|
MEDIA
INDONESIA, 02 Juli 2013
KEBERADAAN Polri sudah ada sejak
negara ini diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Namun, kemunculan mereka
sebagai suatu organisasi yang utuh secara nasional dan berada di bawah perdana
menteri waktu itu terjadi pada 1 Juli 1946. Itu sebabnya setiap awal Juli
ditetapkan menjadi Hari Bhayangkara sebagai hari ulang tahun Polri.
Layaknya setiap ulang tahun, hari itu senantiasa dipakai
untuk introspeksi diri, mengingat masa-masa yang telah dilalui, dan bagaimana
menghadapi persoalan saat ini dan akan datang. Polri pun menjadi sosok yang
tidak lepas dari hal tersebut. Penulis lebih fokus menyoroti masa kekinian,
yaitu setelah Polri berpisah dengan TNI, dan hal itu merupakan salah satu
tuntutan reformasi yang dikuatkan dengan munculnya Tap MPR RI No VI/ MPR/2000
dan Tap MPR RI No VII/MPR/2000.
Dalam Tap MPR RI No VI/ MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan
Polri antara lain dinyatakan, 1) TNI dan Polri secara kelembagaan terpisah
sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing, 2) TNI adalah alat negara yang
berperan dalam pertahanan negara, 3) Polri adalah alat negara yang berperan
dalam memelihara keamanan, 4) Dalam hal terdapat keterkaitan kegiatan
pertahanan dan kegiatan keamanan, TNI dan Polri harus bekerja sama dan saling
membantu, 5) Hal yang menyangkut TNI dan Polri secara lengkap dan terperinci diatur lebih
lanjut dengan undang-undang secara terpisah.
Dalam Tap MPR RI No VII/MPR/2000 tentang TNI dan Polri,
substansinya adalah, 1) Polri merupakan alat negara yang berperan dalam
memelihara kamtibmas dan menegakkan hukum, 2) Memberikan pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat, 3) Dalam menjalankan perannya, Polri wajib
memiliki keahlian dan keterampilan secara profesional, 4) Polri dipimpin oleh
Kapolri yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR,
5) Anggota Polri tunduk pada kekuasaan peradilan umum, 6) Lembaga kepolisian
merupakan lembaga nasional, 7) Polri bersikap netral dalam kehidupan politik
dan tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis, 8) Anggota Polri
tidak menggunakan hak memilih dan dipilih, 9) Keikutsertaan dalam menentukan
arah kebijakan nasional disalurkan melalui MPR paling lama sampai dengan tahun
2009.
Amanat MPR sesuai Tap MPR No VI dan No VII/MPR/2000 telah
dikuatkan dengan keluarnya UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI dan
UU No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Landasan hukum yang ada
penulis anggap sampai saat ini masih relevan dan memadai untuk melaksanakan
tugas Polri, tinggal bagaimana implementasinya.
Belum menggembirakan
Setelah 11 tahun UU No 2/2002
bergulir atau setelah kurang lebih 15 tahun era reformasi, dari berbagai
survei
masih tergambar bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Polri masih
menunjukkan belum menggembirakan. Diakui, banyak hasil positif telah
dilaksanakan da lam penanggulangan masalah kamtibmas ataupun dalam penegakan
hukum seperti dalam penanggulangan masalah terorisme, penyalahgunaan narkoba,
pengamanan pemilu/pemilu kada, dan penanggulangan bencana alam. Namun, masih
ada juga penilaian yang belum memuaskan terhadap kinerja Polri dalam menangani
FKK (faktor korelatif kriminogen), PH (police hazard), dan AF (ancaman
faktual).
FKK merupakan faktor-faktor yang sangat erat kaitannya
dengan terjadinya kriminalitas atau pelanggaran hukum lainnya. Itu merupakan
tugas yang sangat berkaitan erat dengan pelaksanaan tugas dari instansi atau
institusi di luar Polri. Contoh aktual, kebijakan penaikan harga BBM. Walau
soal penaikan itu bukan wewenang Polri, dampak yang ditimbulkan di masyarakat
begitu kompleks dan berpotensi menimbulkan persoalan serius.
Untuk menanggulangi masalah-masalah FKK, di Polri dikenal
pelaksanaan tugas preemptive. Salah
satu kebijakan yang diambil ialah program partnership
building. Itu dimaksudkan untuk secara interdepartemental bersama-sama
menyusun kebijakan dan menyelenggarakan serta mengawasi pelaksanaannya;
memahami akar permasalahan di lapangan dan mencari jalan keluar pemecahannya.
Program sebelumnya yang termuat dalam rencana dan strategi
(renstra) Polri yang sudah dicanangkan, yaitu program trust building, belum secara signifikan berhasil sesuai dengan yang
diharapkan (malah ada yang menilai makin berkembang ke arah kekurangpercayaan
kepada Polri).
Faktor lain ialah penanganan PH, yaitu tempat-tempat yang
apabila tidak diawasi dengan baik berpotensi menjadi tempat terjadinya gangguan
kamtibmas dan pelanggaran hukum. Pelaksanaan tugas polri mengarah ke pencegahan
terjadinya kriminalitas atau pelanggaran ketentuan merupakan tugas preventif
Polri.
Berikutnya ialah menanggulangi masalah AF, yaitu berbagai
bentuk dan macam gangguan kamtibmas dan pelanggaran hukum yang sehari-hari kita
lihat. Itu dari yang berkadar ancaman rendah sampai yang berkadar ancaman
tinggi.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki dampak positif dan negatif.
Hal itu memengaruhi munculnya modus-modus baru di bidang kejahatan. Ada yang
mengatakan bahwa kejahatan adalah bayangan budaya masyarakat. Menanggulangi
kejahatan dan gangguan pelanggaran hukum lainnya dikenal dengan pelaksanaan
tugas represif kepolisian.
Meminimalkan
ekses
Di samping tugas yang diarahkan ke eksternal Polri, banyak
juga tugas yang dapat memengaruhi kinerja internal Polri. Masih sering
terdengar keluhan masyarakat karena ketidakprofesionalan Polri dalam penanganan
kasus/ masalah, arogansi oknum anggota, ataupun yang berkembang di lingkungan
internal organisasi Polri yang terkait dengan masalah rekrutmen, pendidikan,
penempatan, penugasan anggota, pembinaan dan jenjang karier sampai ke
pengakhiran tugas. Ekses masih cukup banyak dan sering terdengar.
Itulah sedikit gambaran yang dapat mewarnai penilaian
masyarakat atau stakeholder lainnya terhadap Polri di HUT ke-67 Bhayangkara.
Pemerintah dengan DPR rasanya sudah cukup responsif mendukung anggaran untuk
pelaksanaan tugas Polri yang selalu meningkat setiap tahunnya. Karena itu,
bukan hal yang berlebihan bila masyarakat menginginkan Polri yang profesional,
modern, dan dipercaya masyarakat. Polri. Dirgahayu
Polri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar