|
SUARA
KARYA, 02 Juli 2013
"Gloriosum est iniurias oblivisci (It is glorious to
forget in justice".
Majelis Mahkamah Konstitusi (MK),
dengan Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 tanggal 23 Maret 2013, telah mengabulkan
permohonan uji materiil (judicial review)
terhadap Pasal 66 (ayat (1) UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang
diajukan Sdr Kant Kamal.
Amar putusan MK pada intinya
membatalkan frasa dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD) dalam pasal
yang diuji. Dengan demikian pemeriksaan proses hukum yang melibatkan notaris
tidak memerlukan persetujuan MPD lagi dan frasa tersebut dianggap bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Keputusan ini final
and binding dan harus ditaati.
Putusan MK tersebut cukup
menghentak dunia notaris yang saat ini merasa mendapat perlindungan frasa
tersebut. Karena, penegak hukum terutama polisi tidak boleh serta-merta demi
proses peradilan pidana mengambil dokumen dalam penyimpanan notaris dan
memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang bersentuhan dengan dokumen-dokumen
yang dibuatnya, tanpa persetujuan MPD.
Pemicunya, hal tersebut dianggap
melanggar prinsip persamaan di depan hukum (equality
before the law) yang tersurat dan tersirat dalam Pasal 28 ayat (1) UUD 1945
yang bersifat universal sesuai pula dengan Article 26 ICCPR (International Covenant on Civiland Political
Rights) 1966 yang juga sudah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU
No.12/2005. Di sini ditegaskan adanya persamaan kedudukan semua orang di depan
hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama (equal protection) tanpa diskriminasi.
Di samping itu, menurut MK, ada
suatu prinsip demokrasi dan rule of law
yang dapat dicederai dengan frasa di atas, yaitu kekuasaan kehakiman yang
merdeka (independence of the judiciary),
yang harus dikawal oleh MK dan Mahkamah Agung (MA). Campur tangan MPD juga
dianggap dapat menimbulkan penundaan proses peradilan dan keadilan (justice delayed justice denied).
Sementara penundaan keadilan juga melanggar HAM (delay of justice is violation of human rights).
Perkecualian tentu saja
dimungkinkan terhadap kedudukan notaris sepanjang berkaitan dengan Kode Etik
Notaris yang bersentuhan dengan sikap, tingkah laku dan moralitas serta
kehormatan (dignity) notaris, bukan
dalam penegakan hukum, khususnya sistem peradilan pidana (criminal justice system). Gangguan terhadap kekuasaan kehakiman
yang merdeka dan bersifat universal bisa menimbulkan ketidakadilan (criminal injustice system).
Mencermati Putusan MK tersebut,
para notaris harus berjiwa besar (legowo).
Notaris harus mentaati Keputusan MK sebagai penjaga pilar-pilar negara hukum,
khususnya kekuasaan kehakiman yang merdeka bersama MA. Sebagai pejabat negara,
notaris tidak kebal hukum.
Indonesia secara konstitusional
adalah negara hukum. Setiap orang termasuk aparat negara harus tunduk pada
hukum, menghormati kekuasaan kehakiman yang merdeka, menjamin access to justice siapa saja dan
menegakkan hukum secara pasti (legal
certainty), keadilan (justice)
dan tanpa tebang pilih (equal). Bagi suatu negara, kedudukan konstitusi sangat
tinggi dan strategis. Konstitusi (UUD 1945) bersifat superior dalam kehidupan
demokrasi yang harus dikawal MK sebagai the
Guardian of Constitution. Konstitusi menjaga supremasi hukum, keadilan,
kekuasaan kehakiman yang merdeka, menjaga HAM dan menyelenggarakan sistem checks and balances.
Putusan MK tidak mungkin diajukan
uji materiil kembali. Para notaris pun sudah terlambat untuk menginginkan
kemungkinan kembalinya frasa di atas, dengan alasan notaris merupakan pejabat
negara, harus menjaga rahasia klien dan sebagainya. Maka, notaris dan
organisasinya (INI) harus melakukan langkah pasca Putusan MK. Yakni, menjaga
profesionalisme berunsurkan expertise,
responsibility and corporateness dan taat pada prinsip good governance dan etika profesi.
Rahasia jabatan atas dasar hak
ingkar pun (verschoningsrecht) tidak
bersifat absolut karena bisa dikesampingkan apabila terdapat kepentingan yang
lebih tinggi. Yaitu, supremasi hukum, atas perintah hakim berdasarkan UU (Pasal
170 ayat 1 dan 2 KUHAP). Contohnya, dalam perkara korupsi dan perpajakan, tanpa
khawatir dituntut atas dasar Pasal 322 KUHP.
Harus diingatkan pula bahwa para
penegak hukum dalam sistem peradilan pidana harus benar-benar cermat sebelum
memasuki wilayah kerja notaris, karena dunia notaris diwarnai oleh hukum
profesi dalam hubungan (duty) antara
notaris dan klien berdasarkan hukum dan sumpah jabatan adalah jabatan
kepercayaan.
Organisasi notaris harus cepat
mengambil langkah-langkah tertentu agar anggota tidak resah dan sekaligus untuk
mengembalikan kewibawaan dan kehormatan notaris. Antara lain:
1) melaksanakan sosialisasi
pemahaman persepsi tentang dunia notaris dengan pihak penyidik, baik kepolisian
maupun kejaksaan;
2) menyiapkan 'tim pendampingan
khusus' anggota yang terkena permasalahan;
3) menertibkan anggotanya yang
melanggar kode etik dan UUJN.
4) Aktif melakukan koordinasi dan
sosialisasi dengan lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan
instansi-instansi lainnya yang terkait dunia pekerjaan notaris;
5) meminimalisir hal-hal yang
mengundang perpecahan di antara para anggotanya;
6) membentuk 'tim khusus' untuk
sosialisasi aturan-aturan serta hukum yang berlaku di dunia notaris, agar para
anggota dalam menjalankan jabatannya merasa nyaman tidak dalam tekanan dari
pihak mana pun, khususnya instansi yang bermitra dengan notaris.
Akhirnya para notaris harus
bertanya sekaligus menjawab pertanyaan, 'Kalau
kita bersih dan taat hukum, mengapa takut? Kalau kita benar, mengapa resah?'
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar