|
MEDIA
INDONESIA, 28 Juni 2013
SATU tahun menjelang pemilu,
suasana ragu masih menghantui mayoritas elektorat untuk menentukan pilihan. Kredibilitas
partai-partai politik sebagai pengusung calon presiden/calon wakil presiden
(capres/cawapres) semakin merosot akibat perilaku negatif segolongan anggota
mereka. Tokoh-tokoh yang akan maju atau diajukan sebagai capres/cawapres
sendiri masih banyak yang menunjukkan kebimbangan.
Inilah masa-masa sulit bagi
semua pihak. Lebih-lebih pendidikan politik oleh partai-partai politik sangat
dirasakan kurang, baik demi citra maupun demi pembelajaran di kalangan
elektorat. Memilih untuk tidak memilih mungkin menjadi pilihan bagi elektorat
yang terdidik. Yang kurang terdidik bisa saja terbawa oleh bujuk rayu suap
pemilu.
Menurut ramalan, golput tahun depan bisa mencapai jumlah
yang mengkhawatirkan untuk demokrasi. Pada 2009 saja, golput mencapai hampir
30%, lebih dari empat kali jumlahnya pada pemilu di awal reformasi. Angka yang bahkan
lebih tinggi dari yang diperoleh pemenang Pemiu 2009. Menurut pengamat politik
Burhanuddin Muhtadi dari Lembaga Survei Indonesia, peningkatan golput di
Amerika Serikat (AS) mencapai 40% setelah 200 tahun menjalankan demokrasi. Kita
baru menjalankan demokrasi 12 tahun sudah mendekati 30%. Pertanda apa ini?
Demokrasi Indonesia rupanya sedang diuji.
The silent majority di Amerika
Bahwa
di AS jumlah golput demikian tinggi memiliki penjelasan yang berbeda: elektorat
yang umumnya terdidik itu menyadari, partai mana pun dan siapa pun pemenangnya,
ideologi negara ataupun dasar kebijaksanaan politik-ekonomi-sosial
pemerintahannya tidak akan terlalu berbeda. Nuansa perbedaan
akan
ada pada sikap pemimpin puncaknya; apakah bersikap lebih liberal atau lebih konservatif.
Nuansa perbedaan terwujud pada pelaksanaan
kebijakan. Toh ujung-ujungnya demokrasi menjamin kesejahteraan rakyat tidak
terabaikan, dan bahwa kepentingan nasional selalu diutamakan bila menyangkut
hubungan dengan masyarakat luar, karena itu nasionalisme terus-menerus
digalang.
Tampaknya kalangan golput di sana toh tidak merasa terlalu
rugi bila absen pada hari pemungutan suara. Bahkan dalam penentuan kebijakan
negara dalam suatu politik luar negeri pun, ada kalanya mereka memilih untuk
diam. Misalnya, ketika sedang berkecamuk perang Vietnam (1954-1975), perang
paling tidak populer dalam sejarah AS, Richard Nixon sebagai presiden ke-37
Amerika (19691974) dalam suatu pidatonya pada 3 November 1969 meminta dukungan
mayoritas masyarakat AS yang tinggal diam--the silent majority. Dia menyeru
kepada kelompok itu agar jangan ikut demonstrasi menentang perang Vietnam,
jangan ikut diskusi publik; sebab media AS memenangi minoritas yang antiperang
dan yang vokal.
The silent
majority yang mendukung Nixon terdiri dari
kaum veteran dan orangorang muda yang nantinya ikut perang Vietnam, kaum buruh
yang tidak berpolitik, dan elektorat kelas menengah. Sebagian mendukung politik
konservatif, sebagian lainnya bukan pendukung tetapi menentang sikap meremehkan
institusi-institusi AS. Nixon meminta dukungan semua untuk “Mengakhiri perang hingga kita bisa memenangi perdamaian.... Membela
kemerdekaan menjadi tugas kita semua, bukan hanya tugas Amerika.”
Setelah
mengucapkan doktrin tersebut, popularitas Nixon melonjak dari 50% menjadi lebih
dari 80%.
Sampai sekarang, polarisasi Nixon masih eksis dalam politik
AS. Seperti Nixon, the silent majority
terdiri dari mereka yang cemas dan takut bahwa keadaan normal akan terganggu
oleh perubahanperubahan yang terjadi dalam masyarakat. Di lain pihak, ada
kelompok intelektual, kosmopolitan, profesional, dan kaum liberal yang mau
‘hidup dan membiarkan yang lain hidup’-live
and let live.
Mewaspadai golput
Golput
di negara maju diasumsikan sebagai golongan
yang bersikap konservatif dan tidak ingin berubah. Sebaliknya, kita di sini
justru ingin perubahan situasi dan kondisi yang merombak masyarakat agar
mengarah ke modernisasi. Kedengarannya jauh panggang dari api. Akan tetapi,
proses itu akan kita jalani dan perlu sekalipun jalannya tertatih-tatih.
Kesulitan lain, masyarakat kita pun tidak homogen. Ketimpangan ada di berbagai
bidang kehidupan. Elektoratnya pun demikian.
Bila melihat komposisi elektorat kita, mungkin yang
terdidik saat ini tidak terlalu peduli pemilu karena mencurigai bahwa apa pun
yang dihasilkan pemilu diperkirakan tidak akan banyak mengubah situasi;
terutama mengingat perilaku segolongan tokoh politik dan partaipartai politik
yang mereka kacaukan.
Golongan elektorat lain, yang kurang terdidik, mem buat
kita bertanya-tanya: apa yang mendorong mereka pergi ke tempat-tempat
pemungutan suara? Apa yang mereka pikirkan dan apa yang mereka jadikan rujukan?
Mudah-mudahan mereka mendapat cukup bimbingan yang meyakinkan. Nurani kalangan
politisi dipertaruhkan di sini.
Secara umum, tentunya kita berharap akan terjadi pembenahan
di kalangan politisi ataupun partai-partainya. Sejauh ini gerakan seperti itu
terkesan lamban karena banyaknya tokoh sentral yang terjerat kasus hukum dan
belum jelas penuntasannya. Mungkinkah persoalan-persoalan itu bisa tuntas dalam
sisa waktu sebelum pemilu? Kita memang perlu mengikuti dan mempelajari rekam
jejak birokrasi, KPK, DPR, institusiinstitusi lain yang terkait, dan pastinya
jajaran pemimpin kita. Rasanya kita perlu bertanya dan menjawabnya sendiri: apa
jadinya bila banyak di antara kita memutuskan menjadi golput? Validasi hasil
pemilu pasti terganggu. Lebih dari itu, jangan mengharapkan perubahan bila kita
tidak peduli pada pemilu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar