Minggu, 21 Juli 2013

UU Ormas : Refeodalisasi Relasi Negara-Masyarakat

UU Ormas : Refeodalisasi Relasi Negara-Masyarakat
Agus Sudibyo  ;   Direktur Indonesia Research Centre Jakarta
KOMPAS, 10 Juli 2013


Legitimasi suatu undang-undang harus dilihat dari isi ataupun prosesnya. Selain isi dari undang-undang harus mencerminkan keberagaman sudut pandang dan aspirasi masyarakat, proses pembahasannya juga harus bersifat partisipatoris dan akomodatif. Inilah yang sering dikesampingkan lembagalegislatif kita. 
Banyak undang-undang dipercepat pengesahannya sekadar mengejar target dan tenggat legislasi, semata-mata karena sudah terbentuk konsensus antarfraksi di DPR dan pemerintah, tanpa mengindahkan reaksi penolakan di luar gedung parlemen. Demikianlah yang terjadi pada pengesahan UU Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), setelah sebelumnya juga terjadi pada pengesahan UU Intelijen, UU Pornografi, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan lain-lain.
Beberapa wakil rakyat dengan enteng merespons reaksi penolakan masyarakat dengan pernyataan ”silakan ajukan judicial review ke Mahkamah Agung!” Jika banyak UU lahir hanya untuk di-judicialreview-kan, betapa mahal harga yang harus dibayar negeri ini untuk sebuah kebijakan.
”Rasional dalam tujuan, irasional dalam perumusan”. Inilah problem berikutnya dari fungsi legislasi DPR kita. Banyak UU dengan tujuan positif, begitu masuk detail perumusan ternyata dibelokkan untuk agenda- agenda antidemokrasi. UU ITE yang awalnya mengantisipasi fenomena cybercrime, dibelokkan untuk membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi di dunia maya. UU Intelijen yang semula untuk memperkuat lembaga intelijen melindungi keselamatan negara, digunakan untuk melembagakan pembatasan atas hak-hak warga negara dalam mengontrol jalannya pemerintahan.
Hal yang sama juga terjadi di dalam UU Ormas. Awalnya diharapkan dapat mengatasi problem-problem kekerasan atas nama ormas tertentu, akhirnya justru digunakan untuk melegitimasi kewenangan negara mengintervensi hampir semua aspek dari hak warga negara untuk berserikat dan berkumpul. Suatu hal yang jelas kontraproduktif bagi prinsip demokrasi, karena demokrasi justru bermaksud untuk memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada warga negara untuk mengatur diri secara swadaya dan swakelola.
Curiga berlebihan
Nuansa dominan dalam UU Ormas adalah kecurigaan berlebihan DPR dan pemerintah terhadap kemampuan warga negara mengatur dirinya dan dalam berinteraksi terhadap sesamanya. Ormas, lembaga swadaya masyarakat, dan berbagai bentuk perkumpulan warga diatur sedemikian rupa, dengan ketentuan administratif yang ketat dan sanksi yang memberatkan seakan-akan mereka adalah sumber masalah negeri ini. Terjadi perubahan fokus UU Ormas, semula untuk menangani ormas-ormas yang cenderung radikal, akhirnya lebih didesain untuk membatasi ruang-gerak masyarakat sipil dalam menjalankan fungsi kritik dan advokasi sosial.
Ketika mengatribusi negara dengan hak untuk mengatur semua bentuk interaksi dan organisasi kewargaan melalui skema pengaturan yang ketat dan eksesif, UU Ormas sebenarnya sedang mengintrodusir sosok negara paternalistik. Mengutip Franz Magnis- Suseno (2003) negara paternalistik adalah negara yang menganggap dirinya lebih tinggi daripada masyarakat, sehingga berhak mengatur hampir semua hal dalam domain masyarakat. Negara paternalistik tidak selalu menampakkan diri sebagai kekuasaan yang otoriter-represif terhadap warganya. Di negara paternalistik, yang penting semua bidang kehidupan masyarakat di bawah pengawasan pemerintah. Negara paternalistik hanya ingin memastikan bahwa pemerintah memegang kontrol kehidupan sosial-politik, tanpa kekuatan alternatif yang menandingi.
Selain mencirikan sosok negara paternalistik, UU Ormas juga mencirikan sosok negara penyelenggara. Bentuk negara yang beranggapan apa saja yang terjadi dalam masyarakat harus diselenggarakan negara. Negara adalah pihak yang paling aktif mengorganisasikan potensi-potensi masyarakat. Atas nama kepentingan nasional dan ketertiban umum, negara merasa perlu mengatur hampir semua hal terkait kebebasan warga untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Tanpa terkecuali jemaah pengajian, arisan warga, klub penggemar satwa liar, dan komunitas suporter tim sepak bola harus memiliki surat keterangan terdaftar dari wali kota, bupati, gubernur, atau Departemen Dalam Negeri. Tanpa persyaratan ini, jika aktivitas dianggap menyimpang, negara dapat saja sekonyong-konyong membekukan.
Refeodalisasi dan rebirokratisasi di dalam UU Ormas adalah sebuah kemunduran dalam pelembagaan demokrasi di Indonesia. UU Ormas menegasikan prinsip fundamental bahwa fungsi negara seharusnya bersifat subsider dalam pengaturan kehidupan publik. Negara secara hakiki berfungsi semata-mata melengkapi hal-hal yang kurang dalam kemampuan masyarakat dalam mengatur dirinya. Untuk hal-hal di mana masyarakat dapat mengatur dirinya, negara tidak perlu campur tangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar