Senin, 01 Juli 2013

Suami Tak Beri Respons, Istri Terlampau Emosional

Suami Tak Beri Respons, 
Istri Terlampau Emosional
Sawitri Supardi Sadarjoen ;  Penulis Rubrik Konsultasi Psikologi Harian Kompas, Dekan Fakultas Psikologi Universitas YARSI
KOMPAS, 30 Juni 2013


”Ibu, saya sudah habis akal, kesal sekali menghadapi suami saya. Selama ini saya hanya dijadikan pembantu rumah tangga yang menyiapkan kebutuhannya, mengatur rumah tangga. Masih mending pembantu rumah tangga digaji, saya tidak pernah tahu suami pendapatannya berapa. Dia tidak pernah memberikan nafkah kepada saya dan keenakan karena tahu saya punya gaji yang lebih dari cukup untuk membiayai rumah tangga.”

Demikian keluhan istri yang juga seorang pengajar di suatu institut ternama di kota B. K (60 tahun), istri, dan suaminya bernama S (66 tahun). K mengatakan, sejak usia perkawinan 6 tahun, ia tidak pernah lagi menerima nafkah batin karena suami menyatakan dirinya sering bersikap emosional, bahkan berkata-kata kasar, galak, dan sangat emosional, membuat S tidak bergairah dan hilang ketertarikan erotis-seksual S terhadap dirinya.

”Saya jadi kasar dan emosional karena sering merasa kesal dan dikecewakan oleh dirinya,” demikian K. ”S tak pernah memberikan respons yang menyenangkan, apa pun yang saya lakukan di rumah. Kalau saya menceritakan pengalaman saya di pekerjaan, ia hanya menggumam. Kalau saya meminta untuk memberikan pendapat, dia bilang, ’Ya, apa yang kamu kerjakan sudah baik’. Titik.”

”Tidak ada perbincangan selanjutnya. Bahkan, ia langsung masuk ruang kerjanya, langsung membuka komputer dan bekerja hingga larut. Terkadang, bila saya tak tahan, saya teriak memanggilnya dan memintanya keluar dari ruang kerja, untuk kemudian saya marah, saya maki dia. Setelah saya lelah memaki, saya tinggalkan dia, saya ke kamar dan tidur.”

”Demikianlah keseharian interaksi yang terjalin di antara kami, sebagai suami-istri. Beberapa tahun terakhir ini semakin parah karena anak tunggal kami pergi melanjutkan sekolah di luar negeri sehingga luapan emosi saya menjadi tambah tidak terkendali.”

”Rasanya ingin sekali saya bercerai, tetapi saya takut akan pengaruh buruk perceraian saya untuk motivasi belajar anak saya di luar negeri.”

Sebelum pernikahan

Hal-hal yang membuat pasangan tertarik satu sama lain sebelum pernikahan:

a. Sikap dan perilaku yang sangat berlawanan di antara pasangan yang semula berteman sering menjadi penyebab ketertarikan satu sama lain. Pasangan perempuan dinilai seorang yang ceria, selalu punya cerita yang menarik, cara berceritanya mengesankan dia seorang yang dinamis dan penuh semangat. Sementara pasangan lelakinya terkesan kalem, tenang, komentar yang disampaikan sarat dengan analisis intelektual, solusi yang ditawarkan bila berdiskusi juga sangat konstruktif, tidak banyak bicara, serta bijak. Selain itu, baik hati, tak pernah menunjukkan kemarahan yang berarti. Kedua perbedaan mendasar dalam cara bersikap dan bertutur serta bertingkah laku tersebut inilah justru menjadi awal ketertarikan mereka satu sama lain.

b. Dalam pada itu, kedua belah pihak pasangan akhirnya merasa saling membutuhkan, karena berharap bahwa bila ia menikahi seseorang dengan sifat yang berlawanan, ia akan mendapatkan pendamping yang mampu mengutarakan keinginan dan kekurangan diri melalui sikap dan perilaku calon pasangannya kelak. Dalam kasus ini, tanpa sadar, S butuh K untuk bersikap ceria dan ekspresif karena S merasa tidak mampu bersikap ceria dan ekspresif seperti K. Perbedaan yang ekstrem ini justru dalam ikatan perkawinan menjadi sumber masalah interaktif di antara keduanya.

c. Saat K mengutarakan pendapat secara emosional, tanpa sadar S merasa bahwa sikap berlawanan yang sarat emosi negatif dari istrinya adalah bagian dari dirinya, sehingga dengan berjalannya waktu lamanya pernikahan, akhirnya S merasa bahwa antara diri dan istrinya sudah menjadi satu. Kemarahan istri terhadap sesuatu yang terjadi di antara mereka dihayati S sebagai ungkapan emosional dirinya, sehingga lama-kelamaan S merasa bahwa K bukan orang lain, yang membuat dirinya akhirnya merasa tak perlu memberikan respons yang sebenarnya K butuhkan. K semakin berang dan marah, S semakin terdiam dan tenggelam dengan dirinya. K semakin merasa bahwa dirinya hanya dimanfaatkan suaminya dan tak berarti apa pun bagi suaminya.

Pelampiasan emosional

Kedua orangtua S kebetulan pasangan yang suka bertamasya. Mereka sering memutuskan untuk pergi bertamasya ke mana pun tanpa pertimbangan akan keberadaan keluarga anaknya (S dan K, walaupun S adalah anak tunggal). Nah, pada saat kelahiran cucu yang pertama dan kemudian menjadi cucu tunggal mereka, bertepatan dengan rencana mereka berjalan-jalan ke Eropa.

Kondisi ini ditanggapi oleh K sebagai sangat keterlaluan dan akhirnya sikap kedua mertua K tersebut sering menjadi sasaran kemarahan dan kekesalan K. Pada suatu saat kedua mertua K tersebut ingin berkunjung ke rumah K untuk suatu acara keluarga besar. Dengan sigap K merasa saatnya membalas ketidakpedulian mertuanya akan kelahiran cucunya dengan mengatakan bahwa K sibuk tidak bisa menerima mereka menginap di rumahnya.

Satu sisi S merasa bahwa kemarahan istrinya terhadap kedua orangtuanya juga mewakili dirinya yang sering kesal dengan perlakuan kedua orangtuanya. Namun, pada saat yang sama, penolakan K terhadap kehadiran mertua di rumah membuat S pun tidak rela peristiwa ini membuat K dan S, menjadi ajang ungkapan emosional negatif berlanjut yang semakin ekstrem. Karena keputusan K menolak kedua orangtuanya menginap di rumah mereka, membuat rasa tidak suka S terhadap istrinya semakin besar (K semakin emosional; S semakin terdiam). Tanpa disadari, kemudian terjalin relasi segitiga (K, S, dan mertua K) yang membuat keduanya semakin sulit mendapat peluang berdamai dalam berelasi.

Solusi

1. Kedua pasangan tersebut membutuhkan psikoterapi intensif untuk perbaikan sistem relasi di antara mereka setelah terapis yakin benar bahwa mereka pada dasarnya masih menginginkan perbaikan interelasi dan interaksi dalam perkawinan di antaranya, baik demi kesejahteraan subyektif (subjective wellbeing), sebagai pasangan perkawinan, maupun bagi anak mereka, yang sedang studi di luar negeri.


2. Langkah terapi berangkat dari upaya terapis untuk membuat kedua pasangan membongkar relasi duopartit (K semakin emosional; S semakin terdiam) dan relasi tripartit (K dan S dan mertua/orangtua) dari hanya sisi kedua pasangan perkawinan tersebut, tentu saja tanpa melibatkan kedua mertua/orangtuanya. 

Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar