|
SUARA
MERDEKA, 29 Juni 2013
"Hanya dengan
kekokohan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, kehidupan bernegara
berlangsung aman"
HARI ini, marilah kita meluangkan waktu sejenak untuk
merayakan Hari Keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat,
terdiri atas suami istri, atau suami, istri, dan anak, atau ayah dan anak, atau
ibu dan anaknya, sebagaimana bunyi Pasal 1 Ayat (6) UU Nomor 52 Tahun 2009.
Dengan merayakannya, selain memperingati sebuah momen, kita
bisa kembali menggugah memori kolektif menjadikan keluarga sebagai basis
pembentukan, pendidikan, penyemaian, dan sekaligus penuaian ketenangan
(sakinah) di atas fondasi cinta sejati (mawadah) dan kasih sayang (rahmah) (QS:
Ar-Rum 21).
Tak ada satu pun akal sehat membantah bahwa keluarga
bahagia dan sejahtera merupakan taman surga, yang indah dalam pandangan
(qurrata a’yun) (QS Al-Furqan: 74), tempat menikmati kenyamanan dan
kebahagiaan, untuk menyiapkan generasi berkualitas. Bangsa mana pun di dunia
mutlak membutuhkan generasi berkualitas.
Hanya dari keluarga berkualitas, kehidupan bermasyarakat
bisa berlangsung dengan baik karena masing-masing keluarga bisa hidup mandiri,
tolong-menolong, dan saling menghormati. Hanya dengan keluarga berkualitas,
pilar kehidupan berbangsa bisa berdiri kokoh. Hanya dengan kekokohan kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa, kehidupan bernegara berjalan dengan aman dan
nyaman.
Islam mewanti-wanti umat jangan sampai meninggalkan
keturunan yang lemah yang dikhawatirkan jadi beban orang lain (QS Al-Nisa: 9).
Jangan sampai keluarga dan keturunan kita, mengalami kehidupan bak di neraka,
yang tanpa kebahagiaan, penuh konflik dan percekcokan (QS Al-Tahrim:6).
Rasulullah saw menegaskan baiti jannati atau rumahku
surgaku, dan khairukum khairukum li ahlihi atau sebaik-baik kalian adalah yang
terbaik kepada keluarganya. Lebih dari itu Rasulullah saw, memberikan resep
supaya keluarga dapat berjalan dengan penuh ketenangan (sakinah), yaitu
mengisinya dengan shalat dan membaca Alquran.
Dalam konteks itulah, UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga ditetapkan untuk merevisi UU
Nomor 10 Tahun 1992. Pasal 1 Ayat 10 menegaskan bahwa keluarga berkualitas
adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan sah, bercirikan sejahtera,
sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah ideal anak, berwawasan ke depan,
bertanggung jawab, harmonis, dan bertakwa kepada Tuhan YME.
Indonesia adalah bangsa besar, dan berpenduduk terbesar
keempat, setelah China, India, dan Amerika Serikat. Supaya laju pertumbuhan
penduduk tetap dalam kendali aman, pemerintah mengaturnya, antara lain melalui
program keluarga berencana (tandhim
alnasl). Program itu mengatur kelahiran anak, jarak, dan usia ideal untuk
melahirkan. Selain itu, mengatur kehamilan melalui promosi, perlindungan, dan
bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga berkualitas
(Pasal 1 Ayat (8).
Persoalan KB bukan hanya menyangkut hukum agama dan
teknologi medis melainkan juga akidah (teologi). Kelompok masyarakat yang
meyakini urusan anak adalah hak prerogatif Tuhan, begitu juga rezeki, maka
komunitas inilah menjadi tantangan garapan bagi pemerintah, dalam hal ini
BKKBN.
Mereka tidak memahami bahwa Allah tak akan mengubah keadaan
suatu kaum atau seseorang sehingga kaum atau orang tersebut berusaha mengubah
keadaannya (QS. Al-Radu: 11). Hal itu mendasarkan pada keyakinan Allah telah
mendelegasikan sebagian kewenangan-Nya kepada manusia, untuk mengubah keadaan
mereka.
Menyemai
Kebahagiaan
Dalam konteks inilah, suami istri, terutama pasangan usia
subur, sejak dini bisa mempersiapkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera.
Tagline ‘’Dua Anak Cukup’’ yang
diusung BKKBN adalah bagian dari ikhtiar wilayah manusia, untuk mewujudkan
keluarga kecil bahagia dan sejahtera.
Pelaksanaannya pun harus berdasarkan kesepakatan suami
istri dan penuh kesadaran, sejalan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Hal itu
mengingat menghidupkan satu manusia laksana menghidupkan semua manusia, dan
sebaliknya membunuh satu manusia, ibarat membunuh semua manusia (QS Al-Maidah:
32).
Apabila seluruh warga negara memiliki kesadaran penuh akan
arti penting keluarga berkualitas, ke depan semua keluarga dapat hidup mandiri,
sehat, produktif, harmonis, dan bahagia. Artinya pada masa mendatang kita tak
akan melihat pemandangan menyedihkan: anakanak, bapak dan ibu, bahkan kakek
nenek hidup di jalanan, yang jumlahnya makin hari makin bertambah.
Bagaimana mereka bisa menikmati kebahagiaan pada hari tua
bila sehari-hari hidup di bawah terik matahari sambil menengadahkan tangan.
Apakah mereka sejatinya ‘’harus’’ menjalani seperti itu, atau ada yang
mengorganisasi, bahkan mengeksploitasi? Tentu butuh penelitian tersendiri
sebelum menyimpulkan.
Semoga pada Hari Keluarga 2013, warga negara Indonesia,
terutama warga Jateng, dapat menyiapkan pembentukan keluarga sakinah,
mawaddah wa rahmah. Hal itu mendasarkan pengertian kebahagiaan sejati adalah
kebahagiaan dalam keluarga. Dari ititik itulah kita dapat menyemai kebahagiaan
serta kesejahteraan dunia dan akhirat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar