|
SUARA
KARYA, 29 Juni 2013
Setiap kali datang tahun ajaran
baru, orang berebut memburu sekolah unggulan, kadang dengan apapun caranya akan
ditempuh. Di masa lalu, sekolah yang dianggap bagus adalah sekolah yang
melahirkan para juara dengan segudang prestasi dan nilai yang dianggap
sempurna.
Di sini, orientasi pada pada
pencapaian nilai dan prestasi akan mengubah orientasi belajar anak dan ini
menjadi tidak kondusif bagi proses belajarnya. Anak akan terperangkap dalam
pola pikir menang-kalah, tidak mau berbagi kecuali hanya sesama kelompoknya.
Jadi, semangat belajar bukan lagi untuk membangun kemampuan yang sesungguhnya,
tetapi sebagai ambisi untuk mengalahkan lawan. Di sini orang tidak siap
menerima kegagalan, takut pada tantangan, untuk memperbesar peluang menang, ia
akan menghindar dari pekerjaan yang sulit, mau gampangnya saja, mengandalkan
cara instan atau jalan pintas.
Artinya, pikiran tertuju pada
strategi untuk menang, bukan bagaimana mambangun diri dengan baik. Anak akan
berpikir seberapa pintar mereka, bukan seberapa keras usaha mereka. Semua ini
akan menurunkan kualitas belajar dalam artian yang sebenarnya. Cara-cara yang
tidak sehat itu justeru sangat merugikan masa depan anak. Inikah yang kita
sebut sebagai "sayang anak?".
Sekolah itu adalah replika masyarakat
masa depan. Semua yang dialami semasa sekolah akan masuk ke dalam memori jangka
panjang dan salah satu sifat otak adalah melipatgandakan sesuatu yang ia rasa
nyaman.
Sama halnya ketika kita makan di
sebuah restoran yang enak, kita akan tergoda untuk mengulangi makan ke sana
walaupun tempatnya jauh. Jika sudah terbiasa dengan sogokan, mnipulasi, budaya
instan, kongkalingkong dan memandang sesuatu dari menang dan kalah, bukan
kolaborasi, maka itu akan dibawa dan terus dipupuk sampai dewasa. Memori ini
akan menghiasi perjalanan kariernya, maka terbentuklah peradaban dengan
kongkalingkong, kamuflase, manipulasi, saling menginjak, dan menghalalkan
segala cara, jalan pintas menjadi pilihan hidup.
Kita mungkin akan kaget ketika
murid yang dikenal selama ini sebagai murid yang patuh, rajin, pintar, tetapi
tiba-tiba setelah dewasa menjadi koruptor yang sulit dibuktikan kesalahannya.
Ingat, bahwa koruptor bukanlah orang bodoh yang tidak berpendidikan. Namun, ini
salah satu akibat pendidikan eksklusif. Jika pendidikan bersifat inklusif, hal
ini tidak akan terjadi, tantangannya pemerintah harus membuat semua sekolah
mampu memberikan layanan terbaik.
Sekolah ideal bersifat inklusif,
semua anak berhak mendapatkan layanan pendidikan yang bernutu, tanpa pemisahan
dikhotomis (pintar-bodoh). Ketika mereka terbiasa membaur, maka kepekaan
sosialnya semakin tinggi. Jika anak pintar berkumpul sesama mereka, dan sekolah
tersebut menjadi diburu banyak orang, maka masuk sekolah tersebut pasti
diwarnai oleh cara-cara yang tidak sehat.
Kiranya, sistem rayonisasi
sebagaimana yang pernah dilakukan dulu merupakan cara terbaik, sekolah
menampung anak-anak yang ada di sekitarnya, apapun kondisinya. Apa artinya anak
"pintar" tapi "egois" dan hanya mau bergaul dengan sesama
anak pintar saja. Saatnya kita berpikir ulang dengan sistem sekolah unggulan di
mana anak pintar diistimewakan, anak seadanya dilayani seadanya. Sekolah kok
seperti kereta api, pesawat atau hotel yang membagi layanan sesuai kelasnya,
ekskutif, reguler, standar, deluxe, dan seterusnya.
Bagaimana pandangan masyarakat
terhadap sekolah yang dibidik, terpantau dari percakapan sekelompok orang tua
murid yang memilih sekolah untuk putera puteri mereka. Sekelompok orang tua
yang berkumpul di pojok sekolah, membicarakan bagaimana cara memilih sekolah
yang terbaik bagi anak-anak mereka. "Untuk mendapatkan sekolah unggulan,
kita harus berani bayar mahal, karena sekolah baik pasti mahal", ungkap
salah seorang diantaranya. "Iya, ya, hari gini mana ada sekolah bagus yang
murah", kata yang lain menimpali.
"Sekolah negeri, kan
gratis", yang lain menimpali. "Iya sih tapi sekolah negeri yang mana,
apa anak kamu memiliki nilai yang tinggi? Jika nilainya biasa-biasa saja, kamu
harus cari cara lain untuk bisa masuk".
Pernyataan itu langsung disambut
seorang lainnya. "Eh, zaman sekarang mana bisa kong-kalingkong, penerimaan
sekolah kan sudah online, komputer kan tidak bisa ditipu".
"He,he,he... kamu tidak tahu,
banyak cara yang dilakukan, misalnya, ada sekolah yang selalu menyediakan
beberapa kursi kosong untuk menampung anak yang masuk "lewat
belakang". Ini disebut bisnis kursi kosong, atau kamu bisa kong kalingkong
dengan sekolah asal. Misalnya agar bisa masuk SMA unggulan atau favorit, kita
bisa kongkalikongnya dengan SMP dan itu harus jauh-jauh hari agar nanti nilai
ijazah anak bisa dinaikkan", kata si ibu berambut pendek.
"Haa... masuk sekolah
unggulan? Jangankan siswanya, kepala sekolah dan guru-gurunya saja arogan,
selalu memandang rendah orang lain, dan cenderung meremehkan kita. Untuk bertemu
kepala sekolahnya, paling tidak ada empat meja yang harus dilalui, dan harus
ada tips", ungkap seorang lain yang pernah bertamu ke sekolah unggulan
ternama di ibukota kota ini.
Suasana tiba-tiba hening, lalu
seorang ibu yang duduk di pojok buka suara. "Eh, iya, saya baru ingat, ada
teman seorang pejabat, kemampuan anaknya sih lumayan bagus, sehingga tidak
salah ia melirik sekolah SMA yang bagus. Di hari-hari pertama, nama anaknya
masih berada pada posisi atas, beberapa hari berikutnya, mulai hilang dari
layar komputer online, dia bingung, pada hal anaknya juga berasal dari SMP
terbaik, dan dia termasuk lulusan terbaik di sana, ternyata tergilas juga.
"Berapa
sih nilai ijazah terendah yang dikeluarkan oleh sekolah lain?," tanyanya
lirih. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar