|
KOMPAS,
10 Juli 2013
Legitimasi suatu undang-undang
harus dilihat dari isi ataupun prosesnya. Selain isi dari undang-undang harus
mencerminkan keberagaman sudut pandang dan aspirasi masyarakat, proses
pembahasannya juga harus bersifat partisipatoris dan akomodatif. Inilah yang
sering dikesampingkan lembagalegislatif kita.
Banyak
undang-undang dipercepat pengesahannya sekadar mengejar target dan tenggat
legislasi, semata-mata karena sudah terbentuk konsensus antarfraksi di DPR dan
pemerintah, tanpa mengindahkan reaksi penolakan di luar gedung parlemen.
Demikianlah yang terjadi pada pengesahan UU Organisasi Kemasyarakatan (Ormas),
setelah sebelumnya juga terjadi pada pengesahan UU Intelijen, UU Pornografi, UU
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan lain-lain.
Beberapa wakil
rakyat dengan enteng merespons reaksi penolakan masyarakat dengan pernyataan
”silakan ajukan judicial review ke Mahkamah Agung!” Jika banyak UU
lahir hanya untuk di-judicialreview-kan, betapa mahal harga yang harus dibayar
negeri ini untuk sebuah kebijakan.
”Rasional
dalam tujuan, irasional dalam perumusan”. Inilah problem berikutnya dari fungsi
legislasi DPR kita. Banyak UU dengan tujuan positif, begitu masuk detail
perumusan ternyata dibelokkan untuk agenda- agenda antidemokrasi. UU ITE yang
awalnya mengantisipasi fenomena cybercrime, dibelokkan untuk membatasi
kebebasan berpendapat dan berekspresi di dunia maya. UU Intelijen yang semula
untuk memperkuat lembaga intelijen melindungi keselamatan negara, digunakan
untuk melembagakan pembatasan atas hak-hak warga negara dalam mengontrol
jalannya pemerintahan.
Hal yang sama
juga terjadi di dalam UU Ormas. Awalnya diharapkan dapat mengatasi
problem-problem kekerasan atas nama ormas tertentu, akhirnya justru digunakan
untuk melegitimasi kewenangan negara mengintervensi hampir semua aspek dari hak
warga negara untuk berserikat dan berkumpul. Suatu hal yang jelas
kontraproduktif bagi prinsip demokrasi, karena demokrasi justru bermaksud untuk
memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada warga negara untuk mengatur diri
secara swadaya dan swakelola.
Curiga berlebihan
Nuansa dominan
dalam UU Ormas adalah kecurigaan berlebihan DPR dan pemerintah terhadap
kemampuan warga negara mengatur dirinya dan dalam berinteraksi terhadap
sesamanya. Ormas, lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai bentuk perkumpulan
warga diatur sedemikian rupa, dengan ketentuan administratif yang ketat dan
sanksi yang memberatkan seakan-akan mereka adalah sumber masalah negeri ini.
Terjadi perubahan fokus UU Ormas, semula untuk menangani ormas-ormas yang
cenderung radikal, akhirnya lebih didesain untuk membatasi ruang-gerak
masyarakat sipil dalam menjalankan fungsi kritik dan advokasi sosial.
Ketika
mengatribusi negara dengan hak untuk mengatur semua bentuk interaksi dan
organisasi kewargaan melalui skema pengaturan yang ketat dan eksesif, UU Ormas
sebenarnya sedang mengintrodusir sosok negara paternalistik. Mengutip Franz
Magnis- Suseno (2003) negara paternalistik adalah negara yang menganggap
dirinya lebih tinggi daripada masyarakat, sehingga berhak mengatur hampir semua
hal dalam domain masyarakat. Negara paternalistik tidak selalu menampakkan diri
sebagai kekuasaan yang otoriter-represif terhadap warganya. Di negara
paternalistik, yang penting semua bidang kehidupan masyarakat di bawah
pengawasan pemerintah. Negara paternalistik hanya ingin memastikan bahwa
pemerintah memegang kontrol kehidupan sosial-politik, tanpa kekuatan alternatif
yang menandingi.
Selain
mencirikan sosok negara paternalistik, UU Ormas juga mencirikan sosok negara
penyelenggara. Bentuk negara yang beranggapan apa saja yang terjadi dalam
masyarakat harus diselenggarakan negara. Negara adalah pihak yang paling aktif
mengorganisasikan potensi-potensi masyarakat. Atas nama kepentingan nasional
dan ketertiban umum, negara merasa perlu mengatur hampir semua hal terkait
kebebasan warga untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Tanpa
terkecuali jemaah pengajian, arisan warga, klub penggemar satwa liar, dan
komunitas suporter tim sepak bola harus memiliki surat keterangan terdaftar
dari wali kota, bupati, gubernur, atau Departemen Dalam Negeri. Tanpa
persyaratan ini, jika aktivitas dianggap menyimpang, negara dapat saja
sekonyong-konyong membekukan.
Refeodalisasi
dan rebirokratisasi di dalam UU Ormas adalah sebuah kemunduran dalam
pelembagaan demokrasi di Indonesia. UU Ormas menegasikan prinsip fundamental
bahwa fungsi negara seharusnya bersifat subsider dalam pengaturan kehidupan
publik. Negara secara hakiki berfungsi semata-mata melengkapi hal-hal yang
kurang dalam kemampuan masyarakat dalam mengatur dirinya. Untuk hal-hal di mana
masyarakat dapat mengatur dirinya, negara tidak perlu campur tangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar