Senin, 01 Juli 2013

Pendidikan Itu Inklusif

Pendidikan Itu Inklusif
Zulfikri Anas ;  Praktisi Pendidikan, Kadidat Doktor UNNES Semarang, Penggagas "Teacher Learning Camp" (TLC), dan Kelompok Studi SURAU, tinggal di Banten
SUARA KARYA, 29 Juni 2013


Setiap kali datang tahun ajaran baru, orang berebut memburu sekolah unggulan, kadang dengan apapun caranya akan ditempuh. Di masa lalu, sekolah yang dianggap bagus adalah sekolah yang melahirkan para juara dengan segudang prestasi dan nilai yang dianggap sempurna.

Di sini, orientasi pada pada pencapaian nilai dan prestasi akan mengubah orientasi belajar anak dan ini menjadi tidak kondusif bagi proses belajarnya. Anak akan terperangkap dalam pola pikir menang-kalah, tidak mau berbagi kecuali hanya sesama kelompoknya. Jadi, semangat belajar bukan lagi untuk membangun kemampuan yang sesungguhnya, tetapi sebagai ambisi untuk mengalahkan lawan. Di sini orang tidak siap menerima kegagalan, takut pada tantangan, untuk memperbesar peluang menang, ia akan menghindar dari pekerjaan yang sulit, mau gampangnya saja, mengandalkan cara instan atau jalan pintas.

Artinya, pikiran tertuju pada strategi untuk menang, bukan bagaimana mambangun diri dengan baik. Anak akan berpikir seberapa pintar mereka, bukan seberapa keras usaha mereka. Semua ini akan menurunkan kualitas belajar dalam artian yang sebenarnya. Cara-cara yang tidak sehat itu justeru sangat merugikan masa depan anak. Inikah yang kita sebut sebagai "sayang anak?".

Sekolah itu adalah replika masyarakat masa depan. Semua yang dialami semasa sekolah akan masuk ke dalam memori jangka panjang dan salah satu sifat otak adalah melipatgandakan sesuatu yang ia rasa nyaman.
Sama halnya ketika kita makan di sebuah restoran yang enak, kita akan tergoda untuk mengulangi makan ke sana walaupun tempatnya jauh. Jika sudah terbiasa dengan sogokan, mnipulasi, budaya instan, kongkalingkong dan memandang sesuatu dari menang dan kalah, bukan kolaborasi, maka itu akan dibawa dan terus dipupuk sampai dewasa. Memori ini akan menghiasi perjalanan kariernya, maka terbentuklah peradaban dengan kongkalingkong, kamuflase, manipulasi, saling menginjak, dan menghalalkan segala cara, jalan pintas menjadi pilihan hidup.

Kita mungkin akan kaget ketika murid yang dikenal selama ini sebagai murid yang patuh, rajin, pintar, tetapi tiba-tiba setelah dewasa menjadi koruptor yang sulit dibuktikan kesalahannya. Ingat, bahwa koruptor bukanlah orang bodoh yang tidak berpendidikan. Namun, ini salah satu akibat pendidikan eksklusif. Jika pendidikan bersifat inklusif, hal ini tidak akan terjadi, tantangannya pemerintah harus membuat semua sekolah mampu memberikan layanan terbaik.

Sekolah ideal bersifat inklusif, semua anak berhak mendapatkan layanan pendidikan yang bernutu, tanpa pemisahan dikhotomis (pintar-bodoh). Ketika mereka terbiasa membaur, maka kepekaan sosialnya semakin tinggi. Jika anak pintar berkumpul sesama mereka, dan sekolah tersebut menjadi diburu banyak orang, maka masuk sekolah tersebut pasti diwarnai oleh cara-cara yang tidak sehat.

Kiranya, sistem rayonisasi sebagaimana yang pernah dilakukan dulu merupakan cara terbaik, sekolah menampung anak-anak yang ada di sekitarnya, apapun kondisinya. Apa artinya anak "pintar" tapi "egois" dan hanya mau bergaul dengan sesama anak pintar saja. Saatnya kita berpikir ulang dengan sistem sekolah unggulan di mana anak pintar diistimewakan, anak seadanya dilayani seadanya. Sekolah kok seperti kereta api, pesawat atau hotel yang membagi layanan sesuai kelasnya, ekskutif, reguler, standar, deluxe, dan seterusnya.

Bagaimana pandangan masyarakat terhadap sekolah yang dibidik, terpantau dari percakapan sekelompok orang tua murid yang memilih sekolah untuk putera puteri mereka. Sekelompok orang tua yang berkumpul di pojok sekolah, membicarakan bagaimana cara memilih sekolah yang terbaik bagi anak-anak mereka. "Untuk mendapatkan sekolah unggulan, kita harus berani bayar mahal, karena sekolah baik pasti mahal", ungkap salah seorang diantaranya. "Iya, ya, hari gini mana ada sekolah bagus yang murah", kata yang lain menimpali.
"Sekolah negeri, kan gratis", yang lain menimpali. "Iya sih tapi sekolah negeri yang mana, apa anak kamu memiliki nilai yang tinggi? Jika nilainya biasa-biasa saja, kamu harus cari cara lain untuk bisa masuk".
Pernyataan itu langsung disambut seorang lainnya. "Eh, zaman sekarang mana bisa kong-kalingkong, penerimaan sekolah kan sudah online, komputer kan tidak bisa ditipu".

"He,he,he... kamu tidak tahu, banyak cara yang dilakukan, misalnya, ada sekolah yang selalu menyediakan beberapa kursi kosong untuk menampung anak yang masuk "lewat belakang". Ini disebut bisnis kursi kosong, atau kamu bisa kong kalingkong dengan sekolah asal. Misalnya agar bisa masuk SMA unggulan atau favorit, kita bisa kongkalikongnya dengan SMP dan itu harus jauh-jauh hari agar nanti nilai ijazah anak bisa dinaikkan", kata si ibu berambut pendek.

"Haa... masuk sekolah unggulan? Jangankan siswanya, kepala sekolah dan guru-gurunya saja arogan, selalu memandang rendah orang lain, dan cenderung meremehkan kita. Untuk bertemu kepala sekolahnya, paling tidak ada empat meja yang harus dilalui, dan harus ada tips", ungkap seorang lain yang pernah bertamu ke sekolah unggulan ternama di ibukota kota ini.

Suasana tiba-tiba hening, lalu seorang ibu yang duduk di pojok buka suara. "Eh, iya, saya baru ingat, ada teman seorang pejabat, kemampuan anaknya sih lumayan bagus, sehingga tidak salah ia melirik sekolah SMA yang bagus. Di hari-hari pertama, nama anaknya masih berada pada posisi atas, beberapa hari berikutnya, mulai hilang dari layar komputer online, dia bingung, pada hal anaknya juga berasal dari SMP terbaik, dan dia termasuk lulusan terbaik di sana, ternyata tergilas juga.

"Berapa sih nilai ijazah terendah yang dikeluarkan oleh sekolah lain?," tanyanya lirih. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar