|
KORAN
TEMPO, 02 Juli 2013
Bagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), klaim partai dakwah
dan partai bersih terlampau berat sejak skandal korupsi impor daging sapi serta
isu-isu sensasional yang mengikutinya. Pada saat yang sama, Sekretariat
Gabungan (Setgab) sebagai bentuk "pelembagaan" koalisi KIB II tak
punya kuasa sanksi apa pun tanpa prerogatif Presiden SBY. Akhirnya sikap
kontra-SBY oleh PKS dan instabilitas koalisi KIB II dapat dilihat melalui dua
titik pandang: 1) bentuk koalisi asimetris oleh partai anggota koalisi atau
"zoom in condition", dan 2)
bentuk pseudo-coalition atau koalisi semu yang menjadi karakter koalisi partai
pendukung pemerintahan SBY atau "zoom out condition".
Jika polemik ini dilihat dalam zoom in perspective, kali ini sikap PKS kuat dimainkan oleh tiga
perwajahan partai sekaligus (Katz dan Mair, 1995): PKS sebagai organisasi (organization), PKS sebagai fraksi (legislative), dan PKS sebagai menteri (executive). Sikap politik asimetris PKS
tidak hanya diekspresikan melalui parlemen, tapi justru kuat diekspresikan
partai sebagai organisasi dari level pusat sampai daerah. Pemasangan spanduk
dan kampanye sikap lainnya adalah hal paling tampak di sini.
Ada beberapa alasan yang menjelaskan strategi koalisi
asimetris PKS. Secara internal di dalam tatanan struktur organisasi PKS,
sebenarnya memungkinkan petinggi teras partai menentukan sikap tanpa harus
mendapatkan persetujuan musyawarah Majelis Syura partai yang beranggotakan 99
orang. Artinya, sikap PKS terkait dengan penolakan kenaikan harga BBM oleh
pemerintah terletak pada enam orang yang berada di Dewan Pimpinan Tingkat Pusat
(DPTP) partai. Meski demikian, kita mafhum dalam politik kepartaian selalu ada informal power yang bekerja di balik
struktur formal partai.
Singkat kata, aturan main yuridis di internal itulah yang
menjelaskan menteri dari PKS-Menkominfo, Mensos, dan Mentan-tampak bersikap
asimetris dengan sikap partai sebagai organisasi dan fraksi di parlemen. Tidak
ada satu pun menteri yang masuk jajaran struktur organisasi partai, apalagi di
jajaran eksklusif level DPTP. Namun, sebagaimana media memutar informasi, dua
dari tiga menteri-Menkominfo dan Mensos-adalah anggota Majelis Syura partai.
Artinya, ada dua asumsi politik yang dapat ditarik dari dualisme sikap PKS ini.
Pertama, terjadi faksionalisasi politik di internal PKS antara anggota Majelis
Syura dan DPTP partai yang mempunyai dasar yuridis menentukan sikap politik
partai.
Kedua, justru terjadi konsolidasi politik untuk memisahkan
partai di parlemen dan partai di kabinet, sehingga sikap asimetris PKS sebagai
partai koalisi adalah sebuah manuver politik. Secara ideal sebagai fatsun
politik atas koalisi yang dibentuk, partai diharapkan simetris antara partai di
parlemen dan di kabinet. Namun PKS memisahkan kepentingan menteri dengan
partai, artinya, bagi PKS, koalisi berarti "wakaf" kader di kabinet,
sekalipun partai tetap mendapatkan insentif material dari penguasaan kursi di
kabinet.
Lebih lanjut, kita juga perlu melihat PKS sebagai sebuah
"jemaah" gerakan politik Islam. Di dalam doktrin gerakan, PKS
mengenal apa yang disebut dengan musyarakah al ijabiyah al banna'ah atau partisipasi
positif (baca: koalisi yang bermanfaat) tapi juga konstruktif (baca: kritik
yang bermanfaat). Atau doktrin perihal tsiqag qiyadah yang mengharuskan jemaah
tunduk patuh pada (keputusan) pemimpinnya. Artinya, sikap asimetris PKS antara
organisasi, fraksi parlemen, dan menteri-partai kabinet mendapatkan legitimasi
internal dengan doktrin ini sepanjang juga bermanfaat secara internal.
Sedangkan jika melalui zoom
out perspective, pada dasarnya di dalam beberapa studi soal koalisi
pemerintahan presidensial dengan multipartai (Scott Mainwaring 1992, Octavio Neto 2000, dan Michael Laver 2008),
bergabungnya partai dengan kontrapetasi jatah (jumlah) dan pos (bidang)
kementerian, memang hampir selalu mengalami anomali asimetris antara insentif
partai di kabinet dan sikap partai di parlemen. Sekalipun koalisi partai
pemerintahan diasumsikan berkorelasi simetris antara partai koalisi di kabinet
dan parlemen. Berbeda dalam koalisi sistem pemerintahan parlementer yang
cenderung stabil, instabilitas koalisi dalam sistem pemerintahan presidensial
terletak di tangan presiden sebagai episentrum determinan koalisi, bukan dalam
nota kesepakatan koalisi.
Dalam sistem presidensial multipartai seperti Indonesia,
jatah kursi menteri dari partai yang tersebar di 19 kementerian pada dasarnya
hanya memberikan insentif elektoral kecil bagi partai politik. Berbeda dengan
sistem parlementer di mana pos menteri dari partai koalisi mendapatkan insentif
elektoral secara langsung karena kabinet di bawah Perdana Menteri berkorelasi simetris-dan
sangat ditentukan-dengan sikap parlemen. Koalisi pemerintahan dalam sistem
presidensial di Indonesia sebenarnya tidak secara langsung memberikan insentif
elektoral, melainkan memberi insentif material besar bagi partai. Apalagi
problem sistem pemerintahan ini didukung fakta hasil studi bahwa hanya 4 dari
25 negara dengan demokrasi stabil adalah penganut sistem presidensial (Scott Mainwaring, 1990).
Pos menteri dalam koalisi presidensial seperti KIB II
justru signifikan memberikan insentif material bagi partai dengan konsekuensi
elektoral tak langsung. Logikanya sederhana. Pertama, menteri partai mempunyai
otoritas untuk melakukan kebijakan pork barrel politics (politik alokasi
anggaran negara) di kementeriannya untuk mendistribusikan uang negara beberapa
titik daerah dengan demografi pemilih potensial bagi partai.
Kedua, insentif material dilakukan melalui strategi fund
rising partai yang mengambil income of
office spoils (Gidlund, 1983)
atau pendapatan hasil rampasan kursi jabatan. Insentif materi yang akhir-akhir
ini jamak dibongkar KPK. Misalnya, kasus Hambalang di Kementerian Pemuda dan
Olahraga (Demokrat) atau kasus daging sapi impor di Kementerian Pertanian
(PKS). Singkat cerita, koalisi yang dilembagakan dengan Sekretariat Gabungan
atau Setgab sejatinya adalah pseudo-institution atau sebentuk lembaga semu.
Arah angin koalisi berembus melalui determinasi presiden. Sistem koalisi inilah
yang menjelaskan pembangkangan politik beberapa partai sebelumnya, seperti
Golkar, PKS, dan PPP dalam kasus Century, atau Golkar dan PKS dalam kasus
interpelasi mafia pajak.
Akhirnya, ada tiga opsi politik koalisi dari instabilitas
Setgab yang diputar PKS kali ini, dengan memperhatikan karakter kepemimpinan
SBY sejak 2004. Pertama, polemik koalisi akan berakhir anti-klimaks di mana
tiga menteri PKS tetap dipertahankan SBY hingga 2014. Kedua, akan terjadi
sanksi berkurangnya jatah menteri PKS di kabinet. Ketiga, seperti yang pernah
dialami SBY (Menkopolhukam) pada 2003 dalam kabinet Megawati dulu: menteri PKS
akan "dipaksa" mundur secara gradual dengan tidak melibatkannya di
dalam agenda-agenda kabinet. Namun apa pun itu, publik hanya peduli output
koalisi adalah program akselerasi kesejahteraan rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar