Senin, 01 Juli 2013

Postur Baru BBM Bersubsidi

Postur Baru BBM Bersubsidi
Ali Masykur Musa ;  Ketua Umum PP ISNU, Penggagas Gerakan AMM Berdedikasi
MEDIA INDONESIA, 28 Juni 2013


SEJAK awal dekade 2000, Indonesia telah beralih status dari negara eksportir menjadi net importir minyak. Dengan importasi bahan bakar minyak (BBM) dan minyak mentah yang mencapai lebih sepertiga dari kebutuhan nasional, harga BBM nasional sangat bergantung pada harga internasional. Akibat impor BBM yang terus naik, defisit fiskal membengkak sehingga mengancam neraca pembayaran. Subsidi BBM yang berlangsung selama ini tidak sesuai dengan ketentuan UU 30/2007 tentang Energi. Di dalam Pasal 7 ayat (2) disebutkan, subsidi disediakan untuk kelompok masyarakat tidak mampu. Namun kenyataannya, subsidi BBM banyak dinikmati kelas menengah pemilik kendaraan bermotor, yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun.

Masih hangat di ingatan, Sabtu (22/6) dini hari, pemerintah secara resmi menaikkan harga BBM bersubsidi jenis premium Rp6.500 per liter dan solar Rp5.500 per liter. Selain dipergunakan untuk mengimbangi harga minyak dunia, penaikan harga BBM bersubsidi itu diniatkan untuk mengurangi pembelian BBM bersubsidi oleh golongan atas. Namun, apa yang terjadi di lapangan menggambarkan mayoritas subsidi masih diisap golongan menengah atas.
Bagaimana tidak, berdasar catatan PT Pertamina sehari setelah harga naik, konsumsi BBM bukan malah turun, me lainkan malah naik mencapai 84 ribu kiloliter (kl) dari konsumsi normal yang hanya 80 ribu kl per hari, dan penggunanya sebagian besar masih kendaraan beroda empat.

Lebih ironis lagi, peningkatan penggunaan kendaraan pribadi berbanding lurus dengan miskinnya infrastruktur publik, terutama fasilitas transportasi umum. BBM subsidi terdiri atas premium (60%), solar (34%), dan minyak tanah (6%). Sebagian besar BBM bersubsidi dibakar untuk moda transportasi darat (89%), rumah tangga (6%), perikanan (3%), transportasi air (1%), dan usaha kecil (1%). Konsumsi premium 53% diserap mobil pribadi, 40% motor, 4% kendaraan usaha, dan hanya 3% angkutan umum. Sementara itu, solar dikonsumsi 43% mobil barang, 40% bus, 16% mobil pribadi, dan 1% kendaraan umum.

Dari segi wilayah, kon sumsi BBM bersubsidi diserap 59% di Jawa-Bali, 22% di Sumatra, 7% di Kalimantan, 2% di NTB-NTT, dan 10% di kawasan barat dan timur Indonesia. Angka-angka itu menunjukkan ketidaktepatan sasaran penerima subsidi karena premium justru dinikmati segmen kelas menengah pemilik kendaraan pribadi yang kurang mustahik, yang kini jumlahnya mencapai 56,5% dari seluruh total populasi Indonesia, dan 81% berada di Jawa-Bali.

Ketimpangan alokasi

Namun, permasalahan tidak berhenti dengan penaikan harga BBM bersubsidi. Ada bola panas yang menjalar ke APBN. Alokasi subsidi BBM pada APBN-P 2013 yang telah disahkan DPR menjadi lebih besar, yakni bertambah Rp6,1 triliun dari Rp194 triliun pada APBN 2013. Defisit APBN pun relatif melonjak dari 1,7% PDB APBN 2013 menjadi 2,4% PDB di APBN-P 2013. Akibatnya, pemerintah harus berutang lebih banyak, yang sayangnya sebagian besar tambahan utang itu dipergunakan untuk menyokong peningkatan konsumsi tidak produktif. Seperlima APBN telah tersedot untuk subsidi energi yang bersifat konsumtif. Hal itu membuat ruang gerak belanja negara untuk sektor produktif yang lebih bersifat jangka pan jang menjadi terbatas. Jika diteliti lebih jauh, akar permasalahan penyesuaian besaran subsidi BBM sebenar nya bukanlah defisit APBN, melainkan ketidakadilan yang terjadi dalam struk tur penerima subsidi BBM.

Dengan melihat kondisi seperti itu, seharusnya masyarakat berhak untuk kecewa, apalagi jika menilik 12% penduduk miskin, yang lebih dari separuhnya (63,4%) berada di desa, hanya kebagian program-program karitatif antikemiskinan. Pemerintah mengalihkan subsidi BBM senilai Rp27,9 triliun untuk lima program kompensasi, yakni penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin), program keluarga harapan, bantuan siswa miskin, pembangunan infrastruktur dasar, dan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM).

BLSM mendapatkan alokasi terbesar, yakni Rp9,7 triliun atau sepertiga dari total dana alokasi untuk 15,5 juta rumah tangga sasaran (RTS). BLSM ditujukan membantu sementara warga miskin untuk bertahan hidup terkait dengan kenaikan harga BBM. Lagi-lagi pemerintah mengadakan orkestra sinterklastik. Pemerintah tidak memberikan teladan tentang etos kerja dan dorongan dasar kepada rakyat untuk keluar dari jerat kemiskinan.

Ketimpangan itu jelas tidak menguntungkan masyarakat kecil, perombakan postur subsidi BBM demi rasa keadilan ialah hal yang sebenarnya wajib pemerintah lakukan. Contohnya, kuota BBM untuk petani dan nelayan ditambah dari 2 juta kl menjadi 10 juta kl, dengan membangun tambahan jumlah SPBU di sekitar pesisir dengan pola distribusi tertutup. Dana penghematan dialokasikan untuk program antikemiskinan di perdesaan bukan dalam bentuk BLSM. Sebagian untuk pembangunan infrastruktur publik dan transpor tasi umum. Sebagian lagi diperuntukkan investasi di sektor energi baru terbarukan agar Indonesia secara perlahan mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan energi fosil. Selain itu, untuk rencana jangka panjang, BBM bersubsidi hanya dipergunakan untuk transportasi publik dan masyarakat buruh seperti petani dan nelayan. Juga, yang paling penting, ada sebagian porsi yang dipergunakan untuk penyerapan tenaga kerja.

Bayangkan, apabila dana Rp27,9 triliun digunakan untuk mendirikan, contohnya UKM Mandiri, berapa banyak tenaga kerja yang diserap dan berapa banyak usaha yang bisa tumbuh dan berkembang sehingga bisa menciptakan lapangan kerja baru. Andai saja UKM memerlukan modal Rp10 juta saja, dengan dana subsidi BBM tersebut akan tercipta hampir tiga juta usaha baru. Dan bila tiga juta usaha baru membutuhkan sedikitnya tiga tenaga kerja, sembilan juta angkatan kerja akan terserap dan me miliki kepastian penghasilan dari usaha mereka. Itu artinya, 7,17 juta warga Indonesia yang tercatat sebagai pengang guran oleh BPS (Februari 2013) bisa terangkat harkat dan martabatnya.

Berkah politik BLSM

Sayangnya, kebijakan pemerintah masih belum menyentuh rencana-rencana yang lebih strategis untuk kemaslahatan rakyat. Tak urung, pembagian BLSM yang berbarengan dengan gejolak kenaikan harga BBM dinilai berbagai kalangan untuk peningkatan citra dan modal sosial partai politik penguasa. Bahkan, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mengamini penilaian berbagai kalangan dengan rilis penelitian mereka baru-baru ini. Survei LSI menunjukkan 46,95% publik menyatakan SBY paling berjasa. Disusul 11,47% responden menyatakan Hatta Rajasa yang berjasa. Dan, 16,12% yang menyatakan tokoh lain.

Sementara itu, sebanyak 49,45% publik menyatakan Partai Demokrat sebagai partai yang paling berjasa terhadap pemberian BLSM. Hanya 16,73% publik yang menilai partai politik lain berjasa. Sepertinya Demokrat dan SBY belajar betul pada fenomena Oktober 2005. Elektabilitas SBY dan Demokrat saat itu anjlok hingga 5%-10% akibat harga BBM naik. Namun, 2008 dan 2009 ketika bantuan langsung tunai (BLT) dibagikan, SBY dan Demokrat mendapat `berkah' kembali.

Sebenarnya, di saat tingkat kecerdasan rakyat semakin tinggi dalam memandang isu politik, masih belum bisa dibuktikan seberapa ampuh pemberian BLSM terhadap tingkat konsistensi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Memang penilaian positif naik setelah pemberian bantuan, tetapi akankah itu bisa bertahan lama di tengah begitu banyak permasalahan yang belum bisa dituntaskan negara? Korupsi, ketimpangan kesejahteraan Gini sebesar 0,41% yang merupakan angka terbesar semenjak kita merdeka, permasalahan infrastruktur, dan lain sebagainya ialah tantangan yang masih menunggu datangnya jalan keluar.


Indonesia membutuhkan pemimpin yang bisa menggerakkan semangat rakyatnya. Pemimpin yang benar-benar bisa be rpendirian teguh dan berani bertindak untuk memecahkan masalah negara. Hadirnya pemimpin harus memberi nyawa, memberikan perasaan kebersamaan di dalam setiap lini kehidupan berbangsa untuk Indonesia yang lebih bermartabat. Berkah tidak turun serta-merta kepada pemimpin yang tidak bisa memberikan keteladanan murni. Hanya perbuatan nyata dan ketulusan sikap pemimpin yang bisa mendatangkan sebenar-benarnya kepercayaan rakyat. Bukan perkara mudah bukan?  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar