|
KOMPAS,
30 Juni 2013
”Ibu, saya sudah habis akal, kesal sekali menghadapi suami saya. Selama
ini saya hanya dijadikan pembantu rumah tangga yang menyiapkan kebutuhannya,
mengatur rumah tangga. Masih mending pembantu rumah tangga digaji, saya tidak
pernah tahu suami pendapatannya berapa. Dia tidak pernah memberikan nafkah
kepada saya dan keenakan karena tahu saya punya gaji yang lebih dari cukup
untuk membiayai rumah tangga.”
Demikian keluhan istri yang juga
seorang pengajar di suatu institut ternama di kota B. K (60 tahun), istri, dan
suaminya bernama S (66 tahun). K mengatakan, sejak usia perkawinan 6 tahun, ia
tidak pernah lagi menerima nafkah batin karena suami menyatakan dirinya sering
bersikap emosional, bahkan berkata-kata kasar, galak, dan sangat emosional, membuat
S tidak bergairah dan hilang ketertarikan erotis-seksual S terhadap dirinya.
”Saya jadi kasar dan emosional karena sering merasa kesal dan
dikecewakan oleh dirinya,” demikian K. ”S tak pernah memberikan respons yang menyenangkan, apa pun yang saya
lakukan di rumah. Kalau saya menceritakan pengalaman saya di pekerjaan, ia
hanya menggumam. Kalau saya meminta untuk memberikan pendapat, dia bilang, ’Ya,
apa yang kamu kerjakan sudah baik’. Titik.”
”Tidak ada perbincangan selanjutnya. Bahkan, ia langsung masuk ruang
kerjanya, langsung membuka komputer dan bekerja hingga larut. Terkadang, bila
saya tak tahan, saya teriak memanggilnya dan memintanya keluar dari ruang
kerja, untuk kemudian saya marah, saya maki dia. Setelah saya lelah memaki,
saya tinggalkan dia, saya ke kamar dan tidur.”
”Demikianlah keseharian interaksi yang terjalin di antara kami, sebagai
suami-istri. Beberapa tahun terakhir ini semakin parah karena anak tunggal kami
pergi melanjutkan sekolah di luar negeri sehingga luapan emosi saya menjadi tambah
tidak terkendali.”
”Rasanya ingin sekali saya bercerai, tetapi saya takut akan pengaruh
buruk perceraian saya untuk motivasi belajar anak saya di luar negeri.”
Sebelum
pernikahan
Hal-hal yang membuat pasangan
tertarik satu sama lain sebelum pernikahan:
a. Sikap dan perilaku yang sangat
berlawanan di antara pasangan yang semula berteman sering menjadi penyebab
ketertarikan satu sama lain. Pasangan perempuan dinilai seorang yang ceria,
selalu punya cerita yang menarik, cara berceritanya mengesankan dia seorang
yang dinamis dan penuh semangat. Sementara pasangan lelakinya terkesan kalem,
tenang, komentar yang disampaikan sarat dengan analisis intelektual, solusi
yang ditawarkan bila berdiskusi juga sangat konstruktif, tidak banyak bicara,
serta bijak. Selain itu, baik hati, tak pernah menunjukkan kemarahan yang
berarti. Kedua perbedaan mendasar dalam cara bersikap dan bertutur serta
bertingkah laku tersebut inilah justru menjadi awal ketertarikan mereka satu
sama lain.
b. Dalam pada itu, kedua belah
pihak pasangan akhirnya merasa saling membutuhkan, karena berharap bahwa bila
ia menikahi seseorang dengan sifat yang berlawanan, ia akan mendapatkan
pendamping yang mampu mengutarakan keinginan dan kekurangan diri melalui sikap
dan perilaku calon pasangannya kelak. Dalam kasus ini, tanpa sadar, S butuh K
untuk bersikap ceria dan ekspresif karena S merasa tidak mampu bersikap ceria
dan ekspresif seperti K. Perbedaan yang ekstrem ini justru dalam ikatan
perkawinan menjadi sumber masalah interaktif di antara keduanya.
c. Saat K mengutarakan pendapat
secara emosional, tanpa sadar S merasa bahwa sikap berlawanan yang sarat emosi
negatif dari istrinya adalah bagian dari dirinya, sehingga dengan berjalannya
waktu lamanya pernikahan, akhirnya S merasa bahwa antara diri dan istrinya
sudah menjadi satu. Kemarahan istri terhadap sesuatu yang terjadi di antara
mereka dihayati S sebagai ungkapan emosional dirinya, sehingga lama-kelamaan S
merasa bahwa K bukan orang lain, yang membuat dirinya akhirnya merasa tak perlu
memberikan respons yang sebenarnya K butuhkan. K semakin berang dan marah, S
semakin terdiam dan tenggelam dengan dirinya. K semakin merasa bahwa dirinya
hanya dimanfaatkan suaminya dan tak berarti apa pun bagi suaminya.
Pelampiasan
emosional
Kedua orangtua S kebetulan pasangan
yang suka bertamasya. Mereka sering memutuskan untuk pergi bertamasya ke mana
pun tanpa pertimbangan akan keberadaan keluarga anaknya (S dan K, walaupun S
adalah anak tunggal). Nah, pada saat kelahiran cucu yang pertama dan kemudian
menjadi cucu tunggal mereka, bertepatan dengan rencana mereka berjalan-jalan ke
Eropa.
Kondisi ini ditanggapi oleh K
sebagai sangat keterlaluan dan akhirnya sikap kedua mertua K tersebut sering
menjadi sasaran kemarahan dan kekesalan K. Pada suatu saat kedua mertua K
tersebut ingin berkunjung ke rumah K untuk suatu acara keluarga besar. Dengan
sigap K merasa saatnya membalas ketidakpedulian mertuanya akan kelahiran
cucunya dengan mengatakan bahwa K sibuk tidak bisa menerima mereka menginap di
rumahnya.
Satu sisi S merasa bahwa kemarahan
istrinya terhadap kedua orangtuanya juga mewakili dirinya yang sering kesal
dengan perlakuan kedua orangtuanya. Namun, pada saat yang sama, penolakan K
terhadap kehadiran mertua di rumah membuat S pun tidak rela peristiwa ini membuat
K dan S, menjadi ajang ungkapan emosional negatif berlanjut yang semakin
ekstrem. Karena keputusan K menolak kedua orangtuanya menginap di rumah mereka,
membuat rasa tidak suka S terhadap istrinya semakin besar (K semakin emosional;
S semakin terdiam). Tanpa disadari, kemudian terjalin relasi segitiga (K, S,
dan mertua K) yang membuat keduanya semakin sulit mendapat peluang berdamai
dalam berelasi.
Solusi
1. Kedua pasangan tersebut
membutuhkan psikoterapi intensif untuk perbaikan sistem relasi di antara mereka
setelah terapis yakin benar bahwa mereka pada dasarnya masih menginginkan
perbaikan interelasi dan interaksi dalam perkawinan di antaranya, baik demi
kesejahteraan subyektif (subjective
wellbeing), sebagai pasangan perkawinan, maupun bagi anak mereka, yang
sedang studi di luar negeri.
2. Langkah terapi berangkat dari
upaya terapis untuk membuat kedua pasangan membongkar relasi duopartit (K
semakin emosional; S semakin terdiam) dan relasi tripartit (K dan S dan
mertua/orangtua) dari hanya sisi kedua pasangan perkawinan tersebut, tentu saja
tanpa melibatkan kedua mertua/orangtuanya.
Semoga.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar