Senin, 01 Juli 2013

Padi Hibrida yang Terganjal

Padi Hibrida yang Terganjal
Satoto ;  Pemulia Padi Balai Besar Penelitian Tanaman Padi,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
KOMPAS, 29 Juni 2013


Bahkan seorang Lionel Messi pun tidak akan berkinerja menawan jika ditempatkan sebagai penjaga gawang. Sebaliknya, penjaga gawang sekaliber Petr Chech pun akan terseok-seok seandainya dipasang sebagai striker.

Penampilan pemain bola, betapa pun hebatnya, memang sangat ditentukan kejelian pelatih membaca potensi dan menempatkannya pada posisi yang tepat. Potensi pemain pun hanya optimal jika dan hanya jika timnya cocok. Apa jadinya apabila Cristiano Ronaldo disuruh bermain di klub sepak bola tingkat kabupaten di Indonesia, misalnya?

Pengembangan padi hibrida juga bisa diibaratkan sebagai pemain bola. Padi hibrida adalah padi biasa, bukan padi ajaib yang menghasilkan gabah 25 ton per hektar. Padi hibrida menggunakan benih turunan pertama (F1) karena pada F1 ada fenomena genetika yang disebut heterosis, yang membuatnya tampil lebih baik dibandingkan dengan kedua galur tetuanya. Heterosis hanya muncul pada F1, tidak pada generasi selanjutnya. Dengan kata lain, pada varietas Ciherang, Mekongga, atau Inpari tidak ada heterosis karena benih yang ditanam petani bukan benih F1.

Sifat heterosis

Secara teoretis, heterosis akan semakin kuat apabila kekerabatan kedua galur tetuanya semakin jauh. Seperti seorang pemain sinetron indo yang ibunya orang Polandia dan bapaknya Purworejo, heterosisnya akan lebih tinggi dibandingkan pemain sinetron yang ibunya dari Pasar Rebo dan bapaknya dari Pasar Minggu.

Dalam konteks padi hibrida, heterosis diharapkan muncul untuk potensi hasil (ton/ha gabah kering giling) dibandingkan dengan varietas paling populer di daerah target pengembangan. Di Jawa bisa Ciherang, di Sumbar mungkin Cisokan atau IR42.

Berapa persenkah heterosis yang harus dicapai suatu varietas padi hibrida di daerah tersebut dibandingkan varietas standarnya? Minimal 20 persen karena varietas padi hibrida yang dilepas di Indonesia pada umumnya adalah padi hibrida heterosis rendah.

Dukungan lingkungan

Bagaikan Ronaldo yang bermain di kesebelasan tingkat kabupaten, apa jadinya jika suatu varietas padi hibrida yang sudah diketahui rentan penyakit kresek ditanam di daerah endemis kresek? Pasti tidak bisa apa-apa. Jadi, masing-masing varietas harus dicarikan ”rumah” yang pas.

Cara mencarinya dengan membuat demplot-demplot. Varietas yang tampil baik direkomendasikan. Seperti Hipa8, varietas padi hibrida rakitan Badan Litbang, yang diketahui rumahnya adalah pantai selatan Jawa dan Lampung. Hipa8 tentu saja tidak betah ditanam di pantura, ekspresinya adalah ogah-ogahan tumbuh. Jadi, varietas harus cocok dengan lingkungannya.

Di Indonesia saat ini lebih kurang ada 120 varietas padi hibrida yang dilepas, 20 di antaranya dirakit di dalam negeri dan sisanya merupakan varietas introduksi dari China, India, Filipina, dan Jepang. Dari 20 varietas yang dirakit di dalam negeri, 15 dirakit Badan Litbang Pertanian, 5 sisanya oleh perusahaan swasta. Masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan.

Dukungan teman satu tim sangat menentukan. Ronaldo tidak akan mampu mencetak gol jika tidak ada umpan akurat yang dibangun melalui serangan teratur dari pemain belakang, dilanjutkan pemain tengah, dan akhirnya ke dia. Semua ibarat dukungan budidaya untuk mengeluarkan potensi maksimal yang dimiliki varietas hibrida.

Bagaimana heterosis muncul jika hanya diberi 50 kg nitrogen per hektare? Ibarat pesumo yang perlu daging sapi 5 kg, tetapi hanya dijatah 1 kg. Bagaimana otot-otot seorang Ade Rai keluar sempurna jika hanya makan nasi uduk satu piring?

Bukan harus banyak, melainkan pas. Makanan harus sesuai dan pas takarannya. Jarak tanam pun menjadi penting. Terlalu rapat atau terlalu longgar tidak akan maksimal hasilnya.

Keragaan varietas padi hibrida Hipa11 rakitan Badan Litbang Pertanian di lahan petani Cilacap, Jawa Tengah, ibarat pemain potensial yang ditangani pelatih andal dan dengan kesebelasan yang cocok pula.
Kondisi pemain bola saat diturunkan pelatih akan sangat menentukan performa di lapangan, fit atau tidak atau bahkan cedera. Kondisi ini bisa kita analogikan dengan mutu benih varietas padi hibrida dalam hal daya tumbuh dan kemurnian. Bagaimana heterosis muncul jika saat sampai di tangan petani daya tumbuh benih tinggal 20%?

Tanggung jawab

Adalah tanggung jawab pelatih jika dia tetap memainkan seorang pemain meskipun dia tahu pemainnya sedang cedera. Adalah tanggung jawab pemilik varietas jika tahu varietasnya tidak tahan hama penyakit, tetapi tidak memberi tahu petani.

Memang, dalam pengembangan padi hibrida, naif kalau tidak tahu bahwa di Indonesia bukan hanya masalah teknis yang menjadi faktor, melainkan juga nonteknis, seperti aspek bisnis.

Pemain potensial, di tangan pelatih andal, dengan kesebelasan yang tepat, dapat kita analogikan dengan pengembangan suatu varietas padi hibrida yang cocok varietasnya, benih bermutu baik, ditanam dengan budidaya yang tepat, di wilayah yang sesuai, dan ditanam petani yang mau dan mampu mengadopsi teknologi. Selama kunci-kunci teknis tersebut belum terpenuhi, potensi kegagalan pengembangan padi hibrida akan besar.

Kondisi sekarang masih belum sampai pada kondisi ideal itu karena kunci-kunci teknis masih belum terpenuhi semua. Sungguh tidak adil kalau kita menjatuhkan vonis bahwa teknologi ini tidak cocok di Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar