|
KORAN
SINDO, 30 Juni 2013
Sebagai
seorang yang sudah hampir 30 tahun menjadi pengamat, pengajar, dan peneliti
dalam ilmu kepolisian, menjelang HUT Bhayangkara, 1 Juli 2013, perkenankan saya
sampaikan wacana saya pribadi tentang Polri yang ideal baik secara filosofis
maupun strategis.
Polri adalah sebuah organisasi yang bersifat nasional, berbeda dari beberapa organisasi kepolisian di negara lain yang bersifat lokal (sheriff, constabulary dll). Polri adalah satu-satunya polisi Indonesia. Di sisi lain, Indonesia adalah negara yang sangat luasdansangat majemuk, dalam arti geografis, demografis, etnis, agama, adat, budaya, bahasa, dan 1.001 macam faktor lain. Aceh bukan Papua, Jakarta Selatan berbeda dari Jakarta Barat maupun Sulawesi Selatan.
Penegakan hukum nasional yang menjadi misi utama Polri sering kali harus berbenturan dengan hukum adat dan hukum agama (di zaman Belanda diakui sebagai hukum positif) atau kearifan lokal. Selama ini peran polda, Mabes Polri, bahkan unsur-unsur politik di luar Polri di Jakarta sering kali begitu besarnya sehingga menghambat kapolres untuk membuat keputusan dan/atau diskresi yang paling tepat untuk tingkat lokal.
Padahalyangpaling tahu permasalahan lokal sebetulnya adalah kapolres, bukan kapolda, apalagi kapolri. Karena itu agar Polri bisa lebih menjawab permasalahan lokal, struktur, dan fungsi organisasi yang paling tepat untuk Polri adalah terpusat pada polres. Polda, apalagi Mabes, hanya berfungsi sebagai pendukung, pengadministrasian, dan penyedia sarana/prasarana maupun bantuan teknis dan/atau operasional (Brimob, Densus, Polair/Poludara dll).
Wilayah geografis yang berbeda-beda juga perlu diwujudkan dalam ciri polda yang berbeda-beda juga. Polda-polda Metropolitan memerlukan kendaraan bermotor untuk berpatroli, patroli jalan kaki, pelayanan masyarakat di mal-mal dll, tetapi polda-polda perairan memerlukan polsek-polsek terapung yang rutin berkeliling dari pulau-ke-pulau untuk melayani masyarakat di pulau-pulau yang jauh.
Di Polda Papua, perlu banyak polisi udara, tetapi satuan lalu-lintasnya kecil saja dan seterusnya. Dengan ciri masingmasingpada poldayangkhastersebut, rencana pengembangan, rencana anggaran, bahkan rencana strategis Polri harus disusun mulai dari bawah. Sistem manajemen anggaran dan sistem manajemen sarana-prasarana harus memberi peluang yang luas kepada polres untuk mengajukan rencana-rencananya berdasarkan keperluan riil di daerah, untuk kemudian diolah menjadi sistem anggaran di tingkat polda dan dikoordinasikan dengan instansi samping (pemda, TNI, dll) agar terjadi efisiensi di tingkat provinsi.
Di tingkat Mabes perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan dana yang tersedia di pemerintah pusat. Pengembangan karier di lingkungan Polri saat ini (khususnya untuk perwira) masih berorientasi ke Mabes. Semua lulusan Akpol bercita-cita untuk jadi jenderal dan jalur untuk jadi jenderal adalah Akpol-PTIKSespim- Sespati. Penempatan pun sebisa mungkin di wilayah atau di fungsi yang masih dekat dengan Pulau Jawa, khususnya Jakarta.
Kalau bisa semua kebagian, khususnya teman-teman yang seangkatan di Akpol. Mereka akan saling memperjuangkan kelompok masing-masing. Di sinilah timbul peluang KKN yang sangat buruk dampaknya terhadap kinerja dan citra Polri secara keseluruhan. Dampak dalam bidang pembinaan karier/penggunaan juga sangat buruk. Rata-rata perwira lulusan Akpol atau yang masuk orbit “calon bintang” (ada beberapa juga yang non-Akpol) hanya setahun atau bahkan kurang saat ditempatkan di suatu wilayah.
Untuk seorang pimpinan wilayah waktu yang sebentar itu tidak memberinya kesempatan untuk mengenal daerahnya, apalagi menyusun rencana strategis untuk unit yang dipimpinnya. Untuk mengenal anggotanya pun tidak cukup waktu sehingga pimpinan tidak pernah dekat dengan anak buahnya. Jika tiba-tiba ada anak buah yang bunuh diri atau terlibat judi atau korupsi, kapolda cuma ikut bengong saja.
Salah-salah dia sendiri ikut dicopot. Karena itulah puncak karier seorang perwira polisi seharusnya ada di polres. Pangkat kapolres juga hanya setingkat di bawah kapolda dan dua tingkat di bawah kapolri. Demikian juga gaji dan fasilitasnya. Sistem kepangkatan dan penggajian Polri tidak boleh mengacu pada sistem PGPS atau TNI (lebih baik mengacu pada sistem penggajian KPK). Jenjang kepangkatan perlu dipangkas dari 16 (dari bintara sampai dengan pati) menjadi 9 saja (termasuk tamtama).
Dengan demikian, anggota dan perwira Polri akan mengakar di daerah penugasan masing-masing dan bisa melaksanakan tugasnya sebagai polisi nasional yang sekaligus juga lokal. Sistem pendidikan Polri perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan fungsi organisasi yang baru. Semua calon anggota polisi masuk melalui satu pintu, yaitu SPN (Sekolah Polisi Negara) dan semua mulai dengan pangkat tamtama atau agen (di Inggris: constable, di AS: officer).
Intinya, lembaga pendidikan Polri isinya hanya satu, yaitu SPN. Berbagai pendidikan kejuruan ditempatkan di SPN. SPN ini mendidik skill (menembak, menyidik, olah TKP, dll), termasuk skill tingkat tinggi (seperti yang diajarkan di sekolah staf dan pimpinan tingkat tinggi). Dengan demikian bisa dihapuskan budaya ingroup-outgroup (Akpol non-Akpol) yang selama ini berlaku dan sangat memengaruhi kinerja Polri.
STIK (Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian) dijadikan institusi akademis seperti perguruan tinggi biasa, yang berfungsi untuk mengembangkan ilmu-ilmu yang terkait dengan kepolisian (teknologi kepolisian, kedokteran kepolisian, psikologi kepolisian, manajemen kepolisian, dll). Dosennya adalah dosen profesional yang memang berkarier di bidang akademis. Tidak seperti sekarang, yaitu setengah-setengah.
Masuk lembaga pendidikan untuk cari job dan pangkat saja, sesudah itu balik lagi ke lapangan. Ujung-ujungnya jadi perwira tinggi (pol) yang juga profesor. Terakhir, fungsi PNS di lingkungan Polri perlu dioptimalkan. PNS bukan warga negara kelas dua di lingkungan Polri. Di Selandia Baru, saya berkenalan dengan direktur akademi kepolisian yang seorang insinyur dan sipil (nonpolisi). Anak buahnya sebagian sipil, sebagian polisi berseragam, dan sebagian lainnya polisi tak berseragam. Jadi tidak ada diskriminasi terhadap PNS di Kepolisian Selandia Baru.
Dengan demikian tidak harus lagi seorang montir atau bahkan profesional di lingkungan Polri jadi polisi, padahal job-nya tidak ada hubungan dengan kepolisian. Juga tidak perlu ada lagi seorang brigjen (pol) eks Akpol menjadi kepala biro psikologi hanya karena di lingkungan psikolog Polri belum ada yang berbintang satu. Dirgahayu Polri. ●
Polri adalah sebuah organisasi yang bersifat nasional, berbeda dari beberapa organisasi kepolisian di negara lain yang bersifat lokal (sheriff, constabulary dll). Polri adalah satu-satunya polisi Indonesia. Di sisi lain, Indonesia adalah negara yang sangat luasdansangat majemuk, dalam arti geografis, demografis, etnis, agama, adat, budaya, bahasa, dan 1.001 macam faktor lain. Aceh bukan Papua, Jakarta Selatan berbeda dari Jakarta Barat maupun Sulawesi Selatan.
Penegakan hukum nasional yang menjadi misi utama Polri sering kali harus berbenturan dengan hukum adat dan hukum agama (di zaman Belanda diakui sebagai hukum positif) atau kearifan lokal. Selama ini peran polda, Mabes Polri, bahkan unsur-unsur politik di luar Polri di Jakarta sering kali begitu besarnya sehingga menghambat kapolres untuk membuat keputusan dan/atau diskresi yang paling tepat untuk tingkat lokal.
Padahalyangpaling tahu permasalahan lokal sebetulnya adalah kapolres, bukan kapolda, apalagi kapolri. Karena itu agar Polri bisa lebih menjawab permasalahan lokal, struktur, dan fungsi organisasi yang paling tepat untuk Polri adalah terpusat pada polres. Polda, apalagi Mabes, hanya berfungsi sebagai pendukung, pengadministrasian, dan penyedia sarana/prasarana maupun bantuan teknis dan/atau operasional (Brimob, Densus, Polair/Poludara dll).
Wilayah geografis yang berbeda-beda juga perlu diwujudkan dalam ciri polda yang berbeda-beda juga. Polda-polda Metropolitan memerlukan kendaraan bermotor untuk berpatroli, patroli jalan kaki, pelayanan masyarakat di mal-mal dll, tetapi polda-polda perairan memerlukan polsek-polsek terapung yang rutin berkeliling dari pulau-ke-pulau untuk melayani masyarakat di pulau-pulau yang jauh.
Di Polda Papua, perlu banyak polisi udara, tetapi satuan lalu-lintasnya kecil saja dan seterusnya. Dengan ciri masingmasingpada poldayangkhastersebut, rencana pengembangan, rencana anggaran, bahkan rencana strategis Polri harus disusun mulai dari bawah. Sistem manajemen anggaran dan sistem manajemen sarana-prasarana harus memberi peluang yang luas kepada polres untuk mengajukan rencana-rencananya berdasarkan keperluan riil di daerah, untuk kemudian diolah menjadi sistem anggaran di tingkat polda dan dikoordinasikan dengan instansi samping (pemda, TNI, dll) agar terjadi efisiensi di tingkat provinsi.
Di tingkat Mabes perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan dana yang tersedia di pemerintah pusat. Pengembangan karier di lingkungan Polri saat ini (khususnya untuk perwira) masih berorientasi ke Mabes. Semua lulusan Akpol bercita-cita untuk jadi jenderal dan jalur untuk jadi jenderal adalah Akpol-PTIKSespim- Sespati. Penempatan pun sebisa mungkin di wilayah atau di fungsi yang masih dekat dengan Pulau Jawa, khususnya Jakarta.
Kalau bisa semua kebagian, khususnya teman-teman yang seangkatan di Akpol. Mereka akan saling memperjuangkan kelompok masing-masing. Di sinilah timbul peluang KKN yang sangat buruk dampaknya terhadap kinerja dan citra Polri secara keseluruhan. Dampak dalam bidang pembinaan karier/penggunaan juga sangat buruk. Rata-rata perwira lulusan Akpol atau yang masuk orbit “calon bintang” (ada beberapa juga yang non-Akpol) hanya setahun atau bahkan kurang saat ditempatkan di suatu wilayah.
Untuk seorang pimpinan wilayah waktu yang sebentar itu tidak memberinya kesempatan untuk mengenal daerahnya, apalagi menyusun rencana strategis untuk unit yang dipimpinnya. Untuk mengenal anggotanya pun tidak cukup waktu sehingga pimpinan tidak pernah dekat dengan anak buahnya. Jika tiba-tiba ada anak buah yang bunuh diri atau terlibat judi atau korupsi, kapolda cuma ikut bengong saja.
Salah-salah dia sendiri ikut dicopot. Karena itulah puncak karier seorang perwira polisi seharusnya ada di polres. Pangkat kapolres juga hanya setingkat di bawah kapolda dan dua tingkat di bawah kapolri. Demikian juga gaji dan fasilitasnya. Sistem kepangkatan dan penggajian Polri tidak boleh mengacu pada sistem PGPS atau TNI (lebih baik mengacu pada sistem penggajian KPK). Jenjang kepangkatan perlu dipangkas dari 16 (dari bintara sampai dengan pati) menjadi 9 saja (termasuk tamtama).
Dengan demikian, anggota dan perwira Polri akan mengakar di daerah penugasan masing-masing dan bisa melaksanakan tugasnya sebagai polisi nasional yang sekaligus juga lokal. Sistem pendidikan Polri perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan fungsi organisasi yang baru. Semua calon anggota polisi masuk melalui satu pintu, yaitu SPN (Sekolah Polisi Negara) dan semua mulai dengan pangkat tamtama atau agen (di Inggris: constable, di AS: officer).
Intinya, lembaga pendidikan Polri isinya hanya satu, yaitu SPN. Berbagai pendidikan kejuruan ditempatkan di SPN. SPN ini mendidik skill (menembak, menyidik, olah TKP, dll), termasuk skill tingkat tinggi (seperti yang diajarkan di sekolah staf dan pimpinan tingkat tinggi). Dengan demikian bisa dihapuskan budaya ingroup-outgroup (Akpol non-Akpol) yang selama ini berlaku dan sangat memengaruhi kinerja Polri.
STIK (Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian) dijadikan institusi akademis seperti perguruan tinggi biasa, yang berfungsi untuk mengembangkan ilmu-ilmu yang terkait dengan kepolisian (teknologi kepolisian, kedokteran kepolisian, psikologi kepolisian, manajemen kepolisian, dll). Dosennya adalah dosen profesional yang memang berkarier di bidang akademis. Tidak seperti sekarang, yaitu setengah-setengah.
Masuk lembaga pendidikan untuk cari job dan pangkat saja, sesudah itu balik lagi ke lapangan. Ujung-ujungnya jadi perwira tinggi (pol) yang juga profesor. Terakhir, fungsi PNS di lingkungan Polri perlu dioptimalkan. PNS bukan warga negara kelas dua di lingkungan Polri. Di Selandia Baru, saya berkenalan dengan direktur akademi kepolisian yang seorang insinyur dan sipil (nonpolisi). Anak buahnya sebagian sipil, sebagian polisi berseragam, dan sebagian lainnya polisi tak berseragam. Jadi tidak ada diskriminasi terhadap PNS di Kepolisian Selandia Baru.
Dengan demikian tidak harus lagi seorang montir atau bahkan profesional di lingkungan Polri jadi polisi, padahal job-nya tidak ada hubungan dengan kepolisian. Juga tidak perlu ada lagi seorang brigjen (pol) eks Akpol menjadi kepala biro psikologi hanya karena di lingkungan psikolog Polri belum ada yang berbintang satu. Dirgahayu Polri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar