Jumat, 22 November 2013

Degradasi Konstitusi


Degradasi Konstitusi
Mariyadi Faqih Doktor Ilmu Hukum di PPS Unibraw,
Penulis Buku tentang Quo Vadis Negara Hukum
SUARA KARYA,  21 November 2013



Di negeri ini, institusi strategis yang memang didaulat secara legal menjadi pengawal konstitusi adalah Mahkamah Konstisi (MK). Akan tetapi dalam ranah das sein, semua elemen bangsa ini adalah pengawal dan pengamal konstitusi. Jika mereka tidak mengimplementasikan atau membumikannya, maka kesejatian degradasi dan bahkan kematian konstitusi, adalah menjadi tanggungjawabnya.

Salah satu elemen fundamental bangsa yang bertanggungjawab terhadap terdegradasi tidaknya konstitusi adalah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Di tangan KPK, konstitusi bisa tegak menjulang, namun bisa sebaliknya, terjun bebas menuju kematian. Konstitusi secara formal memang masih hidup, tetapi dalam ranah sakral berbangsa, sudah kehilangan kekuatannya.

Belakangan ini, memang ada banyak penilaian dari anggota masyarakat bahwa KPK sudah menunjukkan kinerja empirik dalam penangulangan korupsi. Sebaliknya, tidak sedikit pula yang meragukan keberadaan KPK. Sangat wajar gugatan itu, pasalnya ada elemen publik yang tetap menyuarakan kritik kerasnya pada KPK, yang dinilainya masih kerap dihadapkan pada kesulitan menegakkan prinsip egalitarianisme yuridis atau kesamaan derajat di depan hukum seperti diajarkan konstitusi (UUD 1945). Saat KPK dihadapkan dengan kasus-kasus berat secara politik, KPK seperti kehilangan atau kekurangan energi. Pola kinerja KPK seperti siput yang berjalan lambat.

Sikap KPK itu dikonklusi oleh publik sebagai sikap yang mendistorsi dan cenderung mendegradasi prinsip egalitarianisme yuridis (konstitusi), yang prinsip ini sejatinya sebagai doktrin sakral yang wajib diberlakukannya secara universal dan inklusif. Sikap publik demikian itu tak bisa dianggap sebagai sikap praduga bersalah (presumption of guilt) pada KPK, tetapi merupakan wujud sikap kritis normal masyarakat yang membaca atmosfir jagat internal KPK yang terkadang terjebak pada interes eksklusif atau perselisihan paham saat dihadapkan pada kasus korupsi bercorak istimewa.

Sudah beberapa kali publik mengkritik keras pada KPK supaya setiap penjahat atau terduga korupsi tidak ada yang diperlakukan istimewa atau diberikan layanan kelas satu. Pengistimewaan pada tersangka tertentu atau siapapun yang terduga sebagai bagian dari korupsi, dapat menjadi ancaman serius terhadap terjadinya degradasi konstitusi.

Kalau seperti itu, tentu saja bukan hanya MK yang kehilangan kewibawaan, tetapi konstitusi pun tidak akan mendapatkan tempat di hati rakyat yang mencari keadilan. Bahkan lembaga-lembaga strategis yang menggunakan bendera hukum, akan terancam tereliminasi dari kredibilitas publik secara totalitas dan bahkan vulgaritas.

Perlakuan khusus atau kelas satu pada elite yang bermasalah hukum, kata Haidar Maksum dalam Jejaring Koruptor (2012) hanya akan memperluas atau memeratakan budaya penyalahgunaan amanat kekuasaan di berbagai lini strategis. Lini yudisial menjadi paling gampang digunakan tameng penyalahgunaan, pasalnya di lini ini, terdapat norma yuridis yang dengan gampang digunakan sebagai instrument proteksinya.

Permintaan itu sejalan dengan konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum, yang salah satu prinsipnya adalah penegakan asas persamaan derajat di depan hukum (equality before the law). Dalam prinsip ini, siapapun yang menjadi pelanggar norma yuridis, wajib mempertanggung jawabkan atau dipertanggungjawabkan secara hukum berbasis kesederajatan, non-diskriminasi atau egalitarianisme.

Selama ini, jagat yuridis kita menjadi sangat buram lebih disebabkan oleh ketidakberdayaan dalam menerapkan norma egalitarian. Elemen peradilan yang mengkhianati prinsip egalitarian telah membuat karut marutnya jagat hukum. Mereka itu telah membuat kesalahan besar karena memang sejatinya dirinya adalah pelaku utama yang memainkan peran sangat vital bagi terwujudnya idealisme penegakan hukum (law enforcement) dan keadilan.

Di tangannya, negara sudah mempercayakan bagaimana seharusnya idealisme yuridis benar-benar menjadi empiris, atau bagaimana keadilan untuk semua (juctice for all) atau berbasis demokratis memang secara empirik menjadi hak seseorang, atau masyarakat, yang seharusnya menerimanya tanpa dikecualikan atau diintervensi siapapun. Dalam ranah itu, hukum yang demokratis bermaknakan sebagai hukum yang bukan hanya sejiwa dengan kepentingan masyarakat, tetapi sebagai hukum yang oleh negara bisa dimediasi atau dilabuhkan sebagai norma yang mengejawentah yang mampu memberikan manfaat demi dan untuk rakyat. Saat rakyat dieliminasi, sementara oknum penguasa dan korporatis mendapatkan proteksi privilitas, maka disinilah deskripsi riil degradasi negara hukum.

Untuk bisa menjadi hukum yang demokratis atau bermanfaat tersebut, kuncinya kembali pada KPK. Elemen ini membuat norma hukum bisa bekerja seperti melindungi, memenuhi, dan memberdayakan, dan sebaliknya bisa menghadirkan dan menyuburkan distorsi egalitarianisme.

Ketidakadilan atau diskriminasi bisa dengan mudah diproduksi oleh elite penegak hukum (KPK), pasalnya mereka inilah yang dipercaya mengenakan baju hukum, menjadi generator peradilan, berperan sebagai eksekutor, atau distigma oleh regulasi untuk menjalankan mandat yuridis, sehingga ketika mandat ini "dibengkokkan", akibatnya ada banyak sektor yang dikorbankan, diantaranya pencari keadilan dan keuangan negara.

Dalam tubuh KPK juga berisi manusia-manusia biasa yang bisa saja tergelincir dalam pergulatan politik, sehingga melakukan pemihakan pada elite tertentu yang bermasalah atau kepentingan eksklusif kekuasaan. Jika demikian, KPK terjerumus, sehingga egalitarianisme terdistorsi, dan konstitusi terpuruk dalam ranah degradasi total.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar