Senin, 01 Juli 2013

Yang Tinggal Diam

Yang Tinggal Diam
Toeti Prahas Adhitama ;  Angota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 28 Juni 2013


SATU tahun menjelang pemilu, suasana ragu masih menghantui mayoritas elektorat untuk menentukan pilihan. Kredibilitas partai-partai politik sebagai pengusung calon presiden/calon wakil presiden (capres/cawapres) semakin merosot akibat perilaku negatif segolongan anggota mereka. Tokoh-tokoh yang akan maju atau diajukan sebagai capres/cawapres sendiri masih banyak yang menunjukkan kebimbangan. 

Inilah masa-masa sulit bagi semua pihak. Lebih-lebih pendidikan politik oleh partai-partai politik sangat dirasakan kurang, baik demi citra maupun demi pembelajaran di kalangan elektorat. Memilih untuk tidak memilih mungkin menjadi pilihan bagi elektorat yang terdidik. Yang kurang terdidik bisa saja terbawa oleh bujuk rayu suap pemilu.

Menurut ramalan, golput tahun depan bisa mencapai jumlah yang mengkhawatirkan untuk demokrasi. Pada 2009 saja, golput mencapai hampir 30%, lebih dari empat kali jumlahnya pada pemilu di awal reformasi. Angka yang bahkan lebih tinggi dari yang diperoleh pemenang Pemiu 2009. Menurut pengamat politik Burhanuddin Muhtadi dari Lembaga Survei Indonesia, peningkatan golput di Amerika Serikat (AS) mencapai 40% setelah 200 tahun menjalankan demokrasi. Kita baru menjalankan demokrasi 12 tahun sudah mendekati 30%. Pertanda apa ini? Demokrasi Indonesia rupanya sedang diuji.

The silent majority di Amerika

Bahwa di AS jumlah golput demikian tinggi memiliki penjelasan yang berbeda: elektorat yang umumnya terdidik itu menyadari, partai mana pun dan siapa pun pemenangnya, ideologi negara ataupun dasar kebijaksanaan politik-ekonomi-sosial pemerintahannya tidak akan terlalu berbeda. Nuansa perbedaan
akan ada pada sikap pemimpin puncaknya; apakah bersikap lebih liberal atau lebih konservatif.

Nuansa perbedaan terwujud pada pelaksanaan kebijakan. Toh ujung-ujungnya demokrasi menjamin kesejahteraan rakyat tidak terabaikan, dan bahwa kepentingan nasional selalu diutamakan bila menyangkut hubungan dengan masyarakat luar, karena itu nasionalisme terus-menerus digalang.

Tampaknya kalangan golput di sana toh tidak merasa terlalu rugi bila absen pada hari pemungutan suara. Bahkan dalam penentuan kebijakan negara dalam suatu politik luar negeri pun, ada kalanya mereka memilih untuk diam. Misalnya, ketika sedang berkecamuk perang Vietnam (1954-1975), perang paling tidak populer dalam sejarah AS, Richard Nixon sebagai presiden ke-37 Amerika (19691974) dalam suatu pidatonya pada 3 November 1969 meminta dukungan mayoritas masyarakat AS yang tinggal diam--the silent majority. Dia menyeru kepada kelompok itu agar jangan ikut demonstrasi menentang perang Vietnam, jangan ikut diskusi publik; sebab media AS memenangi minoritas yang antiperang dan yang vokal.

The silent majority yang mendukung Nixon terdiri dari kaum veteran dan orangorang muda yang nantinya ikut perang Vietnam, kaum buruh yang tidak berpolitik, dan elektorat kelas menengah. Sebagian mendukung politik konservatif, sebagian lainnya bukan pendukung tetapi menentang sikap meremehkan institusi-institusi AS. Nixon meminta dukungan semua untuk “Mengakhiri perang hingga kita bisa memenangi perdamaian.... Membela kemerdekaan menjadi tugas kita semua, bukan hanya tugas Amerika.” 

Setelah mengucapkan doktrin tersebut, popularitas Nixon melonjak dari 50% menjadi lebih dari 80%.
Sampai sekarang, polarisasi Nixon masih eksis dalam politik AS. Seperti Nixon, the silent majority terdiri dari mereka yang cemas dan takut bahwa keadaan normal akan terganggu oleh perubahanperubahan yang terjadi dalam masyarakat. Di lain pihak, ada kelompok intelektual, kosmopolitan, profesional, dan kaum liberal yang mau ‘hidup dan membiarkan yang lain hidup’-live and let live.

Mewaspadai golput

Golput di negara maju diasumsikan sebagai golongan yang bersikap konservatif dan tidak ingin berubah. Sebaliknya, kita di sini justru ingin perubahan situasi dan kondisi yang merombak masyarakat agar mengarah ke modernisasi. Kedengarannya jauh panggang dari api. Akan tetapi, proses itu akan kita jalani dan perlu sekalipun jalannya tertatih-tatih. Kesulitan lain, masyarakat kita pun tidak homogen. Ketimpangan ada di berbagai bidang kehidupan. Elektoratnya pun demikian.

Bila melihat komposisi elektorat kita, mungkin yang terdidik saat ini tidak terlalu peduli pemilu karena mencurigai bahwa apa pun yang dihasilkan pemilu diperkirakan tidak akan banyak mengubah situasi; terutama mengingat perilaku segolongan tokoh politik dan partaipartai politik yang mereka kacaukan.
Golongan elektorat lain, yang kurang terdidik, mem buat kita bertanya-tanya: apa yang mendorong mereka pergi ke tempat-tempat pemungutan suara? Apa yang mereka pikirkan dan apa yang mereka jadikan rujukan? Mudah-mudahan mereka mendapat cukup bimbingan yang meyakinkan. Nurani kalangan politisi dipertaruhkan di sini.


Secara umum, tentunya kita berharap akan terjadi pembenahan di kalangan politisi ataupun partai-partainya. Sejauh ini gerakan seperti itu terkesan lamban karena banyaknya tokoh sentral yang terjerat kasus hukum dan belum jelas penuntasannya. Mungkinkah persoalan-persoalan itu bisa tuntas dalam sisa waktu sebelum pemilu? Kita memang perlu mengikuti dan mempelajari rekam jejak birokrasi, KPK, DPR, institusiinstitusi lain yang terkait, dan pastinya jajaran pemimpin kita. Rasanya kita perlu bertanya dan menjawabnya sendiri: apa jadinya bila banyak di antara kita memutuskan menjadi golput? Validasi hasil pemilu pasti terganggu. Lebih dari itu, jangan mengharapkan perubahan bila kita tidak peduli pada pemilu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar