Senin, 01 Juli 2013

Presiden Berjurus Katak

Presiden Berjurus Katak
Garin Nugroho ;  Sutradara Film
KOMPAS, 30 Juni 2013


“Morotai tahun 1944 macet seperti Jakarta sekarang, dipenuhi serdadu Amerika dan Australia, truk, mobil, tank....” Demikian Haji Anis bercerita di rumahnya saat minggu lalu saya menulis skenario di Morotai, Maluku utara.

”I shall return” itulah kata populer MacArthur sewaktu diminta mundur dari Filipina ke Australia ketika Jepang menguasai Pasifik. Namun, tidak pernah saya bayangkan, MacArthur akan kembali mengalahkan Jepang lewat Morotai dengan 60.000 pasukan disertai kapal induk mengangkut ratusan truk, tank, mobil, bersama ratusan kapal penyerang dan pesawat terbang. Pulau kecil antara Sulawesi dan Papua ini berubah menjadi kota kecil dengan ribuan tenda hingga kantor, rumah sakit, pabrik lemon, bahkan pabrik roti rakitan dari besi baja terbaik.

Serbuan MacArthur dari Papua, Sulawesi, hingga Morotai dikenal sebagai strategi jurus katak. Strategi ini tidak saja mengandung gagasan jenuin, tetapi juga peta masalah yang rinci, sekaligus manajemen tindakan yang terukur dalam skala yang luar biasa. Inilah politik tindakan yang menjadi syarat kepemimpinan.
Maka, ketika beragam masalah di negeri ini lebih dipecahkan dengan politik debat ketimbang politik tindakan, Morotai mengisyaratkan perlunya tahun 2014 mencari presiden berjurus katak.

Tanggal 17-21 Juni 2013, ketika menyusuri kepulauan di Maluku utara, saya diajak membaca kembali sejarah kepulauan Maluku yang senantiasa dipenuhi drama. Abad ke-15, Magelhaens, pengelana Portugis ternama dengan awak kapal terbesar abad itu, mengalami kelaparan ketika menyeberangi samudra Hindia menuju kepulauan Maluku. Awak kapal harus membuat makanan serupa biskuit dari serbuk kayu dicampur dengan kotoran tikus.

Kisah penuh drama ini muncul kembali ketika di Ternate saya bertemu teman lama Pak Anton (50). Kami bertemu pada 1999 di pelabuhan Ambon di tengah lebih dari 300.000 pengungsi yang berebut naik kapal. Pak Anton, yang dahulu pengusaha tahu, kini menjadi tukang ojek di Ternate. Sahabat saya ini selalu bercerita tentang perjalanan menuju pelabuhan dengan tank tentara yang pengap dan lewat lubang kecil dalam tank melihat kekacauan serta kekerasan yang begitu mengancam.

Perjalanan ke Kepulauan Maluku selalu mengisyaratkan tentang paradoks Indonesia: keindahan kekayaan vs tragedi, ketidakberdayaan vs harapan, kedamaian surgawi vs kekacauan kekerasan. Sebuah kotak pandora yang mengisyaratkan bahwa pemimpin 2014 haruslah mampu hidup dalam paradoks, mampu naik perahu dalam gelombang besar menuju tujuan, bukan hanya mengatur keseimbangan untuk tidak jatuh serta mendebatkan cara sampai tujuan, sementara perahu selalu lambat sampai tujuan.

”Aku memilih tetap di pulau itu. Aku memilih matahari yang hangat yang telah membuatku bertahan lama, tetapi ternyata aku tidak bisa memilih. Aku karam.” Inilah cukilan dari tulisan Nakamura tahun 1979, serdadu Jepang yang selama 30 tahun sembunyi di hutan dari kejaran Sekutu, setelah keluar, lima tahun kemudian meninggal di tanah kelahirannya. Tulisan sederhana ini, memberi isyarat, bahwa alam Indonesia mampu memberi daya tahan bangsa dalam berbagai krisis. Namun, untuk tidak ”karam” di masa depan, memang diperlukan pemimpin yang mampu melakukan transformasi berbagai kekayaan alam yang kini tinggal sedikit untuk menjadi produktivitas kebangkitan karena sesungguhnya pemimpin bangsa ini diberi banyak pilihan, tidak seperti nasib Nakamura yang tak ada pilihan.


Saatnya, pemimpin Indonesia belajar dari sejarah dan menghidupkannya dalam politik yang bertindak. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar