Sabtu, 23 November 2013

Ketegasan Pemerintah Hadapi Penyadap

Ketegasan Pemerintah Hadapi Penyadap
Aprilia Kurnianti  ;   Mahasiswa Magister Teknologi Informasi UGM, Yogyakarta
SUARA KARYA,  21 November 2013



Begitu memprihatinkan mendengar berita tentang penyadapan yang dilakukan AS dan Australia terhadap sejumlah pemimpin negara kita tercinta termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak beberapa hari lalu. Berita ini mencuat pasca pria asal AS, Edward Snowden membocorkan dugaan aksi penyadapan dua negara itu terhadap sejumlah negara termasuk Indonesia.

Sejumlah pihak dan lembaga negara seperti MPR, DPR, serta sejumlah politisi menyesalkan dan bersuara lantang menentang aksi penyadapan oleh AS dan Australia yang menurut berita, aksi penyadapan itu dilakukan melalui kedutaan masing-masing. Padahal, penyadapan adalah hal yang sensitif karena menyangkut martabat bangsa. Selain itu, penyadapan merupakan bentuk pelanggaran kedaulatan Indonesia dan bagian dari penjajahan bidang teknologi informasi Indonesia.

Namun, suara lantang baru terdengar dari pemerintah cq Presiden SBY dalam jumpa pers di Istana Negara, Rabu (20/11), khususnya terhadap Australia, negara tetangga yang selama ini menjalin hubungan baik dengan Indonesia. Ketegasan sikap Presiden SBY ini - meski terkesan terlambat - sebagai respon atas pernyataan PM Australia Tony Abbott yang tetap menolak untuk meminta maaf atas tindakan penyadapan yang dilakukan pemerintahnya melalui kedubesnya di Jakarta. Setelah memanggil pulang Dubes RI untuk Australia Nadjob Riphat, Presiden SBY mengambil langkah-langkah tegas terkait hubungan RI-Australia menyusul berita penyadapan itu.

Sebelumnya pemerintah terkesan lembek dalam menyikapi kasus penyadapan oleh Australia hingga jelas banyak menuai kritikan publik. Karena, baGaimanapun persoalan ini merupakan satu bukti bahwa pemerintah telah lengah dan tidak fokus dalam mengurus kepentingan negara dan keamanan nasional. Apalagi, jika kita melihat banyak celah penyadapan yang bisa dilakukan tidak hanya oleh dua negara AS dan Australia, tetapi juga termasuk negara tetangga.

Kenapa demikian? Walaupun kegiatan spionase yang dilakukan intelijen dua negara tersebut belum diakui secara tegas, akan tetapi hal ini cukup menjadi peringatan keras bagi negara kita untuk lebih meningkatkan keamanan nasional terutama di sektor sistem informasi. Apalagi, sejumlah perusahaan yang bergerak dalam bidang telekomunikasi di negeri ini hampir saham-sahamnya dikuasai oleh asing terutama negara tetangga. Jika ini dibiarkan tentu akan mengganggu kedaulatan negara ini ke depannya.

Sementara itu dalam Undang-undang Telekomunikasi, yakni UU No 36 Pasal 40 Tahun 1999 menyatakan "bahwa setiap orang dilarang melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apa pun. Bagi yang melanggar ketentuan tersebut diancam pidana penjara maksimal 15 tahun penjara." Namun demikian, pasal ini sangat sulit diterapkan jika kita berhadapan dengan persoalan penyadapan yang dilakukan oleh pihak asing. Pemerintah tidak cukup hanya dengan mengandalkan pasal tersebut.

Untuk itulah, pemerintah memang sudah seharusnya menganggap persoalan penyadapan ini sebagai persoalan yang sangat serius. Setidaknya saat ini pemerintah harus kembali mengevaluasi beberapa lembaga pemerintah, seperti lembaga intelijen, Lembaga Sandi Negara, Kemenlu, Kemenhan, dan Kemenkominfo. Beberapa lembaga tersebut harus bisa bersinergi dalam menjaga sistem pertahanan informasi negara ini.

Tidak diragukan lagi, penyadapan merupakan satu kegiatan yang sangat mengancam karena kegiatan tersebut mempunyai tujuan yang dapat merugikan bangsa ini. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika segala rencana dan dokumen rahasia negara yang menjadi acuan pengambilan kebijakan, baik dalam persoalan ekonomi, politik pertahanan keamanan dan lain sebagainya sudah diketahui negala lain melalui penyadapan ini. Negara penyadap tentu akan mempersiapkan seribu langkah jitu dan menyusun strategi untuk mengantisipasi segala kebijakan Pemerintah Indonesia. Tentu ini sangat merugikan kepentingan pemerintah dan rakyat Indonesia.

Dengan demikian, memang sudah selayaknya jika pemerintah mengambil langkah-langkah khusus, tidak hanya mendesak negara terkait yakni AS dan Australia untuk mengakui dan meminta maaf, tetapi juga mengantisipasi (mencegah) agar penyadapan macam ini tidak terjadi lagi di masa-masa mendatang.

Untuk menghindarkan praktik penyadapan, pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah sebagai berikut.

Pertama, melakukan peningkatan teknologi keamanan informasi. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan meningkatkan tekno-logi yang up to date agar dapat menutup setiap lubang atau celah untuk melakukan penyerangan, terutama dalam dunia siber.

Kedua, pemerintah harus berani mengambil kebijakan tegas dan mengevaluasi kembali perusahaan telekomunikasi asing yang bergerak di Indonesia yang rentan dengan kegiatan spionase. Beberapa perusahaan telekomunikasi yang dikuasai asing, seperti Telkomsel (35 persen), XL Axiata (66 persen), Indosat (65 persen), merupakan tiga operator seluler besar yang menguasai pelanggan telekomunikasi di Indonesia. Apabila digabungkan, perusahaan-perusahaan itu menguasai hampir 90 persen pangsa pasar. Tentu ini celah yang lebar bagi kemungkinan adanya penyadapan. Jika memang membahayakan, pemerintah harus tegas mengambil langkah nasionalisiasi.

Ketiga, pemerintah harus tegas meninjau ulang penggunaan fasilitas diplomatik oleh negara-negara sahabat. Jika memungkinkan, pemerintah harus mengetatkan kontrol teknologi informasi di setiap kedutaan negara-negara sahabat.

Beberapa langkah tersebut kiranya mutlak dan mendesak dilakukan sebagai strategi untuk menangkal kegiatan spionase. Kita tentu tidak ingin pihak asing dengan mudahnya "mengintai" informasi penting di negara ini karena dapat mengobrak-abrik kedaulatan dan merendahkan martabat bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar