|
OKEZONENEWS,
02 Juli 2013
Ada sebuah kisah seorang tukang bubur yang mempunyai niat
untuk naik haji. Dari segi logika penghasilan sepertinya mustahil keinginan
sang tukang bubur itu untuk bisa pergi ke Kota Makkah dan Madinah namun karena
niat dan doa kepada Allah yang selalu didaraskan akhirnya ia bisa menunaikan
rukun Islam yang kelima itu.
Sang tukang bubur bisa membiayai perjalanan sucinya karena berkah keuntungan yang diperoleh dari penjualan bubur setiap hari ditabung dan selanjutnya disetorkan ke biro perjalanan haji.
Nasib tukang bubur itu sepertinya tidak bisa dialami teman-temanya yang juga menjadi tukang bubur. Bukan karena kurang berdoa kepada Allah dan keuntungannya tidak ditabung namun adanya pemangkasan kuota haji dari pemerintah Arab Saudi sebesar 20%. Pemangkasan dilakukan karena ada pembangunan di dekat Masjid Al Haram. Pemerintah Arab merasa pembangunan itu akan memakan ruang dan kenyamanan para jamaah selama menunaikan haji sehingga untuk mecegah hal-hal yang tidak diinginkan maka jamaah haji untuk tahun ini dibatasi. Pangkas kuota 20% itu diberlakukan kepada seluruh negara yang mengirimkan jamaah haji.
Menurut data calon jamaah haji Indonesia pada tahun ini ada 211.000 orang. Calon jamaah itu terdiri dari 194.000 orang jamaah haji reguler dan 17.000 jamaah haji khusus. Setelah dipangkas 20% akhirnya menjadi 168.800 orang yang terdiri dari 155.200 jamaah haji reguler dan 13.600 jamaah haji khusus. Berarti ada 42.200 batal berangkat ke tanah suci.
Pemangkasan kuota 20% menurut pemerintah Arab Saudi sudah harga mati dan tidak bisa diubah. Keputusan yang demikian, disebut telah menyebabkan kerugian kepada pihak penyelenggara haji. Dan yang pasti yang paling ‘menderita’ adalah para calon jamaah yang sudah siap-siap berangkat apalagi mereka yang sudah menunggu bertahun-tahun.
Di antara para calon jamaah haji Indonesia, banyak diantara mereka adalah kalangan kelas menengah ke bawah. Mereka ada yang mempunyai pekerjaan tukang bubur, tukang buah, tukang sapu jalanan, membuka warung makan kecil-kecilan. Niat dan keimanan merekalah yang mendorong untuk bisa naik haji. Cara yang dilakukan mereka adalah keuntungan yang diperoleh atau sisa kebutuhan sehari-hari ditabung. Mereka mempunyai prinsip sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Uang tabungan itulah yang digunakan untuk membayar jumlah yang ditentukan oleh biro perjalanan haji. Selama menabung itulah mereka menahan diri dari keinginan untuk hidup mewah, makan enak, dan kegiatan rekreatif lainnya. Mereka rela hidup sederhana agar cita-cita naik hajinya bisa terkabul.
Naik haji dari orang miskin tentu berbeda dengan naik hajinya orang kaya atau koruptor. Orang-orang kaya dan koruptor tentu tidak perlu menabung. Kekayaan yang ada bisa tinggal disetor ke biro perjalanan haji menjelang batas hari yang ditentukan. Bahkan orang kaya atau koruptor itu bisa ‘membeli’ nomor keberangkatan. Mudahnya orang kaya atau koruptor menyetor uang perjalanan haji itulah yang membuat ada orang yang pergi naik haji lebih dari 3 kali.
Untuk menyiasati pemangkasan kuota haji 20%, Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah Kementerian Agama, Anggito Abimanyu, mengatakan akan memprioritaskan calon jamaah haji yang baru pertama pergi, muda, dan sehat. Sedang jemaah berusia 75 tahun atau lebih, memakai kursi roda, dan nomor urut akhir, harap bersabar. Harap bersabar bisa jadi mempunyai arti keberangkatannya ditunda dulu.
Siasat yang dilakukan Anggito itu sepertinya siasat yang terlambat. Penumpukkan pemberangkatan jamaah haji tidak akan terjadi bila siasat itu dilakukan sejak dahulu kala. Adanya penumpukkan pemberangkatan jamaah haji karena ada orang yang berulang kali naik haji. Kehadiran orang itu tentu akan menggeser calon-calon jamaah haji yang baru pertama.
Adanya keberangkatan berulangkali beberapa jamaah haji bisa terjadi karena tidak adanya transparansi dalam pendaftaran calon jamaah haji. Sehingga seseorang dengan melakukan berbagai cara bisa masuk dalam daftar pemberangkatan tanpa harus menunggu bertahun-tahun. Tentu seseorang yang bisa melakukan naik haji berulang kali tanpa harus menunggu bertahun-tahun itu adalah orang kaya, mempunyai kedekatan dengan pihak-pihak penyelenggara haji, serta pejabat negara dan pemerintah. Seorang tukang bubur, tukang buah, guru di tempat terpencil, tentu harus menunggu bertahun-tahun dulu untuk bisa masuk daftar pemberangkatan. Tukang bubur, tukang buah, guru di daerah terpencil pasti tidak mempunyai akses ke Kementerian Agama dan biro perjalanan haji.
Kemudian apa yang dikatakan oleh Anggito bahwa yang muda yang diprioritaskan untuk berangkat itu juga sebuah kesalahan besar dan sebuah bentuk mencegah orang yang sudah lama mendaftar untuk naik haji. Mereka yang menunggu bertahun-tahun bahkan ada yang 13 tahun tentu dalam masa penungguan umur mereka bertambah. Semakin tua umur tentu fisik mereka juga mengalami penurunan, seperti harus memakai kursi roda. Mereka untuk bisa naik haji tentu perlu menabung yang tidak cukup setahun dua tahun. Dalam masa-masa menabung pastinya umur akan bertambah tua. Bila mereka sudah mempunyai niat naik haji dan menua karena harus menunggu daftar berangkat kemudian tidak diproritaskan berangkat tentu ini sebuah kejahatan.
Untuk itu perlunya siasat yang lebih adil, yakni memprioritaskan orang yang sudah lama mendaftar dan mencegah orang yang sudah berulang kali naik haji untuk berangkat lagi. Untuk itu perlu transparansi daftar calon jamaah haji. Meski Anggito akan melawan siapa saja yang akan memberi gratifikasi soal daftar calon jemaah haji namun itu jangan hanya menjadi macan di atas kertas media. Sepertinya semua orang di Kementerian Agama dari dulu mengatakan apa yang disampaikan Anggito namun kenyataannya, ‘praktek curang’ pemberngkatan jemaah haji selalu terulang. Pembatasan kuota haji 20% itu bisa jadi teguran dari Allah agar kita adil dalam menangani pemberangkatan calon jamaah haji. ●
Sang tukang bubur bisa membiayai perjalanan sucinya karena berkah keuntungan yang diperoleh dari penjualan bubur setiap hari ditabung dan selanjutnya disetorkan ke biro perjalanan haji.
Nasib tukang bubur itu sepertinya tidak bisa dialami teman-temanya yang juga menjadi tukang bubur. Bukan karena kurang berdoa kepada Allah dan keuntungannya tidak ditabung namun adanya pemangkasan kuota haji dari pemerintah Arab Saudi sebesar 20%. Pemangkasan dilakukan karena ada pembangunan di dekat Masjid Al Haram. Pemerintah Arab merasa pembangunan itu akan memakan ruang dan kenyamanan para jamaah selama menunaikan haji sehingga untuk mecegah hal-hal yang tidak diinginkan maka jamaah haji untuk tahun ini dibatasi. Pangkas kuota 20% itu diberlakukan kepada seluruh negara yang mengirimkan jamaah haji.
Menurut data calon jamaah haji Indonesia pada tahun ini ada 211.000 orang. Calon jamaah itu terdiri dari 194.000 orang jamaah haji reguler dan 17.000 jamaah haji khusus. Setelah dipangkas 20% akhirnya menjadi 168.800 orang yang terdiri dari 155.200 jamaah haji reguler dan 13.600 jamaah haji khusus. Berarti ada 42.200 batal berangkat ke tanah suci.
Pemangkasan kuota 20% menurut pemerintah Arab Saudi sudah harga mati dan tidak bisa diubah. Keputusan yang demikian, disebut telah menyebabkan kerugian kepada pihak penyelenggara haji. Dan yang pasti yang paling ‘menderita’ adalah para calon jamaah yang sudah siap-siap berangkat apalagi mereka yang sudah menunggu bertahun-tahun.
Di antara para calon jamaah haji Indonesia, banyak diantara mereka adalah kalangan kelas menengah ke bawah. Mereka ada yang mempunyai pekerjaan tukang bubur, tukang buah, tukang sapu jalanan, membuka warung makan kecil-kecilan. Niat dan keimanan merekalah yang mendorong untuk bisa naik haji. Cara yang dilakukan mereka adalah keuntungan yang diperoleh atau sisa kebutuhan sehari-hari ditabung. Mereka mempunyai prinsip sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Uang tabungan itulah yang digunakan untuk membayar jumlah yang ditentukan oleh biro perjalanan haji. Selama menabung itulah mereka menahan diri dari keinginan untuk hidup mewah, makan enak, dan kegiatan rekreatif lainnya. Mereka rela hidup sederhana agar cita-cita naik hajinya bisa terkabul.
Naik haji dari orang miskin tentu berbeda dengan naik hajinya orang kaya atau koruptor. Orang-orang kaya dan koruptor tentu tidak perlu menabung. Kekayaan yang ada bisa tinggal disetor ke biro perjalanan haji menjelang batas hari yang ditentukan. Bahkan orang kaya atau koruptor itu bisa ‘membeli’ nomor keberangkatan. Mudahnya orang kaya atau koruptor menyetor uang perjalanan haji itulah yang membuat ada orang yang pergi naik haji lebih dari 3 kali.
Untuk menyiasati pemangkasan kuota haji 20%, Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah Kementerian Agama, Anggito Abimanyu, mengatakan akan memprioritaskan calon jamaah haji yang baru pertama pergi, muda, dan sehat. Sedang jemaah berusia 75 tahun atau lebih, memakai kursi roda, dan nomor urut akhir, harap bersabar. Harap bersabar bisa jadi mempunyai arti keberangkatannya ditunda dulu.
Siasat yang dilakukan Anggito itu sepertinya siasat yang terlambat. Penumpukkan pemberangkatan jamaah haji tidak akan terjadi bila siasat itu dilakukan sejak dahulu kala. Adanya penumpukkan pemberangkatan jamaah haji karena ada orang yang berulang kali naik haji. Kehadiran orang itu tentu akan menggeser calon-calon jamaah haji yang baru pertama.
Adanya keberangkatan berulangkali beberapa jamaah haji bisa terjadi karena tidak adanya transparansi dalam pendaftaran calon jamaah haji. Sehingga seseorang dengan melakukan berbagai cara bisa masuk dalam daftar pemberangkatan tanpa harus menunggu bertahun-tahun. Tentu seseorang yang bisa melakukan naik haji berulang kali tanpa harus menunggu bertahun-tahun itu adalah orang kaya, mempunyai kedekatan dengan pihak-pihak penyelenggara haji, serta pejabat negara dan pemerintah. Seorang tukang bubur, tukang buah, guru di tempat terpencil, tentu harus menunggu bertahun-tahun dulu untuk bisa masuk daftar pemberangkatan. Tukang bubur, tukang buah, guru di daerah terpencil pasti tidak mempunyai akses ke Kementerian Agama dan biro perjalanan haji.
Kemudian apa yang dikatakan oleh Anggito bahwa yang muda yang diprioritaskan untuk berangkat itu juga sebuah kesalahan besar dan sebuah bentuk mencegah orang yang sudah lama mendaftar untuk naik haji. Mereka yang menunggu bertahun-tahun bahkan ada yang 13 tahun tentu dalam masa penungguan umur mereka bertambah. Semakin tua umur tentu fisik mereka juga mengalami penurunan, seperti harus memakai kursi roda. Mereka untuk bisa naik haji tentu perlu menabung yang tidak cukup setahun dua tahun. Dalam masa-masa menabung pastinya umur akan bertambah tua. Bila mereka sudah mempunyai niat naik haji dan menua karena harus menunggu daftar berangkat kemudian tidak diproritaskan berangkat tentu ini sebuah kejahatan.
Untuk itu perlunya siasat yang lebih adil, yakni memprioritaskan orang yang sudah lama mendaftar dan mencegah orang yang sudah berulang kali naik haji untuk berangkat lagi. Untuk itu perlu transparansi daftar calon jamaah haji. Meski Anggito akan melawan siapa saja yang akan memberi gratifikasi soal daftar calon jemaah haji namun itu jangan hanya menjadi macan di atas kertas media. Sepertinya semua orang di Kementerian Agama dari dulu mengatakan apa yang disampaikan Anggito namun kenyataannya, ‘praktek curang’ pemberngkatan jemaah haji selalu terulang. Pembatasan kuota haji 20% itu bisa jadi teguran dari Allah agar kita adil dalam menangani pemberangkatan calon jamaah haji. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar