Senin, 01 Juli 2013

Konstruksi Pemberitaan dalam Relasi Negara

Konstruksi Pemberitaan dalam Relasi Negara
Gianie ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 28 Juni 2013


Selalu ada masa konflik dan masa saling bekerja sama dalam hubungan antarnegara mana pun. Begitu pula dalam relasi antara Indonesia dan Australia. Konstruksi hubungan kedua negara sedikit banyak ditentukan oleh konstruksi persepsi yang dibangun media negara masing-masing.

Dalam bangunan persepsi itu, salah persepsi dapat terjadi karena berbeda budaya dan bias ideologi atau politik yang dibawa media. Meskipun secara geografis Australia dekat dengan Indonesia serta banyak pula orang Indonesia belajar di Australia atau sebaliknya, tidak banyak studi yang dapat menjelaskan peran media kedua belah pihak dalam hubungan bilateral Indonesia-Australia.

Kalaupun ada, temuan yang muncul mengungkap hubungan Australia dan Indonesia dalam potret negatif oleh media kedua negara dan lebih fokus pada konflik. Kasus seperti lepasnya Timor Timur dari Indonesia, bom Bali, orang Papua yang mencari suaka, dan kasus terpidana narkoba Schapelle Corby telah membentuk persepsi hubungan antara kedua negara dari sisi negatif tersebut.

Kasus cukup hangat dan relevan untuk melihat peran media yang memengaruhi persepsi keliru hubungan Indonesia-Australia adalah pelarangan ekspor ternak sapi oleh Pemerintah Australia ke Indonesia pada 6 Juni 2011. Larangan ini bermula dari tayangan video di satu jaringan stasiun televisi di Australia mengenai pemotongan sapi di rumah potong hewan di Indonesia yang mereka anggap brutal.

Video memperlihatkan adanya salah perlakuan dari kacamata orang Australia terhadap sapi sebelum dipotong. Sementara, Indonesia dan Australia secara budaya memiliki cara berbeda dalam perlakuan terhadap hewan.

Tayangan video tersebut menimbulkan kegaduhan di masyarakat Australia. Melalui petisi yang digalang dalam jaringan (daring, online), terhimpun 200.000 tanda tangan yang meminta ekspor ternak ke Indonesia dihentikan.

Dalam kasus ini, media di kedua negara memiliki pandangan berbeda menyikapi larangan tersebut. Kajian terhadap dua media daring di Indonesia memperlihatkan, kedua media menanggapi positif larangan tersebut sebagai momentum untuk berswasembada daging sapi. Namun, sikap dasar kedua media berbeda.
Satu media menyikapi dari kacamata politis bahwa larangan itu menunjukkan Pemerintah Australia tidak kooperatif dan ”berusaha” menghambat pemenuhan pasokan daging di Indonesia. Media itu memotret Australia sebagai entitas asing yang tidak mengerti budaya dan dapat membahayakan Indonesia. Sikap ini dikaitkan dengan upaya menjaga kepentingan nasional. Pemerintah Australia digambarkan sebagai pihak yang ambek, congkak, diktator, bahkan berlebihan dalam menanggapi cara pemotongan hewan di Indonesia yang sudah dilakukan secara halal.

Namun, media digital yang lain memilih sikap menjelaskan politik dalam negeri Australia untuk memberi gambaran lebih seimbang. Protes muncul di Australia karena tindakan kejam terhadap hewan dapat dihukum berdasarkan aturan yang ada. Karena aturan itu tidak bisa diterapkan di Indonesia, Pemerintah Australia menanggapi protes warganya dengan menerbitkan larangan ekspor ternak sapi ke Indonesia. Meskipun demikian, Pemerintah Australia sebenarnya ragu menerapkan larangan total ekspor ternak karena Indonesia merupakan pasar cukup besar bagi daging sapi mereka.

Dengan kata lain, media yang kedua melakukan peran ”diplomasi media” dengan berupaya melihat persoalan juga dari perspektif Australia untuk mendudukkan soal sehingga mengurangi salah persepsi yang berkembang. Pilihan tersebut mencegah konflik tidak meluas dan membangun kepercayaan suatu hubungan.
Di sini terlihat ada perbedaan teknis dan kultur antara Indonesia dan Australia dalam memandang cara pemotongan ternak. Kultur kedua negara yang berbeda berkontribusi membentuk persepsi keliru kedua negara yang dibangun dan disebarluaskan media.

Konvergensi media

Ketika keberadaan media tradisional (terutama media cetak) masih dominan, dampak dan respons pemberitaan suatu kasus mungkin tidak terlalu besar dan bisa diisolasi karena sirkulasinya terbatas. Namun, perkembangan konvergensi media membalikkan semua itu. Respons atas suatu peristiwa berlangsung seketika di dalam jaringan, mutakhir, dan menjangkau wilayah luas.

Persepsi keliru antara kedua negara terjadi tidak hanya dalam bentuk ulasan tertulis, tetapi juga dalam bentuk karikatur atau gambar di media cetak dan tersebar cepat melalui media digital. Juga muncul respons cepat
berupa komentar dan opini yang dituangkan di media sosial.

Meski demikian, pada periode antara 2006 dan 2012 sikap Australia terhadap Indonesia dan sebaliknya digambarkan jauh lebih baik dari sebelumnya. Beberapa pengamat mengemukakan, hal itu terjadi karena upaya diplomasi damai pemimpin kedua negara. Diplomasi damai ini disambut media di Indonesia sejalan dengan langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer membangun hubungan diplomatik damai antara kedua negara.

Di sisi lain, kecenderungan industri media massa di seluruh dunia saat ini, termasuk di Indonesia dan Australia, adalah konglomerasi media. Kecenderungan yang muncul, struktur media ditentukan oleh variasi dan cara informasi disajikan kepada masyarakat. Masyarakat dunia dibanjiri berbagai bentuk media dengan media dalam jaringan menjadi kepanjangan tangan media cetak.

Melalui konvergensi media, pembaca, audiens, dan pendengar bersatu. Mereka mengakses media yang sama sehingga membentuk persepsi dengan kecenderungan sama. Dalam konglomerasi media, kekuatan hubungan ketergantungan antara media dan pembaca tidak seimbang.

Belum diketahui pasti apakah perubahan bentuk media tersebut membuat media memiliki kekuatan absolut menentukan dunia pemikiran pembaca, ataukah pembaca yang mempunyai kekuatan absolut menyampaikan keinginannya tentang apa yang harus disajikan media.

Yang pasti, ideologi institusi media tidak dapat dipisahkan dari konteks historis berdirinya suatu media. Gambaran tentang Australia oleh media Indonesia dan sebaliknya dipengaruhi oleh aliansi politik media. Dua media daring di Indonesia dalam kasus di atas berhubungan dengan sejarah politik dan peran yang dimainkan pasca-Orde Baru. Hal ini tecermin dari pilihan narasumber masing-masing media.


Karena itu, penggambaran yang muncul di media dapat memperlihatkan negara tetangga sebagai pihak luar yang mencoba memengaruhi kepentingan nasional atau mitra potensial dalam menyelesaikan persoalan dalam negeri negara tetangga. Dalam konteks lebih besar, ideologi dan pembingkaian (framing) peristiwa oleh media akan memengaruhi relasi negara dan publik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar