|
MEDIA
INDONESIA, 02 Juli 2013
RENCANA pengesahan RUU Ormas hari
ini (2/7) mendapatkan protes keras dan semakin meluas dari masyarakat.
Kehadiran RUU tersebut dianggap justru akan mengganggu relasi masyarakat dan
negara selama ini. Cara berpikir negara terhadap kelompok masyarakat masih
tidak berubah seperti era Orba, ingin mengontrol, mengendalikan, dan mendikte
masyarakat.
Problemnya bukan semata-mata teknis, soal batang tubuh
pasal-pasal yang menjadi masalah. Kendatipun ada perbaikan dalam pasal-pasal
bermasalah yang pernah diprotes sebelumnya, sifat perbaikan itu seperti hanya
tambal sulam. Itu semua terjadi karena RUU ini diyakini dibuat dalam kerangka
berpikir paradigma lama.
Masyarakat mempertanyakan dan menisik sosok RUU Ormas ini.
Ada banyak persoalan dan isu yang belum jelas. RUU ini sendiri terkesan
tendensius untuk mengontrol dan mengendalikan kebebasan berserikat masyarakat
sipil.
Tumpang-tindih peraturan sudah sering terjadi di Republik
ini. Tidak jarang di antaranya saling bertentangan menegasikan.
Dalam RUU Ormas misalnya, tumpang tindih itu pun terjadi. Kehendak
untuk menjadikannya sebagai instrumen pencegah kekerasan, mewujudkan
transparansi dan akuntabilitas sebetulnya sudah diatur dalam peraturan lainnya.
Ada KUHP/ KUH Perdata, UU Yayasan, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Tindak
Pidana Korupsi, UU Pencucian Uang hingga UU Antiterorisme dan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme. Banyak ketentuan di dalamnya yang mengatur ormas pula. Bila
dianggap tidak efektif, sangat efektif tidak menciptakan aturan baru. Namun,
justru lebih baik memperbaiki aturan lama agar tidak saling tumpang tindih.
Dan banyak soal lain yang rancu dalam RUU ini. Misalnya
campur aduk antara berbagai jenis organisasi baik yang berbadan badan hukum
(yayasan, perkumpulan) dan organisasi yang tidak berbadan hukum (seperti
paguyuban, asosiasi profesi, dan lainnya) di dalam pengertian ormas.
Ketidakjelas an itu justru akan mengakibatkan dampak kekacauan hukum di
kemudian hari. Dan berbagai soal lainnya.
Dapat disimpulkan, intinya RUU ini berpeluang mengonfirmasi
potensi kembalinya pendekatan politik terhadap berbagai organisasi bidang
sosial dengan menguatnya peran pemerintah (sebagaimana masa Orba) dalam hal ini
Kementerian Dalam Negeri melalui Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik atau
Kesbangpol. RUU Ormas akan menyeret seluruh bentuk organisasi sosial,
keagamaan, pendidikan, kesehatan, seni budaya, dan lain-lain ke ranah politik
sehingga berada di bawah kendali Kesbangpol.
Konsekuensinya, tidak tertutup kemungkinan di kemudian hari
`kendali pengawasan' oleh pemerintah akan merambah pada wilayah organisasi
seperti administrasi, keuangan, hingga pemberlakuan sanksi. Semuanya bisa
dilakukan dengan mengatasnamakan kepentingan pemberdayaan, pembinaan, dan
ketertiban ormas.
Sarana represi
penguasa
Kebebasan berserikat masyarakat sebagaimana merupakan
jaminan tertinggi dalam organisasi mendapatkan ancaman berbahaya. Bila negara
berkeinginan mengontrol semua tindakan dan gerakan masyarakat sipil, tidak
berlebihan jika dikatakan kekuasaan memiliki agenda tersembunyi yang layak
dipertanyakan.
RUU Ormas pun bisa menjadi cermin ketidakpercayaan negara
pada mekanisme kebebasan yang terdapat pada ma syarakat sipil. Kita akan
menjadi negara yang akan kehilangan roh utama demokrasi, yakni ke bebasan.
Semua berada dalam birokrasi dan kontrol pemerintah. Indeks demokrasi Indonesia
yang mengalami perkembangan sejauh ini sepanjang reformasi, kembali mendapatkan
ancaman dari sebuah keinginan kuasa yang berlebihan.
RUU Ormas juga dianggap mengancam eksistensi organisasi
sosial keagamaan. Negara akan mengontrol secara penuh akses sumber dana dan
memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban. Inilah bentuk ketidakpercayaan
negara terhadap mekanisme yang sudah berjalan selama ini. Kedewasaan kita dalam
bernegara dan bermasyarakat mendapat sorotan tajam karena negara cenderung
ingin masuk ke semua ranah kehidupan masyarakat.
Urgensi aturan ini layak mendapatkan sorotan tajam. Pengalaman
Indonesia memiliki aturan tentang ormas hanya merupakan sarana legitimasi dari
hasrat represif penguasa. UU Ormas sejak dulu dibentuk hanya sebagai alat
kontrol alat kontrol dan represi bagi kebebasan berserikat dan berkumpul di
Indonesia.
Tentangan terhadap RUU Ormas ini pun bukan seharusnya
diartikan lebih memilih menggu nakan UU 8/1985 (UU Ormas lama). Sebab UU itu
dalam praktiknya merupakan alat legitimasi Orde Baru yang berusaha menempatkan
segala jenis organisasi dengan kepentingan masing-masing ke satu jenis bentuk
organisasi agar lebih mudah untuk dikontrol. Korban pun berjatuhan. Pemerintah
dengan mudah membubarkan dan menghentikan kegiatan masyarakat dengan aturan
itu.
Cara berpikir penguasa justru pada intinya hanya untuk
memperlemah dan membuat tidak berdaya entitas masyarakat sipil untuk
menjalankan partisipasi mereka membangun bangsa ini. Akibatnya posisi tawar
ormas tidak lagi optimal karena dimatikan intervensi penguasa yang begitu
dominan dalam mengatur berbagai hal. Lembaga kemasyarakatan pelan-pelan tidak
memiliki kemandirian dalam mengolah organisasi mereka.
Kebebasan berserikat dan
berkumpul merupakan roh penting dalam berdemokrasi. Kekuatan masyarakat sipil akan
menjadi penyeimbang bagi negara, agar negara tidak menjelma monster. Masyarakat
dalam berbagai aktivitasnya memberikan sumbangsih terhadap pembangunan bangsa.
Demokrasi terancam eksistensinya bila kebebasan sudah mulai
dicerabut. Apalagi jika birokrasi sebagai alat kekuasaan telah menjadi tirani
baru yang membatasi kreativitas masyarakat. Demokrasi pun berbalik arah hanya
menjadi slogan yang tak ada gunanya.
Argumentasi yang mengatakan agar keberadaan ormas lebih
mudah diatur secara tertib sering kali terlihat hanya sebagai isapan jempol. Justru
banyak substansi RUU yang bertentangan dengan semangat kebebasan berserikat dan
berkumpul. Itu karena aturan tersebut dibentuk karena pertimbangan dan kerangka
argumentasi politik yang represif terhadap masyarakat sipil.
Lebih jauh banyak aturan yang
bersifat karet dan multitafsir. Negara memiliki otoritas untuk memberikan
sanksi dan membekukan sebuah organisasi berdasarkan tafsirannya sendiri karena
dianggap bertentangan. Di sini negara sangat potensial menjadi tirani baru
kebebasan yang selama ini diperjuangkan. Karena dianggap tidak cocok, negara
bisa mematikan kreativitas masyarakat.
Bila ada yang berargumentasi RUU ini dibuat sebagai
perlindungan negara atas ancaman kekerasan yang dilakukan ormas tertentu, tentu
argumentasi itu sangat lemah. Tidak perlu UU untuk mengatasi problem demikian.
Lihatlah justru sejauh ini problemnya ialah karena aparat keamanan yang tidak
memiliki kehendak untuk menegakkan hukum. Padahal KUHP pun sudah mengatur hal
tersebut. Hukum kita sudah lebih daripada cukup untuk menjerat pelaku, yang
turut serta, yang memerintahkan suatu tindak kejahatan, ataupun yang menyatakan
permusuhan ataupun kebencian terhadap suatu golongan secara terbuka di muka
umum.
Pengaturan ormas dalam sebuah UU payung hanya menambah
panjang birokrasi, perizinan, dan mekanisme rumit yang pada ujungnya akan
mencederai kebebasan berorganisasi di Indonesia. Selain itu, pengaturan itu
akan membuka lebar kesempatan negara untuk mendikte dan mengendalikan semua
potensi pembangunan demokrasi negeri ini. Dalam berbagai argumentasi yang
kurang akurat, kita justru mendapat ancaman elite berkeinginan menekan kelompok
sipil khas seperti yang dilakukan rezim Orba.
Cara pandang demikian tentu bertentangan dengan semangat
demokrasi yang kita kembangkan selama ini. Pemerintah perlu kembali memikirkan
secara jangka panjang efek terhadap pemangkasan kreativitas dalam regulasi
seperti ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar