pasti akan diserbu balik oleh kelompok masyarakat yang
menghormati dan mencatat langkah- langkah kebijakan yang dia ambil selama ini.
Dalam perspektif budaya
politik, fenomena itu menunjukkan bahwa kinerja dan performa seorang pemimpin
pada dasarnya merupakan transformasi dari sumber-sumber kekuasaan yang oleh
Ben Anderson (1990) disebut konkret. Dengan demikian, kinerja yang baik, misalnya,
boleh disebut sebagai padanan dari wahyu kekuasaan (pulung), keris, dan
tombak yang menjadi sumber dan legitimasi kekuasaan dalam bentuknya yang
lain.
Dengan istilah lain,
kinerja seorang pemimpin itu seperti ”opor bebek”. Ia tidak perlu ditambah
minyak karena bisa mengeluarkan minyak sendiri ketika direbus sehingga rasa
opor jadi enak (opor bebek mentas saka
awake dhewek). Inilah narasi dalam bentuk mitos yang disematkan
masyarakat kepada tokoh yang mereka proyeksikan dapat menjadi sandaran keluh
kesah rakyat. Pemimpin seperti itu, meminjam Slank, ”enggak ada matinya”. Ia
bukan seperti para politisi yang miskin virtue (kebajikan), yang berjanji soal
keadilan, tetapi di bawah panggung mereka bercumbu dengan setan.
Sehubungan dengan hal
tersebut, dalam konstruksi masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih
berpendidikan rendah, yang kultur dasarnya adalah oral, kekuatan narasi sulit
dipatahkan oleh strategi politik konvensional, apalagi sekadar memproduksi
wacana konfrontatif. Narasi itu, sesuai hasil survei dari beberapa lembaga
independen, suka atau tidak, kini mengurapi dan menyelimuti Jokowi.
Dalam situasi demikian,
seorang calon presiden yang populer dan memiliki akseptabilitas tinggi,
misalnya Prabowo Subianto, apabila langkah politiknya tidak terukur seperti
terlalu aktif, jika tidak boleh disebut agresif, secara hipotesis akan
berdampak terhadap perolehan suara Gerindra. Suara partai itu bisa tidak
sebesar yang mereka perkirakan.
Hal itu disebabkan pemilih
khawatir calon tersebut akan menjadi pesaing kuat dari tokoh yang mereka
dukung dan sudah menjadi bagian dari narasi publik, misalnya Jokowi.
Masyarakat akhirnya justru memutuskan tidak memilih partai yang mengusung
calon presiden yang manuvernya terlalu aktif itu. Secara alamiah, masyarakat
membangun mekanisme seleksi untuk melindungi ”jago” yang sudah mereka
elus-elus.
Sebaliknya, apabila partai
politik tempat tokoh yang diselimuti narasi itu tidak mencalonkannya, seluruh
jaringan pendukung secara sentimental akan melakukan eksodus. Mereka akan
lompat pagar, memberikan dukungan, dan bekerja untuk tokoh yang namanya
berada di urutan kedua dalam popularitas dan elektabilitas. Selain itu,
apatisme publik juga akan meningkat sehingga angka golput otomatis akan
tinggi.
Menguatnya preferensi politik
masyarakat pada kinerja dan pesona figur tersebut secara nyata telah
menggeser daya magis ideologi seperti yang berlaku di era Orde Lama dan
keterikatan pada partai politik di era Orde Baru. Ini menunjukkan praktik
politik di Tanah Air sudah menyatu dengan budaya pop.
Sisi negatif dari
perkembangan tersebut adalah pragmatisme politik, khususnya pencitraan dan
politik uang menebar seiring dengan desain pemilihan langsung. Positifnya,
peluang munculnya tokoh-tokoh yang berakar dari rakyat terbuka lebar.
Di luar itu semua, hal
yang perlu diwaspadai seiring dengan menguatnya preferensi politik pesona
figur adalah meningkatnya fanatisme pendukung. Apabila seorang tokoh kalah
dalam kontestasi politik dan mencurigai ada manipulasi suara, ia bisa
menggerakkan massa fanatiknya. Tentu, tokoh seperti itu secara politik mudah
mati. Ia tidak berkarakter “opor bebek”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar