|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Selalu ada masa konflik dan masa
saling bekerja sama dalam hubungan antarnegara mana pun. Begitu pula dalam
relasi antara Indonesia dan Australia. Konstruksi hubungan kedua negara sedikit
banyak ditentukan oleh konstruksi persepsi yang dibangun media negara
masing-masing.
Dalam bangunan persepsi itu, salah
persepsi dapat terjadi karena berbeda budaya dan bias ideologi atau politik
yang dibawa media. Meskipun secara geografis Australia dekat dengan Indonesia
serta banyak pula orang Indonesia belajar di Australia atau sebaliknya, tidak
banyak studi yang dapat menjelaskan peran media kedua belah pihak dalam
hubungan bilateral Indonesia-Australia.
Kalaupun ada, temuan yang muncul
mengungkap hubungan Australia dan Indonesia dalam potret negatif oleh media
kedua negara dan lebih fokus pada konflik. Kasus seperti lepasnya Timor Timur
dari Indonesia, bom Bali, orang Papua yang mencari suaka, dan kasus terpidana
narkoba Schapelle Corby telah membentuk persepsi hubungan antara kedua negara
dari sisi negatif tersebut.
Kasus cukup hangat dan relevan
untuk melihat peran media yang memengaruhi persepsi keliru hubungan
Indonesia-Australia adalah pelarangan ekspor ternak sapi oleh Pemerintah
Australia ke Indonesia pada 6 Juni 2011. Larangan ini bermula dari tayangan
video di satu jaringan stasiun televisi di Australia mengenai pemotongan sapi
di rumah potong hewan di Indonesia yang mereka anggap brutal.
Video memperlihatkan adanya salah
perlakuan dari kacamata orang Australia terhadap sapi sebelum dipotong.
Sementara, Indonesia dan Australia secara budaya memiliki cara berbeda dalam
perlakuan terhadap hewan.
Tayangan video tersebut menimbulkan
kegaduhan di masyarakat Australia. Melalui petisi yang digalang dalam jaringan
(daring, online), terhimpun
200.000 tanda tangan yang meminta ekspor ternak ke Indonesia dihentikan.
Dalam kasus ini, media di kedua
negara memiliki pandangan berbeda menyikapi larangan tersebut. Kajian terhadap
dua media daring di Indonesia memperlihatkan, kedua media menanggapi positif
larangan tersebut sebagai momentum untuk berswasembada daging sapi. Namun,
sikap dasar kedua media berbeda.
Satu media menyikapi dari kacamata
politis bahwa larangan itu menunjukkan Pemerintah Australia tidak kooperatif
dan ”berusaha” menghambat pemenuhan pasokan daging di Indonesia. Media itu
memotret Australia sebagai entitas asing yang tidak mengerti budaya dan dapat
membahayakan Indonesia. Sikap ini dikaitkan dengan upaya menjaga kepentingan
nasional. Pemerintah Australia digambarkan sebagai pihak yang ambek, congkak,
diktator, bahkan berlebihan dalam menanggapi cara pemotongan hewan di Indonesia
yang sudah dilakukan secara halal.
Namun, media digital yang lain
memilih sikap menjelaskan politik dalam negeri Australia untuk memberi gambaran
lebih seimbang. Protes muncul di Australia karena tindakan kejam terhadap hewan
dapat dihukum berdasarkan aturan yang ada. Karena aturan itu tidak bisa
diterapkan di Indonesia, Pemerintah Australia menanggapi protes warganya dengan
menerbitkan larangan ekspor ternak sapi ke Indonesia. Meskipun demikian,
Pemerintah Australia sebenarnya ragu menerapkan larangan total ekspor ternak karena
Indonesia merupakan pasar cukup besar bagi daging sapi mereka.
Dengan kata lain, media yang kedua
melakukan peran ”diplomasi media” dengan berupaya melihat persoalan juga dari
perspektif Australia untuk mendudukkan soal sehingga mengurangi salah persepsi
yang berkembang. Pilihan tersebut mencegah konflik tidak meluas dan membangun
kepercayaan suatu hubungan.
Di sini terlihat ada perbedaan
teknis dan kultur antara Indonesia dan Australia dalam memandang cara
pemotongan ternak. Kultur kedua negara yang berbeda berkontribusi membentuk
persepsi keliru kedua negara yang dibangun dan disebarluaskan media.
Konvergensi media
Ketika keberadaan media tradisional
(terutama media cetak) masih dominan, dampak dan respons pemberitaan suatu
kasus mungkin tidak terlalu besar dan bisa diisolasi karena sirkulasinya
terbatas. Namun, perkembangan konvergensi media membalikkan semua itu. Respons
atas suatu peristiwa berlangsung seketika di dalam jaringan, mutakhir, dan
menjangkau wilayah luas.
Persepsi keliru antara kedua negara
terjadi tidak hanya dalam bentuk ulasan tertulis, tetapi juga dalam bentuk
karikatur atau gambar di media cetak dan tersebar cepat melalui media digital.
Juga muncul respons cepat
berupa komentar dan opini yang dituangkan di media sosial.
berupa komentar dan opini yang dituangkan di media sosial.
Meski demikian, pada periode antara
2006 dan 2012 sikap Australia terhadap Indonesia dan sebaliknya digambarkan
jauh lebih baik dari sebelumnya. Beberapa pengamat mengemukakan, hal itu
terjadi karena upaya diplomasi damai pemimpin kedua negara. Diplomasi damai ini
disambut media di Indonesia sejalan dengan langkah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer membangun hubungan
diplomatik damai antara kedua negara.
Di sisi lain, kecenderungan
industri media massa di seluruh dunia saat ini, termasuk di Indonesia dan
Australia, adalah konglomerasi media. Kecenderungan yang muncul, struktur media
ditentukan oleh variasi dan cara informasi disajikan kepada masyarakat.
Masyarakat dunia dibanjiri berbagai bentuk media dengan media dalam jaringan
menjadi kepanjangan tangan media cetak.
Melalui konvergensi media, pembaca,
audiens, dan pendengar bersatu. Mereka mengakses media yang sama sehingga
membentuk persepsi dengan kecenderungan sama. Dalam konglomerasi media,
kekuatan hubungan ketergantungan antara media dan pembaca tidak seimbang.
Belum diketahui pasti apakah
perubahan bentuk media tersebut membuat media memiliki kekuatan absolut
menentukan dunia pemikiran pembaca, ataukah pembaca yang mempunyai kekuatan
absolut menyampaikan keinginannya tentang apa yang harus disajikan media.
Yang pasti, ideologi institusi
media tidak dapat dipisahkan dari konteks historis berdirinya suatu media.
Gambaran tentang Australia oleh media Indonesia dan sebaliknya dipengaruhi oleh
aliansi politik media. Dua media daring di Indonesia dalam kasus di atas
berhubungan dengan sejarah politik dan peran yang dimainkan pasca-Orde Baru.
Hal ini tecermin dari pilihan narasumber masing-masing media.
Karena itu, penggambaran yang
muncul di media dapat memperlihatkan negara tetangga sebagai pihak luar yang
mencoba memengaruhi kepentingan nasional atau mitra potensial dalam
menyelesaikan persoalan dalam negeri negara tetangga. Dalam konteks lebih
besar, ideologi dan pembingkaian (framing)
peristiwa oleh media akan memengaruhi relasi negara dan publik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar