Rabu, 03 Juli 2013

RUU Ormas dan Ancaman Kebebasan Berserikat

RUU Ormas dan Ancaman Kebebasan Berserikat
Benny Susetyo ;  Pemerhati Sosial
MEDIA INDONESIA, 02 Juli 2013


RENCANA pengesahan RUU Ormas hari ini (2/7) mendapatkan protes keras dan semakin meluas dari masyarakat. Kehadiran RUU tersebut dianggap justru akan mengganggu relasi masyarakat dan negara selama ini. Cara berpikir negara terhadap kelompok masyarakat masih tidak berubah seperti era Orba, ingin mengontrol, mengendalikan, dan mendikte masyarakat.

Problemnya bukan semata-mata teknis, soal batang tubuh pasal-pasal yang menjadi masalah. Kendatipun ada perbaikan dalam pasal-pasal bermasalah yang pernah diprotes sebelumnya, sifat perbaikan itu seperti hanya tambal sulam. Itu semua terjadi karena RUU ini diyakini dibuat dalam kerangka berpikir paradigma lama.

Masyarakat mempertanyakan dan menisik sosok RUU Ormas ini. Ada banyak persoalan dan isu yang belum jelas. RUU ini sendiri terkesan tendensius untuk mengontrol dan mengendalikan kebebasan berserikat masyarakat sipil.

Tumpang-tindih peraturan sudah sering terjadi di Republik ini. Tidak jarang di antaranya saling bertentangan menegasikan.

Dalam RUU Ormas misalnya, tumpang tindih itu pun terjadi. Kehendak untuk menjadikannya sebagai instrumen pencegah kekerasan, mewujudkan transparansi dan akuntabilitas sebetulnya sudah diatur dalam peraturan lainnya. Ada KUHP/ KUH Perdata, UU Yayasan, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Tindak Pidana Korupsi, UU Pencucian Uang hingga UU Antiterorisme dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Banyak ketentuan di dalamnya yang mengatur ormas pula. Bila dianggap tidak efektif, sangat efektif tidak menciptakan aturan baru. Namun, justru lebih baik memperbaiki aturan lama agar tidak saling tumpang tindih.

Dan banyak soal lain yang rancu dalam RUU ini. Misalnya campur aduk antara berbagai jenis organisasi baik yang berbadan badan hukum (yayasan, perkumpulan) dan organisasi yang tidak berbadan hukum (seperti paguyuban, asosiasi profesi, dan lainnya) di dalam pengertian ormas. Ketidakjelas an itu justru akan mengakibatkan dampak kekacauan hukum di kemudian hari. Dan berbagai soal lainnya.

Dapat disimpulkan, intinya RUU ini berpeluang mengonfirmasi potensi kembalinya pendekatan politik terhadap berbagai organisasi bidang sosial dengan menguatnya peran pemerintah (sebagaimana masa Orba) dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri melalui Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik atau Kesbangpol. RUU Ormas akan menyeret seluruh bentuk organisasi sosial, keagamaan, pendidikan, kesehatan, seni budaya, dan lain-lain ke ranah politik sehingga berada di bawah kendali Kesbangpol.

Konsekuensinya, tidak tertutup kemungkinan di kemudian hari `kendali pengawasan' oleh pemerintah akan merambah pada wilayah organisasi seperti administrasi, keuangan, hingga pemberlakuan sanksi. Semuanya bisa dilakukan dengan mengatasnamakan kepentingan pemberdayaan, pembinaan, dan ketertiban ormas.

Sarana represi penguasa

Kebebasan berserikat masyarakat sebagaimana merupakan jaminan tertinggi dalam organisasi mendapatkan ancaman berbahaya. Bila negara berkeinginan mengontrol semua tindakan dan gerakan masyarakat sipil, tidak berlebihan jika dikatakan kekuasaan memiliki agenda tersembunyi yang layak dipertanyakan.
RUU Ormas pun bisa menjadi cermin ketidakpercayaan negara pada mekanisme kebebasan yang terdapat pada ma syarakat sipil. Kita akan menjadi negara yang akan kehilangan roh utama demokrasi, yakni ke bebasan. Semua berada dalam birokrasi dan kontrol pemerintah. Indeks demokrasi Indonesia yang mengalami perkembangan sejauh ini sepanjang reformasi, kembali mendapatkan ancaman dari sebuah keinginan kuasa yang berlebihan.

RUU Ormas juga dianggap mengancam eksistensi organisasi sosial keagamaan. Negara akan mengontrol secara penuh akses sumber dana dan memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban. Inilah bentuk ketidakpercayaan negara terhadap mekanisme yang sudah berjalan selama ini. Kedewasaan kita dalam bernegara dan bermasyarakat mendapat sorotan tajam karena negara cenderung ingin masuk ke semua ranah kehidupan masyarakat.

Urgensi aturan ini layak mendapatkan sorotan tajam. Pengalaman Indonesia memiliki aturan tentang ormas hanya merupakan sarana legitimasi dari hasrat represif penguasa. UU Ormas sejak dulu dibentuk hanya sebagai alat kontrol alat kontrol dan represi bagi kebebasan berserikat dan berkumpul di Indonesia.

Tentangan terhadap RUU Ormas ini pun bukan seharusnya diartikan lebih memilih menggu nakan UU 8/1985 (UU Ormas lama). Sebab UU itu dalam praktiknya merupakan alat legitimasi Orde Baru yang berusaha menempatkan segala jenis organisasi dengan kepentingan masing-masing ke satu jenis bentuk organisasi agar lebih mudah untuk dikontrol. Korban pun berjatuhan. Pemerintah dengan mudah membubarkan dan menghentikan kegiatan masyarakat dengan aturan itu.

Cara berpikir penguasa justru pada intinya hanya untuk memperlemah dan membuat tidak berdaya entitas masyarakat sipil untuk menjalankan partisipasi mereka membangun bangsa ini. Akibatnya posisi tawar ormas tidak lagi optimal karena dimatikan intervensi penguasa yang begitu dominan dalam mengatur berbagai hal. Lembaga kemasyarakatan pelan-pelan tidak memiliki kemandirian dalam mengolah organisasi mereka. 
Kebebasan berserikat dan berkumpul merupakan roh penting dalam berdemokrasi. Kekuatan masyarakat sipil akan menjadi penyeimbang bagi negara, agar negara tidak menjelma monster. Masyarakat dalam berbagai aktivitasnya memberikan sumbangsih terhadap pembangunan bangsa.

Demokrasi terancam eksistensinya bila kebebasan sudah mulai dicerabut. Apalagi jika birokrasi sebagai alat kekuasaan telah menjadi tirani baru yang membatasi kreativitas masyarakat. Demokrasi pun berbalik arah hanya menjadi slogan yang tak ada gunanya.

Argumentasi yang mengatakan agar keberadaan ormas lebih mudah diatur secara tertib sering kali terlihat hanya sebagai isapan jempol. Justru banyak substansi RUU yang bertentangan dengan semangat kebebasan berserikat dan berkumpul. Itu karena aturan tersebut dibentuk karena pertimbangan dan kerangka argumentasi politik yang represif terhadap masyarakat sipil.

Lebih jauh banyak aturan yang bersifat karet dan multitafsir. Negara memiliki otoritas untuk memberikan sanksi dan membekukan sebuah organisasi berdasarkan tafsirannya sendiri karena dianggap bertentangan. Di sini negara sangat potensial menjadi tirani baru kebebasan yang selama ini diperjuangkan. Karena dianggap tidak cocok, negara bisa mematikan kreativitas masyarakat.

Bila ada yang berargumentasi RUU ini dibuat sebagai perlindungan negara atas ancaman kekerasan yang dilakukan ormas tertentu, tentu argumentasi itu sangat lemah. Tidak perlu UU untuk mengatasi problem demikian. Lihatlah justru sejauh ini problemnya ialah karena aparat keamanan yang tidak memiliki kehendak untuk menegakkan hukum. Padahal KUHP pun sudah mengatur hal tersebut. Hukum kita sudah lebih daripada cukup untuk menjerat pelaku, yang turut serta, yang memerintahkan suatu tindak kejahatan, ataupun yang menyatakan permusuhan ataupun kebencian terhadap suatu golongan secara terbuka di muka umum.

Pengaturan ormas dalam sebuah UU payung hanya menambah panjang birokrasi, perizinan, dan mekanisme rumit yang pada ujungnya akan mencederai kebebasan berorganisasi di Indonesia. Selain itu, pengaturan itu akan membuka lebar kesempatan negara untuk mendikte dan mengendalikan semua potensi pembangunan demokrasi negeri ini. Dalam berbagai argumentasi yang kurang akurat, kita justru mendapat ancaman elite berkeinginan menekan kelompok sipil khas seperti yang dilakukan rezim Orba.


Cara pandang demikian tentu bertentangan dengan semangat demokrasi yang kita kembangkan selama ini. Pemerintah perlu kembali memikirkan secara jangka panjang efek terhadap pemangkasan kreativitas dalam regulasi seperti ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar