|
SUARA
MERDEKA, 29 Juni 2013
KEPOLISIAN Negara Republik Indonesia (Polri) telah menempuh
perjalanan panjang, dan pada 1 Juli 2013 berusia 67 tahun. Negara memberikan
peran tidak ringan kepada korps Bhayangkara itu. Peran tersebut sebagai
pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, pelindung, pengayom, dan pelayan
masyarakat, juga sebagai penegak hukum.
Untuk menjalankan peran itu, pemerintah memberikan
kewenangan besar kepada Polri, dari yang bersifat preemtif, preventif, hingga
represif. Dari suatu kondisi yang belum terjadi, pada saat kejadian, hingga
setelag terjadi di tengah masyarakat, semuanya tersentuh oleh keberadaan
anggota Polri, baik yang berseragam maupun yang tidak mengenakan seragam.
Kewenangan besar itu, dalam konteks kekinian, sangat rentan dengan
penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of
power.
Banyak hal yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan
wewenang tersebut, bila melihat aspek internal ataupun eksternal. Dari faktor
internal, kita sepakat bahwa siapa pun, institusi mana pun yang mempunyai
kewenangan besar, sangat besar kemungkinannya untuk menyalahgunakan,
terlebih bila tidak mampu menjaga nilai-nilai integritas.
Sudah banyak kasus yang tidak terbantahkan untuk menguatkan
hipotesis tersebut. Kita bisa melihat beberapa kasus fenomenal yang melibatkan
petinggi Polri, seperti Suyitno Landung, Susno Duadji, Djoko Susilo, dan
terkini Labora Sitorus.
Di luar kasus yang berbau KKN tersebut, kasus salah tembak,
penyalahgunaan senjata api, atau salah tangkap, ikut menambah daftar kelam yang
mewarnai perjalanan Polri dalam menjalankan perannya. Meskipun publik juga
tidak memungkiri bahwa secara kelembagaan Polri juga telah menorehkan banyak
prestasi, terutama dalam penanganan kasus illegal logging, illegal mining,
penyalahgunaan narkoba hingga terorisme.
Demikian juga terhadap penanganan kasus kejahatan
konvensional, meskipun di satu sisi hampir tiap hari diberitakan ada
perampokan, pembunuhan, pencurian dan sejenisnya, di sisi lain Polri juga
menunjukkan kemampuan untuk mengungkapnya. Polri juga mampu menangani kejahatan
white collar crime atau kejahatan kerah putih, perbankan, sampai cyber crime.
Bahkan penanganan terhadap terorisme, menjadi kebanggaan bangsa kita karena
Polri mampu menyejajarkan diri dengan polisi negara lain dalam menangani tindak
pidana itu.
Meskipun juga harus diakui, beberapa survei menyebutkan
Polri, khususnya dalam hal penegakan hukum, belum bisa memuaskan masyarakat.
Besarnya harapan masyarakat terhadap kerja polisi di negara mana pun selalu
tinggi mengingat secara ideal polisi harus mampu memberikan rasa aman kepada
masyarakat. Ia harus mampu menangani semua permasalahan di masyarakat. Harapan
ini sangat wajar, sebagaimana disampaikan oleh H Skolnick sejak 1966. Jauh dari
kondisi sekarang, Skolnick telah memprediksikan harapan tersebut.
Efek Jera
Sebenarnya, untuk memenuhi harapan itu, sejalan dengan era
reformasi, Polri telah mengagendakan tiga perubahan fundamental, yaitu
perubahan instrumen, struktural, dan kultural. Dari tiga agenda perubahan
tersebut, pembaruan dalam bidang instrumen dan struktural sudah berjalan baik.
Namun untuk perubahan kultural, upaya yang ditempuh belum sesuai dengan harapan
publik. Bahkan pada titik tertentu mengalami stagnasi.
Bukti terkini atas stagnasi kultural tersebut adalah
keterungkapan kasus dua perwira menengah (pamen) yang ditangkap di Mabes Polri
karena diduga akan menyuap untuk bisa menduduki jabatan tertentu. Meskipun
kelanjutan penanganan kasus ini menjadi abu-abu, fakta itu menguatkan asumsi
bahwa isu suap pada kalangan Polri bukan hanya isu, melainkan masih jadi bagian
dari organisasi.
Seharusnya, kasus-kasus seperti itu harus dituntaskan
sehingga menghadirkan efek jera dan bisa memutus mata rantai praktik suap.
Bagaimana organisasi bisa sehat ketika pejabatnya diisi oleh orang-orang yang
tidak berkompeten? Jabatan diisi atas dasar suap, bisa dipastikan pejabat tersebut
akan mengejar ’’pengembalian modal’’ yang telah dikeluarkan guna memuluskan
ambisi meraih jabatan tersebut.
Political will dari Kapolri Jenderal Timur Pradopo yang didukung
Wakapolri Komjen Nanan Sukarnan sudah jelas bahwa ketika masih ada budaya
polisi yang menyimpang, seharusnya mengedepankan penyelesaian secara normatif
supaya tidak menular kepada polisi lainnya yang bertekad mengubah diri.
Sudah
saatnya, personel polisi dengan jati diri Tri Brata dan Catur Prasetya diberi
kesempatan mendarmabaktikan hidup meraka kepada masyarakat dan bangsa.
Sejatinya, memang ini yang diharapkan masyarakat, yaitu mereka dilindungi,
diayomi dan dilayani oleh polisi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar