Rabu, 03 Juli 2013

Asimetrisme PKS dan Koalisi Semu

Asimetrisme PKS dan Koalisi Semu
Arya Budi ;  Politikolog pada Pol-Tracking Institute
KORAN TEMPO, 02 Juli 2013


Bagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), klaim partai dakwah dan partai bersih terlampau berat sejak skandal korupsi impor daging sapi serta isu-isu sensasional yang mengikutinya. Pada saat yang sama, Sekretariat Gabungan (Setgab) sebagai bentuk "pelembagaan" koalisi KIB II tak punya kuasa sanksi apa pun tanpa prerogatif Presiden SBY. Akhirnya sikap kontra-SBY oleh PKS dan instabilitas koalisi KIB II dapat dilihat melalui dua titik pandang: 1) bentuk koalisi asimetris oleh partai anggota koalisi atau "zoom in condition", dan 2) bentuk pseudo-coalition atau koalisi semu yang menjadi karakter koalisi partai pendukung pemerintahan SBY atau "zoom out condition".
Jika polemik ini dilihat dalam zoom in perspective, kali ini sikap PKS kuat dimainkan oleh tiga perwajahan partai sekaligus (Katz dan Mair, 1995): PKS sebagai organisasi (organization), PKS sebagai fraksi (legislative), dan PKS sebagai menteri (executive). Sikap politik asimetris PKS tidak hanya diekspresikan melalui parlemen, tapi justru kuat diekspresikan partai sebagai organisasi dari level pusat sampai daerah. Pemasangan spanduk dan kampanye sikap lainnya adalah hal paling tampak di sini.
Ada beberapa alasan yang menjelaskan strategi koalisi asimetris PKS. Secara internal di dalam tatanan struktur organisasi PKS, sebenarnya memungkinkan petinggi teras partai menentukan sikap tanpa harus mendapatkan persetujuan musyawarah Majelis Syura partai yang beranggotakan 99 orang. Artinya, sikap PKS terkait dengan penolakan kenaikan harga BBM oleh pemerintah terletak pada enam orang yang berada di Dewan Pimpinan Tingkat Pusat (DPTP) partai. Meski demikian, kita mafhum dalam politik kepartaian selalu ada informal power yang bekerja di balik struktur formal partai.
Singkat kata, aturan main yuridis di internal itulah yang menjelaskan menteri dari PKS-Menkominfo, Mensos, dan Mentan-tampak bersikap asimetris dengan sikap partai sebagai organisasi dan fraksi di parlemen. Tidak ada satu pun menteri yang masuk jajaran struktur organisasi partai, apalagi di jajaran eksklusif level DPTP. Namun, sebagaimana media memutar informasi, dua dari tiga menteri-Menkominfo dan Mensos-adalah anggota Majelis Syura partai. Artinya, ada dua asumsi politik yang dapat ditarik dari dualisme sikap PKS ini. Pertama, terjadi faksionalisasi politik di internal PKS antara anggota Majelis Syura dan DPTP partai yang mempunyai dasar yuridis menentukan sikap politik partai.
Kedua, justru terjadi konsolidasi politik untuk memisahkan partai di parlemen dan partai di kabinet, sehingga sikap asimetris PKS sebagai partai koalisi adalah sebuah manuver politik. Secara ideal sebagai fatsun politik atas koalisi yang dibentuk, partai diharapkan simetris antara partai di parlemen dan di kabinet. Namun PKS memisahkan kepentingan menteri dengan partai, artinya, bagi PKS, koalisi berarti "wakaf" kader di kabinet, sekalipun partai tetap mendapatkan insentif material dari penguasaan kursi di kabinet.
Lebih lanjut, kita juga perlu melihat PKS sebagai sebuah "jemaah" gerakan politik Islam. Di dalam doktrin gerakan, PKS mengenal apa yang disebut dengan musyarakah al ijabiyah al banna'ah atau partisipasi positif (baca: koalisi yang bermanfaat) tapi juga konstruktif (baca: kritik yang bermanfaat). Atau doktrin perihal tsiqag qiyadah yang mengharuskan jemaah tunduk patuh pada (keputusan) pemimpinnya. Artinya, sikap asimetris PKS antara organisasi, fraksi parlemen, dan menteri-partai kabinet mendapatkan legitimasi internal dengan doktrin ini sepanjang juga bermanfaat secara internal.
Sedangkan jika melalui zoom out perspective, pada dasarnya di dalam beberapa studi soal koalisi pemerintahan presidensial dengan multipartai (Scott Mainwaring 1992, Octavio Neto 2000, dan Michael Laver 2008), bergabungnya partai dengan kontrapetasi jatah (jumlah) dan pos (bidang) kementerian, memang hampir selalu mengalami anomali asimetris antara insentif partai di kabinet dan sikap partai di parlemen. Sekalipun koalisi partai pemerintahan diasumsikan berkorelasi simetris antara partai koalisi di kabinet dan parlemen. Berbeda dalam koalisi sistem pemerintahan parlementer yang cenderung stabil, instabilitas koalisi dalam sistem pemerintahan presidensial terletak di tangan presiden sebagai episentrum determinan koalisi, bukan dalam nota kesepakatan koalisi.
Dalam sistem presidensial multipartai seperti Indonesia, jatah kursi menteri dari partai yang tersebar di 19 kementerian pada dasarnya hanya memberikan insentif elektoral kecil bagi partai politik. Berbeda dengan sistem parlementer di mana pos menteri dari partai koalisi mendapatkan insentif elektoral secara langsung karena kabinet di bawah Perdana Menteri berkorelasi simetris-dan sangat ditentukan-dengan sikap parlemen. Koalisi pemerintahan dalam sistem presidensial di Indonesia sebenarnya tidak secara langsung memberikan insentif elektoral, melainkan memberi insentif material besar bagi partai. Apalagi problem sistem pemerintahan ini didukung fakta hasil studi bahwa hanya 4 dari 25 negara dengan demokrasi stabil adalah penganut sistem presidensial (Scott Mainwaring, 1990).
Pos menteri dalam koalisi presidensial seperti KIB II justru signifikan memberikan insentif material bagi partai dengan konsekuensi elektoral tak langsung. Logikanya sederhana. Pertama, menteri partai mempunyai otoritas untuk melakukan kebijakan pork barrel politics (politik alokasi anggaran negara) di kementeriannya untuk mendistribusikan uang negara beberapa titik daerah dengan demografi pemilih potensial bagi partai.
Kedua, insentif material dilakukan melalui strategi fund rising partai yang mengambil income of office spoils (Gidlund, 1983) atau pendapatan hasil rampasan kursi jabatan. Insentif materi yang akhir-akhir ini jamak dibongkar KPK. Misalnya, kasus Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Demokrat) atau kasus daging sapi impor di Kementerian Pertanian (PKS). Singkat cerita, koalisi yang dilembagakan dengan Sekretariat Gabungan atau Setgab sejatinya adalah pseudo-institution atau sebentuk lembaga semu. Arah angin koalisi berembus melalui determinasi presiden. Sistem koalisi inilah yang menjelaskan pembangkangan politik beberapa partai sebelumnya, seperti Golkar, PKS, dan PPP dalam kasus Century, atau Golkar dan PKS dalam kasus interpelasi mafia pajak.

Akhirnya, ada tiga opsi politik koalisi dari instabilitas Setgab yang diputar PKS kali ini, dengan memperhatikan karakter kepemimpinan SBY sejak 2004. Pertama, polemik koalisi akan berakhir anti-klimaks di mana tiga menteri PKS tetap dipertahankan SBY hingga 2014. Kedua, akan terjadi sanksi berkurangnya jatah menteri PKS di kabinet. Ketiga, seperti yang pernah dialami SBY (Menkopolhukam) pada 2003 dalam kabinet Megawati dulu: menteri PKS akan "dipaksa" mundur secara gradual dengan tidak melibatkannya di dalam agenda-agenda kabinet. Namun apa pun itu, publik hanya peduli output koalisi adalah program akselerasi kesejahteraan rakyat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar