Ketergantungan Indonesia pada teknologi impor tampaknya
belum bisa disudahi meski tak mungkin lepas sepenuhnya. Namun, jika mampu
mengembangkan kemandirian niscaya akan memberi harapan lebih besar untuk
mencapai lompatan menuju bangsa dan negara bermartabat. Dan, untuk mencapai
ke arah itu, tentu saja Indonesia akan selalu memerlukan kemitraan
strategis dengan negara-negara maju.
Kemitraan strategis di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak saja dalam wujud penerapan teknologi impor di sektor
industri, melainkan juga perlu diupayakan melalui penguatan kolaborasi
riset yang setara dengan melibatkan lembaga litbang dan perguruan tinggi
dalam pengawasan ketat oleh pemerintah.
Pemerintah tak mungkin harus berdiam diri terhadap
eksploitasi lembaga litbang dan perguruan tinggi oleh pihak asing dalam
kemitraan riset. Kenyataan ini dapat dilihat dari kecenderungan klaim
kepemilikan atas hak kekayaam intelektual (HKI) oleh lembaga litbang dan
perguruan tinggi tidak mencerminkan sebagai hasil kemitraan riset dengan
pihak asing.
Sementara jumlah permohonan izin penelitian oleh peneliti
asing rata-rata mencapai 400 buah proposal dalam setahun. Faktanya, banyak
hasil penelitian yang dilakukan orang asing di Indonesia, meski melalui
kemitraan riset dengan lembaga litbang atau perguruan tinggi,
kepemilikannya diklaim secara sepihak oleh pihak asing. Situasi demikian
sudah berlangsung cukup lama, jauh sebelum peraturan tentang izin penelitian
bagi orang asing dibuat.
Kemitraan Seimbang
Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia memerlukan
kemitraan yang lebih erat dengan negara-negara industri maju di bidang
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, kemitraan itu
sendiri hendaknya tidak menggiring Indonesia pada posisi sekedar
pendampingan saja. Melainkan, harus mampu menangkap posisi sebagai mitra
utama yang terlibat langsung dalam kegiatan penelitian itu.
Suatu izin penelitian yang diberikan Kementerian Riset
dan Teknologi kepada perguruan tinggi asing, lembaga penelitian dan
pengembangan asing, badan usaha asing, serta orang asing, kadangkala tidak
membuahkan hasil penelitian yang dapat diklaim sebagai milik bersama.
Kondisi itu disebabkan oleh kekurangsiapan mitra penelitian dalam negeri,
terutama tidak ditopang kesepakatan awal yang kuat dalam perjanjian
risetnya.
Padahal, setiap kegiatan penelitian yang dilakukan orang
asing di Indonesia seyogianya dapat memberikan manfaat luas bagi
pengembangan iptek itu sendiri. Bukan hanya sebatas pada manfaat finansial
yang diperoleh dari biaya perizinan dan pengembangan. Karena itu, kegiatan
penelitian harus selalu dalam kerangka kemitraan yang seimbang.
Tak jarang, pendampingan kegiatan peneliti asing oleh
tenaga ahli Indonesia lebih tampak berperan sebagai pemandu dan penerjemah
bahasa. Sementara hal-hal yang bersifat substansial justru luput dari
perhatian peneliti mitra pendamping.
Tujuan utama dari pengaturan izin penelitian bagi orang
asing itu sendiri sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 2006 adalah untuk melindungi kepentingan Indonesia. Pertama, tidak
boleh terjadi eksploitasi dan pencurian atas sampel yang bersumber dari
kekayaan alam Indonesia, meliputi keanekaragaman hayati maupun non-hayati,
artefak dan lain sebagainya. Kedua, tercapainya transfer of knowledge dari
peneliti asing kepada peneliti Indonesia, bukan sebaliknya. Dan, ketiga,
mencegah terjadinya penguasaan secara sepihak atas hasil penelitian yang
dilakukan secara bersama-sama di Indonesia.
Perlu Diwaspadai
Dalam pergaulan internasional, keunggulan ekonomi
negara-negara maju, yang meliputi pula bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, oleh Majelis Umum PBB sebagaimana dituangkan dalam Resolusi 3281
(XXIX) tanggal 12 Desember 1974, mengenai Piagam Hak-hak dan Kewajiban
Ekonomi Negara-negara, diamanatkan untuk membantu mewujudkan hak
negara-negara dunia ketiga dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Walaupun tujuan yang sebenarnya belakangan disadari
sebagai bentuk lain dari upaya eksploitasi ekonomis atas negara-negara
dunia ketiga. Hal tersebut ti-dak dapat dielakkan namun perlu diwaspadai.
Adalah merupakan konsekuensi logis dalam hubungan internasional, dimana
dimensi ekonomi merupakan alasan utama terwujudnya kemitraan.
Secara prinsip seyogianya tidak satu pun kegiatan
penelitian yang dilakukan orang asing di Indonesia dapat dilaksanakan
sendiri tanpa melibatkan lembaga penelitian terkait di dalam negeri.
Bahkan, penting dikawal dengan suatu perjanjian riset yang kuat dalam
melindungi kepentingan Indonesia.
Sayangnya, di kalangan dunia penelitian masih terdapat
pemahaman konservatif bahwa kontribusi dana pihak asing menjadi main
determinants bagi kepemilikan hasil penelitian oleh pihak asing. Sudah
barang tentu pemahaman tersebut harus diubah. Sebab, kemitraan riset yang
seimbang adalah yang mampu memberikan peluang pemilikan hasil penelitian
berdasarkan kontribusi para pihak secara proporsional, baik in-cash maupun
in-kind.
Cara-cara yang digunakan oleh peneliti asing merupakan
bagian dari kegiatan mata-mata di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ini yang kemudian dikenal sebagai bagian dari techno-nationalism, sikap
makin tertutup negara-negara maju dalam mempublikasikan hasil-hasil
teknologinya demi mempertahankan supremasi ilmiah. Sementara melalui
berbagai cara persuasif justru melakukan pencurian ilmu pengetahuan dan
teknologi dari negara-negara berkembang. Sungguh sangat memilukan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar