|
MEDIA
INDONESIA, 28 Juni 2013
SEJAK
awal dekade 2000, Indonesia telah beralih status dari negara eksportir menjadi
net importir minyak. Dengan importasi bahan bakar minyak (BBM) dan minyak
mentah yang mencapai lebih sepertiga dari kebutuhan nasional, harga BBM
nasional sangat bergantung pada harga internasional. Akibat impor BBM yang
terus naik, defisit fiskal membengkak sehingga mengancam neraca pembayaran. Subsidi
BBM yang berlangsung selama ini tidak sesuai dengan ketentuan UU 30/2007
tentang Energi. Di dalam Pasal 7 ayat (2) disebutkan, subsidi disediakan untuk
kelompok masyarakat tidak mampu. Namun kenyataannya, subsidi BBM banyak
dinikmati kelas menengah pemilik kendaraan bermotor, yang jumlahnya terus
meningkat dari tahun ke tahun.
Masih hangat di ingatan, Sabtu
(22/6) dini hari, pemerintah secara resmi menaikkan harga BBM bersubsidi jenis
premium Rp6.500 per liter dan solar Rp5.500 per liter. Selain dipergunakan
untuk mengimbangi harga minyak dunia, penaikan harga BBM bersubsidi itu
diniatkan untuk mengurangi pembelian BBM bersubsidi oleh golongan atas. Namun,
apa yang terjadi di lapangan menggambarkan mayoritas subsidi masih diisap
golongan menengah atas.
Bagaimana tidak, berdasar catatan PT Pertamina sehari setelah harga naik,
konsumsi BBM bukan malah turun, me lainkan malah naik mencapai 84 ribu
kiloliter (kl) dari konsumsi normal yang hanya 80 ribu kl per hari, dan
penggunanya sebagian besar masih kendaraan beroda empat.
Lebih ironis lagi, peningkatan
penggunaan kendaraan pribadi berbanding lurus dengan miskinnya infrastruktur
publik, terutama fasilitas transportasi umum. BBM subsidi terdiri atas premium
(60%), solar (34%), dan minyak tanah (6%). Sebagian besar BBM bersubsidi
dibakar untuk moda transportasi darat (89%), rumah tangga (6%), perikanan (3%),
transportasi air (1%), dan usaha kecil (1%). Konsumsi premium 53% diserap mobil
pribadi, 40% motor, 4% kendaraan usaha, dan hanya 3% angkutan umum. Sementara
itu, solar dikonsumsi 43% mobil barang, 40% bus, 16% mobil pribadi, dan 1%
kendaraan umum.
Dari segi wilayah, kon sumsi BBM
bersubsidi diserap 59% di Jawa-Bali, 22% di Sumatra, 7% di Kalimantan, 2% di
NTB-NTT, dan 10% di kawasan barat dan timur Indonesia. Angka-angka itu
menunjukkan ketidaktepatan sasaran penerima subsidi karena premium justru
dinikmati segmen kelas menengah pemilik kendaraan pribadi yang kurang mustahik,
yang kini jumlahnya mencapai 56,5% dari seluruh total populasi Indonesia, dan
81% berada di Jawa-Bali.
Ketimpangan alokasi
Namun, permasalahan tidak
berhenti dengan penaikan harga BBM bersubsidi. Ada bola panas yang menjalar ke
APBN. Alokasi subsidi BBM pada APBN-P 2013 yang telah disahkan DPR menjadi
lebih besar, yakni bertambah Rp6,1 triliun dari Rp194 triliun pada APBN 2013.
Defisit APBN pun relatif melonjak dari 1,7% PDB APBN 2013 menjadi 2,4% PDB di
APBN-P 2013. Akibatnya, pemerintah harus berutang lebih banyak, yang sayangnya
sebagian besar tambahan utang itu dipergunakan untuk menyokong peningkatan
konsumsi tidak produktif. Seperlima APBN telah tersedot untuk subsidi energi
yang bersifat konsumtif. Hal itu membuat ruang gerak belanja negara untuk sektor
produktif yang lebih bersifat jangka pan jang menjadi terbatas. Jika diteliti
lebih jauh, akar permasalahan penyesuaian besaran subsidi BBM sebenar nya
bukanlah defisit APBN, melainkan ketidakadilan yang terjadi dalam struk tur
penerima subsidi BBM.
Dengan melihat kondisi seperti
itu, seharusnya masyarakat berhak untuk kecewa, apalagi jika menilik 12%
penduduk miskin, yang lebih dari separuhnya (63,4%) berada di desa, hanya
kebagian program-program karitatif antikemiskinan. Pemerintah mengalihkan
subsidi BBM senilai Rp27,9 triliun untuk lima program kompensasi, yakni
penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin), program keluarga harapan,
bantuan siswa miskin, pembangunan infrastruktur dasar, dan bantuan langsung
sementara masyarakat (BLSM).
BLSM mendapatkan alokasi
terbesar, yakni Rp9,7 triliun atau sepertiga dari total dana alokasi untuk 15,5
juta rumah tangga sasaran (RTS). BLSM ditujukan membantu sementara warga miskin
untuk bertahan hidup terkait dengan kenaikan harga BBM. Lagi-lagi pemerintah
mengadakan orkestra sinterklastik. Pemerintah tidak memberikan teladan tentang
etos kerja dan dorongan dasar kepada rakyat untuk keluar dari jerat kemiskinan.
Ketimpangan itu jelas tidak
menguntungkan masyarakat kecil, perombakan postur subsidi BBM demi rasa keadilan
ialah hal yang sebenarnya wajib pemerintah lakukan. Contohnya, kuota BBM untuk
petani dan nelayan ditambah dari 2 juta kl menjadi 10 juta kl, dengan membangun
tambahan jumlah SPBU di sekitar pesisir dengan pola distribusi tertutup. Dana
penghematan dialokasikan untuk program antikemiskinan di perdesaan bukan dalam
bentuk BLSM. Sebagian untuk pembangunan infrastruktur publik dan transpor tasi
umum. Sebagian lagi diperuntukkan investasi di sektor energi baru terbarukan
agar Indonesia secara perlahan mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan
energi fosil. Selain itu, untuk rencana jangka panjang, BBM bersubsidi hanya
dipergunakan untuk transportasi publik dan masyarakat buruh seperti petani dan
nelayan. Juga, yang paling penting, ada sebagian porsi yang dipergunakan untuk
penyerapan tenaga kerja.
Bayangkan, apabila dana Rp27,9
triliun digunakan untuk mendirikan, contohnya UKM Mandiri, berapa banyak tenaga
kerja yang diserap dan berapa banyak usaha yang bisa tumbuh dan berkembang
sehingga bisa menciptakan lapangan kerja baru. Andai saja UKM memerlukan modal
Rp10 juta saja, dengan dana subsidi BBM tersebut akan tercipta hampir tiga juta
usaha baru. Dan bila tiga juta usaha baru membutuhkan sedikitnya tiga tenaga
kerja, sembilan juta angkatan kerja akan terserap dan me miliki kepastian
penghasilan dari usaha mereka. Itu artinya, 7,17 juta warga Indonesia yang
tercatat sebagai pengang guran oleh BPS
(Februari 2013) bisa terangkat harkat dan martabatnya.
Berkah politik BLSM
Sayangnya, kebijakan pemerintah masih
belum menyentuh rencana-rencana yang lebih strategis untuk kemaslahatan rakyat.
Tak urung, pembagian BLSM yang berbarengan dengan gejolak kenaikan harga BBM
dinilai berbagai kalangan untuk peningkatan citra dan modal sosial partai
politik penguasa. Bahkan, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mengamini penilaian
berbagai kalangan dengan rilis penelitian mereka baru-baru ini. Survei LSI
menunjukkan 46,95% publik menyatakan SBY paling berjasa. Disusul 11,47%
responden menyatakan Hatta Rajasa yang berjasa. Dan, 16,12% yang menyatakan
tokoh lain.
Sementara itu, sebanyak 49,45%
publik menyatakan Partai Demokrat sebagai partai yang paling berjasa terhadap
pemberian BLSM. Hanya 16,73% publik yang menilai partai politik lain berjasa. Sepertinya
Demokrat dan SBY belajar betul pada fenomena Oktober 2005. Elektabilitas SBY
dan Demokrat saat itu anjlok hingga 5%-10% akibat harga BBM naik. Namun, 2008
dan 2009 ketika bantuan langsung tunai (BLT) dibagikan, SBY dan Demokrat
mendapat `berkah' kembali.
Sebenarnya, di saat tingkat
kecerdasan rakyat semakin tinggi dalam memandang isu politik, masih belum bisa
dibuktikan seberapa ampuh pemberian BLSM terhadap tingkat konsistensi
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Memang penilaian positif naik setelah
pemberian bantuan, tetapi akankah itu bisa bertahan lama di tengah begitu
banyak permasalahan yang belum bisa dituntaskan negara? Korupsi, ketimpangan
kesejahteraan Gini sebesar 0,41% yang merupakan angka terbesar semenjak kita
merdeka, permasalahan infrastruktur, dan lain sebagainya ialah tantangan yang
masih menunggu datangnya jalan keluar.
Indonesia membutuhkan pemimpin
yang bisa menggerakkan semangat rakyatnya. Pemimpin yang benar-benar bisa be rpendirian
teguh dan berani bertindak untuk memecahkan masalah negara. Hadirnya pemimpin
harus memberi nyawa, memberikan perasaan kebersamaan di dalam setiap lini
kehidupan berbangsa untuk Indonesia yang lebih bermartabat. Berkah tidak turun
serta-merta kepada pemimpin yang tidak bisa memberikan keteladanan murni. Hanya
perbuatan nyata dan ketulusan sikap pemimpin yang bisa mendatangkan
sebenar-benarnya kepercayaan rakyat. Bukan perkara mudah bukan? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar