|
KOMPAS,
30 Juni 2013
“Morotai tahun 1944 macet seperti Jakarta sekarang, dipenuhi serdadu
Amerika dan Australia, truk, mobil, tank....” Demikian Haji Anis bercerita di rumahnya saat minggu lalu saya menulis
skenario di Morotai, Maluku utara.
”I shall return” itulah kata
populer MacArthur sewaktu diminta mundur dari Filipina ke Australia ketika
Jepang menguasai Pasifik. Namun, tidak pernah saya bayangkan, MacArthur akan
kembali mengalahkan Jepang lewat Morotai dengan 60.000 pasukan disertai kapal
induk mengangkut ratusan truk, tank, mobil, bersama ratusan kapal penyerang dan
pesawat terbang. Pulau kecil antara Sulawesi dan Papua ini berubah menjadi kota
kecil dengan ribuan tenda hingga kantor, rumah sakit, pabrik lemon, bahkan
pabrik roti rakitan dari besi baja terbaik.
Serbuan MacArthur dari Papua,
Sulawesi, hingga Morotai dikenal sebagai strategi jurus katak. Strategi ini
tidak saja mengandung gagasan jenuin, tetapi juga peta masalah yang rinci,
sekaligus manajemen tindakan yang terukur dalam skala yang luar biasa. Inilah
politik tindakan yang menjadi syarat kepemimpinan.
Maka, ketika beragam masalah di
negeri ini lebih dipecahkan dengan politik debat ketimbang politik tindakan,
Morotai mengisyaratkan perlunya tahun 2014 mencari presiden berjurus katak.
Tanggal 17-21 Juni 2013, ketika
menyusuri kepulauan di Maluku utara, saya diajak membaca kembali sejarah
kepulauan Maluku yang senantiasa dipenuhi drama. Abad ke-15, Magelhaens,
pengelana Portugis ternama dengan awak kapal terbesar abad itu, mengalami
kelaparan ketika menyeberangi samudra Hindia menuju kepulauan Maluku. Awak
kapal harus membuat makanan serupa biskuit dari serbuk kayu dicampur dengan
kotoran tikus.
Kisah penuh drama ini muncul
kembali ketika di Ternate saya bertemu teman lama Pak Anton (50). Kami bertemu
pada 1999 di pelabuhan Ambon di tengah lebih dari 300.000 pengungsi yang
berebut naik kapal. Pak Anton, yang dahulu pengusaha tahu, kini menjadi tukang
ojek di Ternate. Sahabat saya ini selalu bercerita tentang perjalanan menuju
pelabuhan dengan tank tentara yang pengap dan lewat lubang kecil dalam tank
melihat kekacauan serta kekerasan yang begitu mengancam.
Perjalanan ke Kepulauan Maluku
selalu mengisyaratkan tentang paradoks Indonesia: keindahan kekayaan vs
tragedi, ketidakberdayaan vs harapan, kedamaian surgawi vs kekacauan kekerasan.
Sebuah kotak pandora yang mengisyaratkan bahwa pemimpin 2014 haruslah mampu
hidup dalam paradoks, mampu naik perahu dalam gelombang besar menuju tujuan,
bukan hanya mengatur keseimbangan untuk tidak jatuh serta mendebatkan cara
sampai tujuan, sementara perahu selalu lambat sampai tujuan.
”Aku memilih tetap di pulau itu.
Aku memilih matahari yang hangat yang telah membuatku bertahan lama, tetapi
ternyata aku tidak bisa memilih. Aku karam.” Inilah cukilan dari tulisan
Nakamura tahun 1979, serdadu Jepang yang selama 30 tahun sembunyi di hutan dari
kejaran Sekutu, setelah keluar, lima tahun kemudian meninggal di tanah
kelahirannya. Tulisan sederhana ini, memberi isyarat, bahwa alam Indonesia
mampu memberi daya tahan bangsa dalam berbagai krisis. Namun, untuk tidak
”karam” di masa depan, memang diperlukan pemimpin yang mampu melakukan transformasi
berbagai kekayaan alam yang kini tinggal sedikit untuk menjadi produktivitas
kebangkitan karena sesungguhnya pemimpin bangsa ini diberi banyak pilihan,
tidak seperti nasib Nakamura yang tak ada pilihan.
Saatnya, pemimpin Indonesia belajar
dari sejarah dan menghidupkannya dalam politik yang bertindak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar