SEPERTI
baru-baru ini ditulis Australian Broadcasting Corporation (ABC) dan harian
asal Inggris The Guardian, berdasarkan dokumen rahasia bocoran dari
whistleblower asal Amerika Serikat (AS), Edward Snowden, badan intelijen
elektronik Australia, Defence Signals Directorate, disebut telah menyadap
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Ani Yudhoyono, serta sejumlah
menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.
Tentu,
laporan itu membuat Indonesia marah. Bahkan, sebelum pemerintah Indonesia
menarik duta besar Indonesia untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema, tanpa
dikoordinasi, hacker negeri ini sudah menghujani dunia maya Australia
dengan berbagai serangan deface.
Aksi saling
serang seperti itu memang seolah sudah menjadi `hukum' di dunia maya yang
sangat sensitif itu. Terlebih ketika yang diserang terlebih dulu adalah
Indonesia, yang memang dikenal sebagai negara dengan sumber serangan siber
terbesar di dunia dan salah satu yang paling disegani dalam dunia
peretasan. Apa yang dilakukan hacker Indonesia itu pun sempat menjadi tajuk
utama di beberapa situs berita besar dunia. Adapun pengamat telematika,
Heru Sutiadi, menegaskan Indonesia patut mewaspadai terjadinya serangan
balik ke situs-situs Indonesia, khususnya situs-situs pemerintah dan
militer, yang pada akhirnya dapat bermuara pada terjadinya perang maya
(cyber war).
Itulah
paradigma baru tentang perang di masa depan, yakni perang maya, yang
meruntuhkan paradigma lama (klasik) tentang perang dan juga pertahanan,
serta membangun dan mengukuhkan aspek militer. Dengan begitu, tak
mengherankan jika mantan Menteri Pertahanan AS, Leon Panetta, jauh-jauh hari
L telah memperingatkan akan bahaya besar dari serangan `Pearl Harbor maya'.
Bahkan, Joseph S Nye, mantan asisten Menteri Pertahanan AS, dalam karyanya
yang berjudul The Future of Power, menyebut fenomena perang maya ini
sebagai salah satu pergeseran politik terpenting abad ini. Pasalnya,
negara-negara adikuasa seperti AS, Rusia, China, Inggris, Israel dan
lainnya memang memiliki kemampuan yang jauh lebih tinggi ketimbang negara
lain dalam konteks militer dan pertahanan, baik di darat, laut maupun
udara. Termasuk soal nuklir.
Namun, itu tak terjadi di dunia maya. Bahkan,
negara-negara adikuasa itu bisa mendapat ancaman serius dari hacker
nonnegara.
Era baru
Tren perang
maya telah berlangsung beberapa tahun terakhir ini. Salah satu kasus
terbaru, yakni yang dilakukan oleh Anonymous dalam aksi yang mereka sebut
dengan istilah #OpIsrael, pada April lalu, dengan mengusung prinsip no army
can stop an idea. April lalu dinobatkan oleh Anonymous sebagai waktu untuk
menghapus Israel dari dunia maya dan sebagai simbol perlawanan atas
ketidakadilan. Pasalnya, bagi mereka, Israel merupakan simbol arogansi
politik kekuasaan yang kemudian menciptakan ketidakadilan global.
Di persimpangan
zaman menuju era baru bernama era digital (digital age) seperti saat ini,
dunia maya memang menjadi ranah baru yang meliputi berbagai aspek dari
kehidupan manusia, baik yang bersifat positif-konstruktif (media publikasi,
komunikasi, dll) maupun juga aspek negatif-destruktif (kriminalitas atau
bahkan peperangan). Memang itulah dilema yang selalu seiring dengan
hadirnya era baru, yang dalam konteks filsafat ilmu merupakan konsekuensi
dari ketakbebasan nilai sebuah ilmu. Persis sebagaimana abad pertengahan
yang membangun sakralitas, tapi juga memicu mitologi. Juga sebagaimana
modernisme yang selain menghadirkan berbagai kemajuan, khususnya di bidang
sains dan teknologi, juga menghadirkan berbagai chaos, termasuk bencana
ekologis, ancaman perang nuklir, dan yang kini terbaru, yakni ancaman
perang mayantara.
Awalnya,
aspek negatif destruktif dari dunia maya itu berwujud sebuah tindak
kriminalitas. Salah satu yang paling populer yakni penjebolan kartu kredit
melalui jejaring online. Namun, sebagaimana aspek positif-konstruktifnya
yang terus berkembang, aspek negatif-destruktifnya pun juga tak kalah
berkembangnya. Kini, perangkat digital mulai tergiring pada terjadinya
perang mayantara yang bukan lagi berada pada skala kriminalitas
antarpersonal, melainkan peperangan dalam skala antarnegara. Termasuk kasus
penyadapan Australia atas Indonesia yang bisa berujung ke sana jika tak
segera diselesaikan secara politik di tingkat elite pemerintah.
Saat ini,
serangan berbasis maya menjadi sebuah ancaman yang serius. Pasalnya, ber
bagai sistem sebuah negara, dari keuangan, kesekretarisan hingga militer
dan pertahanan, sebagian besar telah didigitalisasi (berbasis digital).
Berbagai dokumen-dokumen penting dan rahasia dari sebuah negara tersimpan
dalam format digital. Artinya, walaupun versi cetaknya mungkin masih
disimpan dan ada, versi digitalnya bisa kapan pun dijebol dan dicuri oleh
peretas dengan kegiatan hackism (peretasan).
Uji kemampuan
Ancaman itu
menjadi kompleks karena kegiatan peretasan itu bukan hanya bisa dan biasa
dilakukan oleh peretas di sebuah negara, melainkan juga peretas nonnegara
dengan berbagai motif. Mereka melakukannya dari yang sekadar iseng-iseng
menguji kemampuan secara pribadi hingga upaya untuk meneror sebuah negara
atas landasan kebencian, ideologis, dan lainnya.
Apalagi,
pada kenyataannya, tak butuh perangkat dan biaya besar untuk melakukan itu
bagi setiap peretas. Pasalnya, dalam ranah digital, yang berpengaruh
bukanlah anggaran (biaya) yang tinggi ataupun perangkat yang kompleks,
melainkan kemampuan peretasan yang memadai. Yang dilakukan oleh hacker
Indonesia secara tiba-tiba dan tanpa koordinasi ataupun restu pemerintah
itu salah satunya.
Oleh karena
itu, terkait dengan kasus penyadapan Australia dan serangan hacker
Indonesia, secara politik, pemerintah kita harus secara serius dan cepat
menyelesaikan masalah ini di tingkat diplomasi tegas. Hal itu dilakukan
agar kasus yang sebenarnya berada di tingkat negara dan elite ini tak
sampai `turun' memprovokasi masyarakat umum (khususnya kalangan hacker)
sehingga memicu kerumitan yang bermuara pada perang maya antarperetas
tiap-tiap negara, atau bahkan dua negara (Australia dan Indonesia).
Dalam
konteks jangka panjang dan global, ada baiknya kasus itu menginspirasi
pemerintah kita untuk mendorong seluruh negara guna membangun komitmen
bersama agar tak hanya membangun sistem berbasis maya yang memajukan, tapi
juga sistem (khususnya hukum) yang menjamin terhindarnya dunia global dari
ancaman perang mayantara, selain itu, guna terajutnya perdamaian.
Pasalnya,
jika tidak, belum selesai ancaman perang militer dan nuklir mengintai, kita
akan dihadapkan pada ancaman perang baru yang bahkan akan lebih mengerikan,
yakni perang mayantara itu sendiri. Itu berarti bahwa perdamaian akan
semakin jauh dari dunia kita ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar