Rabu, 03 Juli 2013

Notaris Pasca Putusan MK

Notaris Pasca Putusan MK
Diah Sulistyani Muladi ;  Notaris-PPAT Jakarta Barat, dosen Unes
dan beberapa universitas di Jakarta, alumnus PPSA 17 Lemhannas RI
SUARA KARYA, 02 Juli 2013


"Gloriosum est iniurias oblivisci (It is glorious to forget in justice".

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK), dengan Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 tanggal 23 Maret 2013, telah mengabulkan permohonan uji materiil (judicial review) terhadap Pasal 66 (ayat (1) UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang diajukan Sdr Kant Kamal.

Amar putusan MK pada intinya membatalkan frasa dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD) dalam pasal yang diuji. Dengan demikian pemeriksaan proses hukum yang melibatkan notaris tidak memerlukan persetujuan MPD lagi dan frasa tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Keputusan ini final and binding dan harus ditaati.

Putusan MK tersebut cukup menghentak dunia notaris yang saat ini merasa mendapat perlindungan frasa tersebut. Karena, penegak hukum terutama polisi tidak boleh serta-merta demi proses peradilan pidana mengambil dokumen dalam penyimpanan notaris dan memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang bersentuhan dengan dokumen-dokumen yang dibuatnya, tanpa persetujuan MPD.

Pemicunya, hal tersebut dianggap melanggar prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law) yang tersurat dan tersirat dalam Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 yang bersifat universal sesuai pula dengan Article 26 ICCPR (International Covenant on Civiland Political Rights) 1966 yang juga sudah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No.12/2005. Di sini ditegaskan adanya persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama (equal protection) tanpa diskriminasi.

Di samping itu, menurut MK, ada suatu prinsip demokrasi dan rule of law yang dapat dicederai dengan frasa di atas, yaitu kekuasaan kehakiman yang merdeka (independence of the judiciary), yang harus dikawal oleh MK dan Mahkamah Agung (MA). Campur tangan MPD juga dianggap dapat menimbulkan penundaan proses peradilan dan keadilan (justice delayed justice denied). Sementara penundaan keadilan juga melanggar HAM (delay of justice is violation of human rights).

Perkecualian tentu saja dimungkinkan terhadap kedudukan notaris sepanjang berkaitan dengan Kode Etik Notaris yang bersentuhan dengan sikap, tingkah laku dan moralitas serta kehormatan (dignity) notaris, bukan dalam penegakan hukum, khususnya sistem peradilan pidana (criminal justice system). Gangguan terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat universal bisa menimbulkan ketidakadilan (criminal injustice system).

Mencermati Putusan MK tersebut, para notaris harus berjiwa besar (legowo). Notaris harus mentaati Keputusan MK sebagai penjaga pilar-pilar negara hukum, khususnya kekuasaan kehakiman yang merdeka bersama MA. Sebagai pejabat negara, notaris tidak kebal hukum.

Indonesia secara konstitusional adalah negara hukum. Setiap orang termasuk aparat negara harus tunduk pada hukum, menghormati kekuasaan kehakiman yang merdeka, menjamin access to justice siapa saja dan menegakkan hukum secara pasti (legal certainty), keadilan (justice) dan tanpa tebang pilih (equal). Bagi suatu negara, kedudukan konstitusi sangat tinggi dan strategis. Konstitusi (UUD 1945) bersifat superior dalam kehidupan demokrasi yang harus dikawal MK sebagai the Guardian of Constitution. Konstitusi menjaga supremasi hukum, keadilan, kekuasaan kehakiman yang merdeka, menjaga HAM dan menyelenggarakan sistem checks and balances.

Putusan MK tidak mungkin diajukan uji materiil kembali. Para notaris pun sudah terlambat untuk menginginkan kemungkinan kembalinya frasa di atas, dengan alasan notaris merupakan pejabat negara, harus menjaga rahasia klien dan sebagainya. Maka, notaris dan organisasinya (INI) harus melakukan langkah pasca Putusan MK. Yakni, menjaga profesionalisme berunsurkan expertise, responsibility and corporateness dan taat pada prinsip good governance dan etika profesi.

Rahasia jabatan atas dasar hak ingkar pun (verschoningsrecht) tidak bersifat absolut karena bisa dikesampingkan apabila terdapat kepentingan yang lebih tinggi. Yaitu, supremasi hukum, atas perintah hakim berdasarkan UU (Pasal 170 ayat 1 dan 2 KUHAP). Contohnya, dalam perkara korupsi dan perpajakan, tanpa khawatir dituntut atas dasar Pasal 322 KUHP.

Harus diingatkan pula bahwa para penegak hukum dalam sistem peradilan pidana harus benar-benar cermat sebelum memasuki wilayah kerja notaris, karena dunia notaris diwarnai oleh hukum profesi dalam hubungan (duty) antara notaris dan klien berdasarkan hukum dan sumpah jabatan adalah jabatan kepercayaan.

Organisasi notaris harus cepat mengambil langkah-langkah tertentu agar anggota tidak resah dan sekaligus untuk mengembalikan kewibawaan dan kehormatan notaris. Antara lain:
1) melaksanakan sosialisasi pemahaman persepsi tentang dunia notaris dengan pihak penyidik, baik kepolisian maupun kejaksaan;
2) menyiapkan 'tim pendampingan khusus' anggota yang terkena permasalahan;
3) menertibkan anggotanya yang melanggar kode etik dan UUJN.
4) Aktif melakukan koordinasi dan sosialisasi dengan lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan instansi-instansi lainnya yang terkait dunia pekerjaan notaris;
5) meminimalisir hal-hal yang mengundang perpecahan di antara para anggotanya;
6) membentuk 'tim khusus' untuk sosialisasi aturan-aturan serta hukum yang berlaku di dunia notaris, agar para anggota dalam menjalankan jabatannya merasa nyaman tidak dalam tekanan dari pihak mana pun, khususnya instansi yang bermitra dengan notaris.


Akhirnya para notaris harus bertanya sekaligus menjawab pertanyaan, 'Kalau kita bersih dan taat hukum, mengapa takut? Kalau kita benar, mengapa resah?'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar