Begitu memprihatinkan mendengar berita tentang
penyadapan yang dilakukan AS dan Australia terhadap sejumlah pemimpin
negara kita tercinta termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak
beberapa hari lalu. Berita ini mencuat pasca pria asal AS, Edward Snowden
membocorkan dugaan aksi penyadapan dua negara itu terhadap sejumlah negara
termasuk Indonesia.
Sejumlah pihak dan lembaga negara seperti MPR, DPR,
serta sejumlah politisi menyesalkan dan bersuara lantang menentang aksi
penyadapan oleh AS dan Australia yang menurut berita, aksi penyadapan itu
dilakukan melalui kedutaan masing-masing. Padahal, penyadapan adalah hal
yang sensitif karena menyangkut martabat bangsa. Selain itu, penyadapan
merupakan bentuk pelanggaran kedaulatan Indonesia dan bagian dari
penjajahan bidang teknologi informasi Indonesia.
Namun, suara lantang baru terdengar dari pemerintah cq
Presiden SBY dalam jumpa pers di Istana Negara, Rabu (20/11), khususnya
terhadap Australia, negara tetangga yang selama ini menjalin hubungan baik
dengan Indonesia. Ketegasan sikap Presiden SBY ini - meski terkesan
terlambat - sebagai respon atas pernyataan PM Australia Tony Abbott yang
tetap menolak untuk meminta maaf atas tindakan penyadapan yang dilakukan
pemerintahnya melalui kedubesnya di Jakarta. Setelah memanggil pulang Dubes
RI untuk Australia Nadjob Riphat, Presiden SBY mengambil langkah-langkah
tegas terkait hubungan RI-Australia menyusul berita penyadapan itu.
Sebelumnya pemerintah terkesan lembek dalam menyikapi
kasus penyadapan oleh Australia hingga jelas banyak menuai kritikan publik.
Karena, baGaimanapun persoalan ini merupakan satu bukti bahwa pemerintah
telah lengah dan tidak fokus dalam mengurus kepentingan negara dan keamanan
nasional. Apalagi, jika kita melihat banyak celah penyadapan yang bisa
dilakukan tidak hanya oleh dua negara AS dan Australia, tetapi juga
termasuk negara tetangga.
Kenapa demikian? Walaupun kegiatan spionase yang
dilakukan intelijen dua negara tersebut belum diakui secara tegas, akan
tetapi hal ini cukup menjadi peringatan keras bagi negara kita untuk lebih
meningkatkan keamanan nasional terutama di sektor sistem informasi.
Apalagi, sejumlah perusahaan yang bergerak dalam bidang telekomunikasi di
negeri ini hampir saham-sahamnya dikuasai oleh asing terutama negara
tetangga. Jika ini dibiarkan tentu akan mengganggu kedaulatan negara ini ke
depannya.
Sementara itu dalam Undang-undang Telekomunikasi, yakni
UU No 36 Pasal 40 Tahun 1999 menyatakan "bahwa setiap orang dilarang
melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan
telekomunikasi dalam bentuk apa pun. Bagi yang melanggar ketentuan tersebut
diancam pidana penjara maksimal 15 tahun penjara." Namun demikian,
pasal ini sangat sulit diterapkan jika kita berhadapan dengan persoalan
penyadapan yang dilakukan oleh pihak asing. Pemerintah tidak cukup hanya
dengan mengandalkan pasal tersebut.
Untuk itulah, pemerintah memang sudah seharusnya
menganggap persoalan penyadapan ini sebagai persoalan yang sangat serius.
Setidaknya saat ini pemerintah harus kembali mengevaluasi beberapa lembaga
pemerintah, seperti lembaga intelijen, Lembaga Sandi Negara, Kemenlu,
Kemenhan, dan Kemenkominfo. Beberapa lembaga tersebut harus bisa bersinergi
dalam menjaga sistem pertahanan informasi negara ini.
Tidak diragukan lagi, penyadapan merupakan satu kegiatan
yang sangat mengancam karena kegiatan tersebut mempunyai tujuan yang dapat
merugikan bangsa ini. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika segala rencana
dan dokumen rahasia negara yang menjadi acuan pengambilan kebijakan, baik
dalam persoalan ekonomi, politik pertahanan keamanan dan lain sebagainya
sudah diketahui negala lain melalui penyadapan ini. Negara penyadap tentu
akan mempersiapkan seribu langkah jitu dan menyusun strategi untuk
mengantisipasi segala kebijakan Pemerintah Indonesia. Tentu ini sangat
merugikan kepentingan pemerintah dan rakyat Indonesia.
Dengan demikian, memang sudah selayaknya jika pemerintah
mengambil langkah-langkah khusus, tidak hanya mendesak negara terkait yakni
AS dan Australia untuk mengakui dan meminta maaf, tetapi juga
mengantisipasi (mencegah) agar penyadapan macam ini tidak terjadi lagi di
masa-masa mendatang.
Untuk menghindarkan praktik penyadapan, pemerintah harus
segera mengambil langkah-langkah sebagai berikut.
Pertama, melakukan peningkatan teknologi keamanan
informasi. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan meningkatkan tekno-logi
yang up to date agar dapat menutup setiap lubang atau celah untuk melakukan
penyerangan, terutama dalam dunia siber.
Kedua, pemerintah harus berani mengambil kebijakan tegas
dan mengevaluasi kembali perusahaan telekomunikasi asing yang bergerak di
Indonesia yang rentan dengan kegiatan spionase. Beberapa perusahaan
telekomunikasi yang dikuasai asing, seperti Telkomsel (35 persen), XL
Axiata (66 persen), Indosat (65 persen), merupakan tiga operator seluler
besar yang menguasai pelanggan telekomunikasi di Indonesia. Apabila
digabungkan, perusahaan-perusahaan itu menguasai hampir 90 persen pangsa
pasar. Tentu ini celah yang lebar bagi kemungkinan adanya penyadapan. Jika
memang membahayakan, pemerintah harus tegas mengambil langkah
nasionalisiasi.
Ketiga, pemerintah harus tegas meninjau ulang penggunaan
fasilitas diplomatik oleh negara-negara sahabat. Jika memungkinkan,
pemerintah harus mengetatkan kontrol teknologi informasi di setiap kedutaan
negara-negara sahabat.
Beberapa langkah tersebut kiranya mutlak dan mendesak
dilakukan sebagai strategi untuk menangkal kegiatan spionase. Kita tentu
tidak ingin pihak asing dengan mudahnya "mengintai" informasi
penting di negara ini karena dapat mengobrak-abrik kedaulatan dan merendahkan
martabat bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar